MUI: BPJS Kesehatan Tak Sesuai Prinsip Syariah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Majelis Ulama Indonesia mengatakan penyelenggaraan jaminan sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antarpihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah. Sebab, mengandung unsur gharar, maisir dan riba.
“Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba,” demikian bunyi salah satu hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (masalah fikih kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan, yang berlangsung di Pondok Pesantren Attauhidiyah pada 7-10 Juni 2015, seperti dikutip dari situs mui.or.id, Rabu (29/7).
MUI berpendapat, kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, maka Pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, dianggap telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Namun, setelah diperhatikan, MUI mengungkapkan secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak. Hal itu dilihat dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur.
Secara teknis, kata MUI, konsep BPJS bertentangan dengan syari’ah. Karena bila terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar dua persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu tiga bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar dua persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu enam bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
Sebagai solusinya, MUI mendorong pemerintah “Untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan pelayanan prima.”
Oleh karena itu, kita selaku Muslim harus berhati-hati dalam menerima kebijakan pemerintah, sehingga tidak menyalahi Syari’at yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan.
Editor : Bayu Probo
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...