Loading...
MEDIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 12:01 WIB | Kamis, 11 Juni 2015

Media Dunia Ramai Beritakan Penerapan Jam Malam Perempuan Aceh

Wali kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal memperlihatkan surat instruksi yang mengatur jam malam bagi wanita atau karyawati saat menjadi pemateri yang di selenggarakan Kahmi Aceh di Masjid Jami', Banda Aceh, Aceh, Jumat (5/6). Surat intruksi Gubernur Aceh nomor 02/INSTR/2014 tentang larangan melayani pelanggan wanita di cafe dan layanan internet diatas pukul 21.00 WIB kecuali muhrimnya dan surat instruksi wali kota nomor 2/2015 yang mengawasi pembatasan jam kerja hingga pukul 23.00 WIB bagi wanita atau karyawati pada tempat wisata, rekreasi, hiburan, penyediaan layanan internet, cafe serta sarana olahraga. (Foto: Antara)

BANDA ACEH, SATUHARAPAN.COM - Wali kota Banda Aceh Hj Illiza Sa'aduddin Djamal SE mendadak jadi pemberitaan di seluruh dunia setelah ia mengumumkan pemberlakuan jam malam bagi perempuan di Aceh yang dimulai awal Juni ini. Aturan jam malam untuk pekerja perempuan tersebut mengharuskan perempuan hanya boleh bekerja di luar rumah hingga pukul 11 malam.

"Perempuan di Aceh rentan terhadap pelecehan seksual. Jadi kami ingin melindungi mereka dari insiden yang tidak diinginkan," kata Illiza, sebagaimana dikutip oleh berbagai media lokal. Pemerintah mewanti-wanti perempuan dan anak-anak agar tidak berada di luar setelah jam 11, kecuali ditemani oleh suami atau saudara laki-laki.

Illiza mengatakan aturan itu juga sudah dikaji dan disesuaikan dengan undang-undang BPJS ketenagakerjaan. "Tujuan kita ingin memberikan perlindungan terhadap pekerja dari kaum perempuan, terutama yang bekerja ditempat hiburan seperti kafe, restoran, warnet, dan tempat-tempat wisata," kata dia, sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa.

Penerapan aturan ini telah menarik perhatian di media sosial. Kritik ditujukan kepada aturan tersebut yang dinilai sebagai diskriminasi terhadap perempuan. Tak hanya di medsos, sejumlah media internasional juga mengangkat isu ini sebagai pemberitaan seperti ABC Online, Al Jazeera, Toronto Star, The Straits Times, Economic Times, International Business Times, The Australian, Malay Mail Online, Minneapolis Star Tribune, UPI.com, Todaysonline, AsiaOne, Economic Times, Hong Kong Standard, Free Malaysia Today dan Asian Correspondent.

Media-media itu pada umumnya melihat bahwa penerapan jam malam sebagai gambaran lebih lanjut dari terjerumusnya Aceh ke fundamentalisme yang lebih dalam, setelah pemerintah RI memberikan keleluasaan kepada provinsi itu menerapkan hukum syariah pada tahun 2006 lalu.

"Aceh jatuh ke fundamentalisme yang lebih dalam daripada daerah lain di negara mayoritas Muslim itu, dan pemerintah pusat Indonesia yang sekuler telah memberikan  hak untuk menerapkan sebuah versi hukum Syariah pada tahun 2006 sebagai bagian dari kesepakatan damai untuk mengakhiri perang separatis. Polisi dan sistem pengadilan agama diberlakukan dan pembatasan baru pada perempuan tersebut adalah penguatan lebih lanjut penerapan Syariah di provinsi itu," tulis kantor berita Associate Press (AP) yang banyak dikutip dan dilansir ulang oleh media internasional lainnya.

"Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam dan membuat homoseksualitas, perjudian dan minum alkohol diancam dengan hukuman cambuk. Provinsi ini juga mengatur cara perempuan mengenakan pakaian yang layak," tulis kantor berita AFP, yang juga banyak dikutip media online.

AFP selanjutnya mengutip pernyataan Ketua Komnas Perempuan, Azriana, yang mengatakan, "Pemerintah harus menghentikan campur tangan dalam urusan perempuan."

"Jika niat pemerintah Aceh adalah untuk memberikan perlindungan bagi perempuan, mereka harus mendidik masyarakat dan laki-laki untuk menghormati perempuan atau memberikan keamanan di tempat hiburan malam," kata Azriana.

Kantor berita UPI mengutip pernyataan Jusuf Kalla yang mengeritik keputusan pemerintah Aceh menerapkan jam malam tersebut. "Tentu saja Aceh memiliki otoritas dalam mengatur urusan daerah di bawah UU otonomi khusus. Tetapi apa urgensinya menerapkan jam malam?" tanya JK.

"Kita tidak bisa mengasumsikan perempuan akan dalam bahaya pada malam hari. Asumsi ini harus dipertimbangkan. Masyarakat Aceh harus cerdas dalam mengelola dirinya sendiri dan mereka harus bijaksana dalam hal ini," tutur JK.

Untuk memberi legitimasi terhadap kebijakan ini, banyak diungkapkan penelitian terbaru yang dibuat oleh yayasan orangtua dan anak-anak, Kita dan Buah Hati. Menurut penelitian tersebut, kasus pelecehan seksual di Aceh termasuk yang paling tinggi di Indonesia.

Menurut aturan baru itu pengusaha bisa kehilangan ijin usaha jika melanggar. Namun, Illiza mengatakan  perempuan yang tertangkap melanggar aturan tidak akan dikenai sanksi. "Mereka akan diminta untuk pulang dan diberi peringatan," kata dia. Peraturan ini juga dikecualikan bagi pekerja perempuan di bidang kesehatan seperti suster atau bidan.

Illiza menambahkan, penerapan jam malam perempuan tersebut berasal dari instruksi Gubernur Aceh. Dalam instruksinya, jam malam mengatur perempuan tidak boleh keluar berduaan dengan lelaki bukan muhrim di atas pukul 21.00 WIB. Lalu  Pemkot Banda Aceh menindaklanjuti instruksi tersebut dengan mengevaluasinya. Lalu keluarlah batasan pukul 23.00 WIB.

"Waktu hingga pukul 23.00 WIB itu sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan," kata dia.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home