Loading...
RELIGI
Penulis: Melki Pangaribuan 16:38 WIB | Rabu, 26 Agustus 2020

Menag Tanggapi Perselisihan Pelaksanaan Ibadah di Cikarang

Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi. (Foto: kemenag)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perselisihan dalam pelaksanaan ibadah kembali terjadi di Cikarang. Sejumlah massa keberatan dengan penggunaan rumah di salah satu perumahan sebagai tempat pelaksanaan ibadah yang mengumpulkan banyak orang dari luar keluarga tersebut, bahkan dari luar penghuni komplek.

Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menyesalkan terjadinya perselisihan ini. Menurutnya, hal seperti itu tidak semestinya terjadi jika semua pihak merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

"Pelaksanaan ibadah di rumah ibadah harus merujuk PBM Pendirian Rumah Ibadah. Regulasi tidak membatasi umat untuk beribadah di berbagai tempat ibadah, tapi ada pengaturan untuk pelaksanaan ibadah di rumah ibadah," kata Menag di Jakarta, Rabu (25/08).

Menurut Menag, konsep tempat ibadah dan rumah ibadah itu berbeda. Tempat ibadah terkait pelaksanaan ibadah yang bersifat terbatas, misalnya perorangan atau keluarga, dan tidak mendatangkan massa, apalagi dari luar keluarga atau luar komplek. Itu bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah sendiri.

"Kalau pelaksanaan ibadah sudah mendatangkan massa atau orang dari luar keluarga dan komplek, itu dilakukan di rumah ibadah, bukan di rumah hunian," ujarnya.

Adapun rumah ibadah, PMB 8 dan 9 mengatur bahwa itu adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Definisi ini tegas menyebutkan bahwa rumah ibadah bukan tempat ibadah keluarga.

Selain itu, rumah ibadah juga terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan juga dari sisi sosial. Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan itu adalah bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu.

“Rumah hunian atau ruko tidak dalam pengertian rumah ibadah. Itu adalah masuk kategori rumah ibadah sementara sesuai ketentuan PBM. Kalau sudah berbicara rumah ibadah, maka dia sudah permanen, spesifik, memiliki syarat tertentu sebagaimana lazimnya rumah ibadah setiap agama,” terangnya.

Ditambahkan Menag, pengertian rumah ibadah juga adalah tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang.

PMB No 8 dan 9 tahun 2006 menyebutnya dengan istilah para pemeluk masing-masing agama. Hal ini, langsung atau tidak langsung akan terkait dengan persoalan sosial di lingkungan sekitar rumah ibadah. Itulah alasan perlunya persetujuan dari warga supaya masyarakat punya kesiapan mental dan sosial bahwa di tempatnya akan dibangun rumah ibadah dengan segala konsekuensinya. 

“Hal itu diatur dalam PBM No 9 dan 8 tahun 2006," jelasnya.

Dalam PBM itu diatur juga pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadah sebagai 'rumah ibadah sementara' dan harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan laik fungsi; dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat. 

Persyaratan laik fungsi, mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat meliputi: izin tertulis pemilik bangunan, rekomendasi tertulis lurah/kepala desa, pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan -gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota. Surat keterangan pemberian izin sementara itu berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

"Jadi regulasinya sudah ada dan jelas, tidak menghambat namun tidak juga semaunya. Saya imbau semua pihak menjadikannya sebagai pedoman sehingga potensi perselisihan dalam pelaksanaan ibadah seluruh umat bisa dihindari, sebagaimana yang telah berlangsung baik di banyak tempat selama ini" tegasnya.

"Jika terjadi perselisihan, maka selesaikan berdasarkan musyawarah atau melalui jalur hukum. Aparat Kemeterian Agama di daerah, akan membantu menjembataninya," katanya. (Kemenag)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home