Loading...
OPINI
Penulis: Mulyanah 00:00 WIB | Kamis, 13 Februari 2014

Mengurai Kasus Penyiksaan TKI

SATUHARAPAN.COM - Tahun 2014 tampaknya belum akan menjadi tahun peruntungan bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Mulai akhir tahun 2013 hingga awal Januari ini saja, kita dibombardir berita-berita duka para pahlawan devisa itu di luar negeri. Buruh-buruh migran di berbagai negara penempatan harus merasakan derita tak tertanggungkan, bahkan merelakan nyawa jauh dari saudara dan keluarga.

Dari Arab Saudi dilaporkan seorang TKI overstayer bernama Siti Khotijah meninggal (14/01).  Warga Banyuwangi ini bekerja selama 16 bulan hingga Juni 2011. Siti Khotijah menjadi TKIO lantaran tidak tahan dengan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh majikan. TKI lain asal Cirebon, Siti Atijah, sampai 15 Januari 2014 diinfokan KJRI Jeddah dalam keadaan kritis di rumah sakit, sekedar menanggapi pemberitaan di Tanah Air yang menyatakannya sudah meninggal.

Kabar tak kalah mengenaskan berhembus dari negara jiran, Malaysia. Tiga TKI sekaligus pulang tinggal nama setelah ditembus pelor panas oleh Polisi Diraja Malaysia. Pada 17 Januari lalu, Wahab, Sudarsono, dan Gusti Randa asal Nusa Tenggara Barat berpulang dalam kondisi tanpa nyawa. Ketiganya melengkapi 29 orang TKI yang terbunuh dalam aksi penembakan aparat kepolisian Malaysia sejak tahun 2005.

Tak cukup, hati rakyat Indonesia kembali teriris oleh peristiwa yang menimpa Erwiana Sulistyaningsih di Hongkong. Gadis muda asal Jawa Timur ini bekerja di Hong Kong selama delapan bulan dan diduga mengalami penyiksaan dan dipaksa pulang ke Indonesia bulan Januari ini, kata organisasi pekerja migran di Hong Kong. Foto-foto yang beredar di media sosial memperlihatkan wajah Erwiana dalam kondisi menyedihkan.

Terakhir, kabar tak kalah mengenaskan dihembuskan politisi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka. Di Taiwan, Sahitul Alfiah (27 tahun), asal desa Plampangrejo, Banyuwangi, diperlakukan layaknya budak. Di Liouying, distrik Tainan City, Sahitul dipaksa membersihkan kandang berisi 300 sapi dan memerah sapi-sapi itu setiap hari. Jam kerjanya pun tak manusiawi, mulai pukul 03.30 – 10.00 pagi waktu setempat. Setelah itu, dia mulai bekerja lagi dari pukul 15.00 hingga 22.00 malam. Ia tidur di dekat kandang sapi.

Tanggal 21 September 2013, Sihatul dipukul dengan benda tumpul oleh majikannya hingga tak sadarkan diri. Ia dibawa ke UGD RS Chi Mei Medical Centre di Liouying. Hasil diagnosa resmi membuktikan terjadi luka di bagian belakang kepala akibat pukulan menggunakan benda tumpul. Sihatul koma selama satu bulan di rumah sakit. Sekarang Sihatul sudah sadarkan diri, namun hidupnya ditopang peralatan medis, tak bisa bicara dan bergerak (riekediahpitaloka.org).

Niscaya, kemalangan sejumlah TKI tersebut bukanlah yang terakhir kali. Di waktu-waktu yang akan datang kita bakal menerima kabar serupa dengan perbedaan pada detailnya saja. Kejadian-kejadian semacam ini bukannya tidak bisa dihentikan, atau minimal dikurangi. Perlakuan tidak semestinya dari pemimpin negeri inilah yang justru menyuburkan penyiksaan TKI di luar negeri. Jadi, penyebabnya bukan hanya sosok majikan yang kejam, pula elit-politik dalam negeri yang abai dan tidak peduli, sehingga sama atau bahkan lebih kejam dari si majikan.

Peran Presiden

Bagaimana negara memperlakukan warganya, termasuk TKI di dalamnya, merupakan kunci utama penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang dialami pekerja migran di luar negeri. Logikanya sederhana, jika negaranya sendiri tidak memperlakukan TKI dengan terhormat, negara-negara asing akan mereplikasi perlakuan yang sama terhadap TKI, bahkan lebih buruk lagi.

Suryakantanya jelas, dalam berbagai kasus yang dialami TKI, pejabat-pejabat berwenang hingga level tertinggi kurang memperlihatkan empati dan kesungguhan untuk menyelesaikannya. Baru ketika media massa gencar memberitakan kasus-kasus itu, para pejabat itu tergopoh-gopoh. Ketimbang mengupayakan jalan terbaik bagi Siti Atijah yang koma di Arab Saudi misalnya, para pejabat sibuk mengklarifikasi bahwa TKI dimaksud tidak meninggal.

Sikap terhadap kasus Erwiana juga kurang kuat. Meski diapresiasi saat menelpon Erwiana, Presiden SBY seharusnya lebih tegas lagi dengan menjalankan diplomasi tingkat tinggi. Turun tangannya pemimpin tertinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut nyawa TKI akan membuat hidup-mati seorang TKI demikian berharga. Tidak hanya bagi rakyat Indonesia, tapi juga warga negara lain, terutama majikan-majikan yang memperkerjakan TKI. Mengandalkan pejabat-pejabat kementerian atau BNP2TKI tidaklah cukup.

Bukan rahasia lagi jika pejabat-pejabat berkaitan masalah TKI kerap “meremehkan” sosok TKI itu sendiri. Mereka menuding para TKI tidak cukup punya keterampilan dan pendidikan, namun pula tidak banyak melakukan program-program yang mendongkrak kapasitas calon TKI. Lebih parah lagi, kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI dituding oleh para pejabat itu sebagai “akibat ulah TKI sendiri yang tidak cakap”. Sikap ini mencerminkan hilangnya empati di kalangan para pejabat, dan lebih dari itu, sebagai upaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Sesama negara pengirim buruh migran, Filipina, patut diteladani benar-benar. Diplomasi tingkat tinggi mereka terapkan saat membebaskan Sarah Balabagan dan Flor Contemplacion dari hukuman. Kisah heroik ini melegenda, yang tak hanya diterima aspek positifnya oleh kedua orang ini, tetapi juga melambari jutaan buruh migran Filipina dari kasus serupa. Majikan buruh migran Filipina selalu diingatkan, memperlakukan mereka dengan buruk akan mengundang masalah yang lebih besar.

Dari Australia kita juga perlu bercermin. Meski jelas-jelas bersalah dalam perkara narkoba, pemerintah Australia tak pernah alpa menekan Indonesia untuk melepaskan Schapelle Corby dari penjara. Sikap yang sama seharusnya kita lakukan terhadap TKI yang dituduh berbuat kriminal di Malaysia. Meski dicap penjahat, mereka tetap warga negara Indonesia yang tidak dibenarkan ditembak begitu saja layaknya teroris. Mereka harus dihadapkan ke persidangan terlebih dahulu untuk dinyatakan bersalah.

Jangan lupa, campur tangan presiden langsung memang mujarab. Menurut aktivis buruh migran Wahyu Susilo, semasa menjadi presiden, Gus Dur berhasil membebaskan Siti Zaenab (PRT migran Indonesia) dari eksekusi mati di Arab Saudi melalui diplomasi politik tingkat tinggi: berkomunikasi langsung dengan Raja Fahd. Berkat Gus Dur pula, Suhaidi bin Asnawi, buruh migran Indonesia yang divonis mati di Malaysia, dibebaskan dan sekarang menghirup udara bebas di Lombok, kampung halamannya.

Penulis adalah pemerhati masalah buruh migran


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home