MUI Anggap Biaya Sertifikasi Halal Bukan Informasi Publik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Prof Dr Ibnu Hamad, MSi Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia menganggap biaya sertifikasi halal bukan informasi publik. Sehingga laporan keuangannya tidak perlu dibuka ke publik.
“Menurut saya, itu masuk kategori jasa,” kata Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini, Selasa (26/4) dalam diskusi media “Penguatan Keterbukaan Informasi Badan Publik Non-negara”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Informasi Pusat (KIP). Diskusi ini sebagai bagian dari sosialisasi penerapan Undang-undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini wajib dilakukan oleh lembaga negara/pemerintah dan lembaga non-pemerintah.
Menurut definisi undang-undang tersebut definisi organisasi non-Pemerintah adalah organisasi yang sebagian atau seluruh sumber dananya dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, atau luar negeri. Hamad mengakui kalau sebagian sumber dana MUI berasal dari bantuan sosial melalui Kementerian Agama. Yang berarti berasal dari APBN. Dari definisi itu MUI adalah lembaga publik.
Akhir Maret lalu, KIP meminta MUI membuka laporan keuangannya ke publik. Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono mengatakan MUI perlu membuka laporan keuangannya karena lembaga itu mendapatkan dana dari pemerintah dan masyarakat.
“Dana dari pemerintah tidak saja didapat langsung dari APBN tapi juga program-program dari beberapa kementerian,” kata Abdulhamid.
Ia menjelaskan dana masyarakat yang masuk ke rekening MUI berasal dari biaya sertifikasi halal. Dan, menurut UU KIP, MUI wajib menginformasikan program dan laporan keuangannya ke publik dengan mengelola lembaga secara transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. “Badan publik juga tidak boleh menunggu diminta informasinya tapi harus proaktif mengumumkannya ke masyarakat,” ujar Abdulhamid.
Dalam diskusi ini, Hamad menegaskan jika disebut sebagai lembaga publik, MUI akan tunduk dan taat. Ia akan mendiskusikan dengan segenap pengurus MUI untuk memenuhi persyaratan. Misalnya menunjuk pejabat pengelola informasi dan dokumen.
MUI Bisa Diuji di Komisi Informasi
Menanggapi pertanyaan dari MUI, Komisioner Informasi Pusat Rumadi Ahmad menyarankan kepada masyarakat untuk melakukan uji di Komisi Informasi. “Bisa diuji di Komisi Informasi jika ada keraguan apakah MUI masuk kategori Lembaga Publik atau bukan,” katanya. Ia lalu menambahkan, “Kantor MUI menggunakan gedung pemerintah. Berbeda dengan PGI, KWI, NU, dan Muhammadiyah, MUI adalah satu-satunya lembaga non-Pemerintah yang disebut dalam undang-undang. Misalnya dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal.” Yang dimaksud adalah UU No 33/204 tentang Jaminan Produk Halal.
Rumadi dalam penjelasannya untuk organisasi non-pemerintah dalam memberikan akses kepada publik adalah asas dan tujuan; program dan kegiatan; nama, alamat, susunan kepengurusan; pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari APBN, APBD , sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri; mekanisme pengambilan keputusan organisasi, keputusan organisasi dan informasi lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Informasi dapat diberikan melalui terbitan berkala, website, atau media informasi lainnya.
Dananya Rp 240 Triliun
Pada waktu perdebatan RUU Jaminan Produk Halal pada akhir 2013, terungkap bahwa potensi dana yang terkumpul dari proses sertifikasi produk halal sedikitnya mencapai Rp 240 triliun setiap tahun. Menurut anggota Komisi VIII DPR RI, M Baghowi, dana tersebut berasal dari 51 juta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), 40 juta di antaranya seperti usaha makanan, minuman, farmasi, dan kosmetik yang harus mendapatkan sertifikasi halal.
"40 juta UMKM tersebut harus memiliki sertifikasi halal. Kementerian Perdagangan ikut membantu sebesar Rp 6 juta per UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal. Artinya, potensinya uang yang terkumpul, yakni Rp 6 juta dikalikan 40 juta UMKM sama dengan sekitar Rp 240 triliun, kata Baghowi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (13/12/13).
"Berapa banyak dana yang terkumpul kalau sertifikasi halal itu diberlakukan sekali tiga tahun?" kata politikus Demokrat itu.
Sekolah Swasta
Menurut Komisioner Informasi Pusat Henny S Widyaningsih sekolah-sekolah dan perguruan tinggi swasta juga masuk kategori lembaga publik non-pemerintah. Sebab, yayasan yang menaungi lembaga pendidikan tersebut bukan unit usaha murni. Jadi, masuk sebagai lembaga publik yang wajib menyediakan informasi yang terbuka pada masyarakat.
Sebelumnya, Hamad mempertanyakan lembaga lain yang menarik dana masyarakat. Misalnya, lembaga zakat dan sekolah-sekolah swasta. “Bagaimana dengan Al-Azhar, Gonzaga, Tarakanita, PSKD, dan Penabur?”
Kenali Gejala Lupus
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis penyakit dalam konsultan alergi imunologi klinik Univers...