Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 20:43 WIB | Jumat, 15 Mei 2015

Mengapa Konglomerat RI Ramai-ramai Menghilang dari Bursa?

Bursa Efek Indonesia (Foto: Prasasta Widiadi/satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perusahaan-perusahaan konglomerasi di era sebelum krisis 1998 yang dimiliki oleh para taipan yang dengan penguasa, satu per satu menghilang dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Ini bukan kejadian baru-baru ini, melainkan sudah terjadi pada rentang waktu 1996 hingga 2008. Selama kurun waktu itu, tidak kurang dari 50 perusahaan milik konglomerat lenyap dari daftar 200 perusahaan publik teratas yang terdaftar di BEI. Mereka digantikan oleh sejumlah yang relatif baru terdaftar di bursa dan  perusahaan publik lain yang sebelumnya tidak masuk dalam daftar 200 teratas.

Lenyapnya perusahaan-perusahaan itu dari daftar, telah memunculkan  taipan bisnis yang relatif baru. Diantaranya adalah pemilik kelompok usaha Bhakti Investama (sekarang MNC Group), Hary Tanoesoedibjo, yang semakin dominan di BEI. Sementara taipan -taipan bisnis yang lebih senior justru 'keluar gelanggang.'  Misalnya, Sukanto Tanoto (pemilik perusahaan konglomerasi  Raja Garuda Mas), Peter Sondakh (orang kedelapan terkaya di Indonesia yang dulu mengendalikan produsen rokok Bentoel),  Prabowo dan adiknya Hashim Djojohadikusumo, yang bersama-sama mengelola PT Kertas Nusantara dan Edwin Soeryajaya, pemilik kelompok usaha Adaro/ Mereka memilih berkiprah di luar BEI.

Apa sesungguhnya yang terjadi dibalik lenyapnya nama-nama besar itu? Perubahan apa yang telah terjadi di dunia bisnis Tanah Air pascareformasi?

Pertanyaan ini berusaha dijawab oleh Richard Carney, peneliti pada Australian National University College of Asia and Pacific, dan Natasha Hamiliton-Hart, profesor  pada jurusan Bisnis Manajemen dan Internasional di  University of Auckland. Mereka melakukan penelitian  dan hasilnya mereka sajikan melalui tulisan yang berjudul ‘What Do Changes in Corporate Ownership in Indonesia Tell Us?.’ Studi ini diterbitkan pertama kali pada Bulletin of Indonesian Economic Studies edisi April lalu, dan dipublikasikan ulang pada eastasiaforum.org, awal Mei  dengan judul 'The Changing Landscape of Who Owns What in Indonesia.'

Lansekap Bisnis telah Berubah

Menurut Richard Carney dan Natasha Hamilton-Hart, lenyapnya konglomerat-konglomerat tersebut dari BEI merupakan gambaran dari lansekap bisnis yang telah berubah.  Krisis keuangan dan politik tahun 1998 membawa perubahan yang signifikan itu.

Salah satu perubahan yang menonjol adalah semakin berkurangnya ketergantungan perusahaan-perusahaan besar tersebut kepada koneksi elit politik tertentu. Diakui bahwa proporsi perusahaan Indonesia dengan koneksi politik masih relatif tinggi. Namun, signifikansinya menurun. Derajat keterlibatan politik perusahaan tersebut semakin berbeda-beda.

Studi itu membandingkan antara daftar 200 perusahaan terbesar di BEI pada tahun 1996 dengan daftar serupa pada tahun 2008. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun kepemilikan keluarga pada perusahaan publik papan atas masih tetap tinggi pada 2008, identitas pemilik perusahaan telah berubah secara signifikan.

Antara tahun 1996 dan 2008, menurut studi itu, 50 perusahaan publik yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga pendiri, terpental dari daftar 200 perusahaan publik teratas. Sebagai gambaran, pada tahun 1996, lebih dari 68 persen dari 200 perusahaan publik teratas adalah perusahaan yang dimiliki keluarga (dimana pemilik utamanya dapat diidentifikasi).  Namun pada tahun 2008 jumlahnya menyusut. Proporsi telah anjlok ke 57 persen.  

Menariknya, peran negara melalui kepemilikan saham di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) justru semakin besar. Jika pada tahun 1996 Negara Indonesia menguasai sekitar 10 persen dari 200 perusahaan teratas di BEI, pada tahun 2008 meningkat menjadi 14 persen.

Sejak 2008 sampai sekarang, sepuluh kelompok bisnis yang paling menonjol - yaitu yang memiliki perusahaan paling banyak terdaftar di BEI -- adalah  Bhakti Investama (milik Hary Tanoesoedibjo) dengan 6 perusahaan yang terdaftar. DIsusul oleh Astra, Bakrie dan Sinar Mas, masing-masing dengan 5 perusahaan. Lalu Panin, 4 perusahaan; dan keluarga Surya (Gudang Garam), Djarum, Ciputra, Salim dan Lippo Group, masing-masing dengan dua perusahaan.

Hary Tanoesoedibjo - pemilik Bhakti (sekarang MNC) - awalnya mengambil alih dan kemudian mengembangkan aset kelompok Bimantara yang sebelumnya dimiliki oleh salah satu putra Soeharto. Pada lapisan berikutnya, Astra, merupakan kelompok terkemuka dalam periode pra-krisis namun pada tahun 2008 perusahaan ini menjadi milik kelompok Jardine yang berbasis di Hong Kong. Kelompok Jardine mengambil alih kepemilikan perusahaan Astra dari beberapa kroni Soeharto, yang memilikinya dengan mengakuisisinya dari kelompok dari keluarga Soeryadjaya sebelum krisis.

Masih di lapis yang sama, ada kelompok Bakrie yang menunjukkan kenaikan yang signifikan di tangan Aburizal Bakrie, mantan menteri kabinet dan baru-baru digeser dari kursi ketua Partai Golkar.

Keluarga lain yang berada di peringkat 10 teratas perusahaan yang terdaftar di BEI  tahun 1996, masih mempertahankan statusnya pada tahun 2008, tapi tanpa mengendalikan lagi aset perbankan yang sebelumnya menjadi jangkar bisnis mereka.

Keluarga Salim kehilangan Bank Central Asia, keluarga Eka Tjipta Widjaja melepaskan Bank Internasional Indonesia dan keluarga Riady kehilangan Lippo Bank. Hal yang sama berlaku untuk taipan Sjamsul Nursalim, yang kehilangan bank BDNI.

Keluar dari Indonesia

Studi Richard Carney dan Natasha Hamilton-Hart lebih jauh mengungkapkan bahwa banyak diantara taipan terbesar di Indonesia ini dengan kemauan sendiri mengundurkan diri dari bursa (delisting) sejak tahun 1996. Mereka memilih menjadikan perusahaannya sebagai perusahaan swasta nonpublik dan ada juga yang memindahkan kantor pusatnya ke luar Indonesia.

Diantaranya adalah Sukanto Tanoto, pemilik kelompok bisnis Raja Garuda Mas, yang mendelist aset utamanya dari Bursa Efek New York pada tahun 2003. Perusahaan ini, sekarang dikenal sebagai kelompok RGE, dikelola sebagai perusahaan swasta nonpublik dan berbasis di luar Indonesia.

Ada pun Peter Sondakh, pada tahun 2008 menjual kepemilikan sahamnya di perusahaan semi BUMN, PT Semen Gresik disusul dengan melepas kepemilikannya di pabrik rokok Bentoel pada tahun 2009. Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo pun memilih membiarkan perusahaannya jadi perusahaan swasta nonpublik, termasuk Comexindo. Demikian juga kelompok usaha Arsari, yang dikelola oleh anak-anak mereka.

Edwin Soeryajaya pun mengambil langkah serupa, dengan membiarkan perusahaannya, Adaro, tetap sebagai perusahaan swasta privat yang tidak menjual sahamnya lewat bursa. Baru pada tahun 2013 salah satu perusahaan Edwin, yaitu Saratoga, terdaftar di bursa.

Perusahaan-perusahaan milik Wakil Presiden Jusuf Kalla juga masih berstatus perusahaan swasta nonpublik. Demikian pula perusahaan milik orang terkaya nomor lima di Indonesia, Martua Sitorus, yang mengendalikan perusahaannya,  Wilmar International, dari kantor pusatnya di Singapura, dan tidak terdaftar di bursa saham Indonesia.

Lenyapnya nama-nama besar taipan bisnis dari bursa, tampaknya mencerminkan semakin berkurangnya peran koneksi politik dalam menunjang kestabilan bisnis, seperti yang terjadi di era Suharto. Menurut studi ini, walaupun proporsi perusahaan dengan hubungan politik masih relatif tinggi, tetapi telah turun - dari 52 persen dari perusahaan-perusahaan milik keluarga yang terdaftar yang terbesar pada tahun 1996 menjadi 47 persen pada tahun 2008. Pola baru kepemilikan perusahaan menunjukkan semakin bervariasinya patron politik maupun bentuk keterlibatan politik.

Peran politik pelaku bisnis seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo dan  Prabowo-Hashim Djojohadikusumo  memang telah menarik perhatian. Tapi sebagian besar lainnya justru tidak lagi mengambil posisi politik secara publik. Seiring dengan itu, semakin berkurang pula tradisi menempatkan tokoh pemerintah dalam jajaran direksi.

Menurut studi ini, keterlibatan para perusahaan maupun pengusaha besar dalam politik kini berubah dengan cara menjaga koneksi dengan menyumbang pada dana kampanye pemilu, disamping patronase informal lainnya.

Kesimpulan lain yang tidak bisa dikesampingkan ialah ternyata pascareformasi negara telah meningkatkan posisinya sebagai pemilik aset bisnis.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home