Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 08:24 WIB | Senin, 30 Juni 2014

Membentuk Pola Makan Anak dengan Parental Sensitivity

(Dari kiri ke kanan) Lendi Yuarian, salah satu figur yang terlibat dalam pembentukkan Happy Tummy Council, Rini Hildayani M.Si, Psychologist, Dr. Ahmad Suryawan Sp.A(K), Dr. Saptawati Bardosono, M.Sc, dan Dr. Rei Basro, selaku moderator acara. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Psikolog sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Rini Hildayani menjelaskan bahwa masalah saluran cerna pada anak berdampak pada keadaan stres atau tekanan. Maka dibutuhkan parental sensitivity dalam masa pembentukkan pola makan seorang anak.

“Misalnya jika anak tidak mau makan, orangtua harus merespon dengan tepat sesuai dengan alasan kenapa si anak tidak mau makan, apakah itu karena si anak sebelumnya sudah makan cemilan, atau bosan dengan menu makanan. Apabila anak tidak mau makan karena bosan, maka orangtua harus berusaha mengganti menu makanannya, atau jika porsinya terlalu banyak, orangtua harus mengerti untuk mengurangi porsinya,” ungkap Rini menguraikan.

Acara bertema “Gut-Brain Axis: Pencernaan Sehat Awal si Kecil Cerdas”, diselenggarakan oleh Nestle bersama lima pakar (expert) yang tergabung dalam Happy Tummy Council, di mana tiga pakarnya hadir sebagai pembicara dalam acara di Gran Melia Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/4).

Tiga pakar yang hadir yaitu Dr. Saptawati Bardosono, M.Sc, Rini Hildayani M.Si, Psychologist, dan Dr. Ahmad Suryawan Sp.A(K). Sedangkan dua pakar lainnya, Prof. Dr, M. Juffrie, Sp.A(K), Ph.D, dan Prof. Dr. Soebijanto Marto Sudarmo, Sp.A(K).

ASI, Momen Secure Attachment

Pada bayi, waktu memberikan ASI adalah momen anak mendapatkan secure attachment dari ibunya. Secure attachment adalah saat di mana anak merasa diperhatikan dan diterima oleh orang di sekitarnya, sebagaimana dijelaskan Rini.

“Ketika memberikan ASI, tangan kiri ibu akan menggendong bayi, dan tangan kanannya bisa memberikan sentuhan berupa usapan lembut di kepalanya, atau sekedar mengajak bayi berbicara,” tuturnya.

“Berbeda halnya jika diberikan ASI melalui botol, tangan kanan ibu akan sibuk memegang botol. Jadi, meskipun kebutuhan nutrisi tercukupi, namun secure attachment tidak bisa didapatkan bayi,” kata Rini menambahkan.

Saat hamil, jika si ibu stres, bayi juga bisa mengalami stres, yang kemudian akan terus terbawa ketika lahir menjadi temperamen bayi tersebut. Bayi akan tumbuh dengan temperamen yang sulit, seperti mudah menangis, mudah frustrasi jika keinginannya tidak bisa didapatkan, kemarahan yang meledak-ledak, dan lain sebagainya.

Bayi yang baru lahir juga bisa mengalami stres yang disebabkan karena perbedaan lingkungannya. Sewaktu di dalam rahim segala kebutuhannya terpenuhi melalui uterus ibunya. Tetapi ketika lahir, bayi harus mengandalkan semua kemampuan refleks yang ia miliki untuk mencukupi segala kebutuhannya, seperti menangis, menghisap, menelan, terutama untuk mendapatkan makanan.

Ketika bayi sudah lebih besar, misalnya usia dua tahun ke atas, ia akan selalu mencari figur yang bisa memberikan dirinya secure attachment. Jika tidak bisa didapatkan dari ibunya karena terlalu sibuk bekerja, maka secure attachment itu bisa saja ia cari dari pengasuhnya.

Temperamen dan Kegiatan Makan

Terkait dengan kegiatan makan, ada tiga tipe temperamen anak yaitu, easy child, difficult child, dan slow to warm up child. Temperamen adalah karakteristik seseorang yang menggambarkan bagaimana seseorang bertingkah laku terhadap orang lain dalam situasi tertentu.

Easy child adalah anak yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan baru, teman baru, termasuk makanan baru. Ketika ia masih bayi dan pertama kali diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI, ia akan mudah menerima dan lebih cepat habis makanannya.

Difficult child adalah kebalikan dari easy child. Orangtua harus berupaya ekstra supaya si anak menjadi suka dengan makanan dan mau memakannya. Misalnya, ada tipe anak ini yang baru mau makan suatu jenis makanan setelah dua hari dibujuk.

Slow to warm up child adalah tipe anak yang butuh waktu (pemanasan) untuk beradaptasi, meskipun tidak semudah easy child, namun juga tidak sesulit difficult child.

Anak umur 0-2 tahun belajar mengenal lingkungannya melalui aktivitas sensorik dan motorik dari inderanya, dan biasanya pada umur ini masih berkomunikasi dengan cara menangis untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan.

Usia 1 tahun anak sudah mulai mengembangkan otonominya, misalnya ia ingin mencoba makan sendiri, tidak mau disuapi ibunya, maka ibu harus memberikan anak kesempatan untuk mencoba.

“Terkadang ada orangtua yang takut anaknya makan sedikit atau takut rumah jadi berantakan. Tetapi yang perlu diingat, membiarkan anak makan sendiri akan melatih keterampilan motorik halusnya, walaupun pada awalnya anak akan memegang sendok dengan terbalik,” ungkap Rini.

Pada usia 1 tahun, anak juga paling senang bergerak, bermain dan meniru orang lain. Karena senang meniru orang lain, maka orangtua bisa menjadi model untuk anak untuk menyukai makanan tertentu. Misalnya jika orangtuanya tidak suka makan sayur atau ikan, anak juga bisa tidak suka, padahal makanan tersebut penting sebagai nutrisi tumbuh kembang anak.

Jika anak sangat suka bermain, maka kegiatan makan boleh diberikan pada saat bermain. Tetapi yang perlu menjadi catatan para orangtua, kegiatan bermain anak harus ada kaitannya dengan momen makan itu sendiri. Jangan sampai ketika orangtua menyuapi, sementara anak justru main gadged atau menonton televisi. Hal itu akan membuat anak tidak sadar kalau dirinya sedang makan, sehingga nantinya anak akan lebih mengutamakan kegiatan mainnya daripada makan.

Rini menyarankan kegiatan bermain sambil makan dilakukan bersamaan dengan kegiatan membantu ibunya menyiapkan makanan, contohnya meminta tolong anak untuk mengoleskan roti atau menggulung rolade. Kegiatan tersebut akan melatih motorik halus anak.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home