Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 11:29 WIB | Rabu, 17 Desember 2014

Masa Adven, Mahasiswa Teologi AS Protes Diskriminasi Ras

Mahasiswa Union Theological Seminary saat demonstrasi antirasisme. (Foto: Annegreth Schilling/WCC)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Ferguson dalam kekacauan. Begitu juga New York dan Union Theological Seminary di kota New York, sebuah lembaga lama pendidikan teologi yang terletak di kawasan Manhattan atau di West Harlem. Mahasiswa di masa Adven ini tengah menggelar aksi protes diskriminasi ras.

Sejak keputusan persidangan pekan lalu untuk tidak mendakwa seorang perwira polisi dalam insiden penembakan Eric Garner pada Juli 2014, mahasiswa teologi di seminari itu bergejolak menuntut keadilan.

Tak lama setelah keputusan pengadilan, mahasiswa membangun pos protes di seminari. Pos itu disebut sebagai "Pusat Cinta" dan dibuka selama 24 jam. Di pos itu, mahasiswa berkumpul, berdiskusi, berdoa, dan merencanakan tindakan bersama-sama.

"Pusat ini memberi kami ruang untuk berbicara tentang perbedaan-perbedaan," kata Sadie Lansdale, seorang Unitarian Universalis di program Magister Divinity.

Candace Simpson, rekan Sadie Landsdale menambahkan, "Ini adalah eksperimen. Saya merasa bahwa sesuatu yang bersejarah terjadi, dan itu berhubungan erat dengan Gerakan Hak Sipil pada era 1950-an dan 1960-an,” kata dia.

"Perjuangan akan terus berlangsung, Gerakan hak sipil tidak pernah berakhir. Kami berjuang untuk kebebasan setiap hari," ia menambahkan.

Tagar #BlackLivesMatter

Tagar #BlackLivesMatter ini telah menjadi slogan protes di Amerika Serikat. Gerakan itu membahas kekerasan polisi terhadap orang-orang kulit hitam seperti Eric Garner, perempuan kulit hitam seperti Renisha McBride, dan transgender kulit hitam seperti Deshawnda Sanchez. Menurut laporan pada 2012, setiap 28 jam seorang pria kulit hitam, perempuan, atau anak-anak dibunuh oleh polisi atau penegak hukum di Amerika Serikat.

"Ini adalah genosida," kata seorang mahasiswa. "Ini harus berhenti sekarang."

Pdt Dr Serene Jones menyerukan perubahan struktural dari kekerasan terhadap orang kulit hitam.

"Kami menghabiskan begitu banyak waktu di gereja-gereja untuk mengajar mereka berhenti melakukan hal-hal buruk, dosa kolektif, dan rasisme,” ujar Pdt Jones.

Dengan pesan teologis yang kuat ini, Jones setuju dengan pernyataan komite eksekutif Dewan Gereja Dunia (WCC) pada akhir November yang menyoroti "masalah berakar dari diskriminasi ras di Amerika Serikat."

"Kami menekankan bahwa martabat manusia dari setiap orang harus dihormati tanpa memandang ras, suku, atau budaya, dan pentingnya keadilan untuk ditegakkan,” ujar Jones.

Menjelang Natal, banyak siswa akan meninggalkan kampus dan menghabiskan liburan bersama keluarga dan teman-teman mereka di kampung halaman. Banyak mahasiswa menganggap diri sebagai aktivis kenabian.

"Kita harus kembali ke rumah dan memberi tahu keluarga kita tentang ras, kulit hitam, dan supremasi kulit putih," kata seorang mahasiswa.

"Saya memiliki hak istimewa menjadi mahasiswa seminari dan saya merasa wajib untuk membawa ini kembali ke konteks dari mana aku datang," ujar mahasiswa teologi itu. (oikoumene.org)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home