Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 08:45 WIB | Senin, 13 Maret 2017

Mural Dukungan Aborigin pada Kemerdekaan Papua Dihapus

Mural Dukungan Aborigin pada Kemerdekaan Papua Dihapus
Mural persahabatan Aborigin dan Papua yang menampilkan bendara OPM, yang memunculkan kontroversi di Darwin, Australia (Foto: Ist)
Mural Dukungan Aborigin pada Kemerdekaan Papua Dihapus
Mural persahabatan Aborigin dan Papua sempat disensor dengan mengecat hanya setengahnya.(Fotogreenleft.org.au)

DARWIN, SATUHARAPAN.COM - Sebuah mural yang didedikasikan sebagai simbol persahabatan dan saling dukung suku asli Australia, Aborigin, dan Papua, di kota Darwin, akhirnya dihapus sama sekali pada hari Sabtu (11/03) pagi.

Penghapusan ini terjadi di tengah penelitian yang menemukan bahwa orang Papua dan Aborigin memiliki DNA yang sama, dan sempat hidup bersama sebelum terpisah 30.000 tahun yang lalu.

Penghapusan ini juga dilakukan setelah kunjungan Presiden Joko Widodo ke Australia. Padahal sebelumnya, mural itu sempat bertahan kendati disebutkan bahwa ada tekanan dari pihak Indonesia untuk menghapusnya.

Cindy Watson, aktivis Australia yang berusaha mempertahankan mural simbol persahabatan Aborigin dan Papua, tetapi ia gagal. (Foto: Ivan Rachman/NT News)

Aktivis sempat menghalangi penghapusan itu pada saat-saat terakhir, namun mural yang dilukis di sebuah dinding pembatas bangunan di Jalan Cavenagh, Australia itu, benar-benar lenyap dengan mengecatnya kembali dengan warna putih polis. Aksi menyensor mural itu sempat tersendat, sehingga beberapa hari lalu masih tampak setengahnya.

Salah seorang aktivis, Cindy Watson, mengatakan, 10 orang aktivis sempat berjuang untuk mempertahankannya, tetapi gagal.

Mural itu dilukis di dinding bata di persimpangan jalan Cavenagh dan Bennett bulan Juni 2015. Ada spekulasi, seperti diungkapkan oleh Watson, mural itu dihapus karena ada 'tekanan' dari Indonesia.

Watson mengatakan sangat menyedihkan kehilangan mural itu tepat pada Hari Perempuan Internasional dirayakan di Darwin.

"Sementara banyak hal yang dirayakan atas apa yang telah dicapai perempuan selama ini, ada banyak hal yang masih harus diperjuangkan, dan tepat hari ini simbol persahabatan Aborigin dan Papua dimusnahkan," katanya.

"Kami ingin mural itu dipertahankan. Itu tidak hanya simbol persahabatan, itu sebuah karya seni, seni budaya, dan di bawah tekanan publik dari Indonesia itu benar-benar dihapuskan. "

Kontroversial

Mural ini sudah kontroversial sejak dibuat, terutama bagi Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Darwin. Penyebabnya, dalam mural itu ada gambar bendera Bintang Kejora yang di Indonesia dianggap sebagai simbol separatisme.

Pada hari Sabtu (11/03), mural persahabatan Aborigin dan Papua dihapus sama sekali dengan cara mengecatnya kembali. (Foto: Ivan Rachman/NT News)

Namun, seniman mural ini, Juni Mills, mengatakan bahwa dinding tersebut telah digunakan oleh seniman yang berbeda selama bertahun-tahun dengan menampilkan berbagai pesan.

Sebagai sesepuh Larrakia, Mills mengatakan mural telah dirancang untuk menunjukkan solidaritas antara rakyat Papua dan orang-orang Aborigin.

"Mural ini telah menggambarkan rasa hormat dan cinta serta solidaritas pada rakyat Papua," kata Mills.

Baca Juga

"Orang-orang tidak bisa menaikkan bendera Papua di Papua - mereka dibunuh atau jika tidak dibunuh, dipenjara, atau dihukum berat dalam sejumlah bentuk.

“Jadi Kami melukis bendera itu di sini, sebagai bentuk solidaritas dengan bendera Aborigin - Kami berdua mengakui perjuangan, dan masalah yang sebenarnya adalah mereka ingin bendera itu dihapus, karena mereka tidak ingin pesan itu keluar, mereka menekan informasi tentang apa yang terjadi di Papua Barat, " kata dia, tahun lalu, dikutip dari australiaplus, belum lama ini.

Tahun lalu, Konsulat Indonesia di kota Darwin, Australia, Andre Siregar, menyangkal ia menekan pemilik dinding yang dilukisi mural Aborigin dan Papua yang menampilkan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun ia mengakui, sudah melaporkan keberadaan mural itu ke Jakarta.

“Ini sesuatu yang kita hargai, kita harus hargai, tapi tolong bukan itu (mural bendera OPM), itu menyinggung kami,” kata Siregar, seperti dilaporkan oleh abc.net.au.

Andre Siregar, berbicara sebagai perwakilan Indonesia di Darwin, mengatakan ia telah menyampaikan posisi Indonesia tentang permasalahan Papua.

“Tentu saja itu adalah bendera kelompok separatis — mereka ingin Papua Barat menjadi sebuah negara yang berarti pisah dari Indonesia,” kata Siregar.

“Mereka mengabaikan 2,5 juta orang Papua yang telah mengikuti pemilu dan menyumbangkan suaranya, dan 3,9 juta penduduk Papua yang juga tinggal di sana."

"Jadi sebagai wakil pemerintah di Darwin saya telah menyampaikan situasi ini kepada Pemerintah Indonesia, (dan) kami tidak ingin mereka kurang informasi”.

Andre Siregar mengatakan kepada abc.net.au,  bahwa dia orang yang terakhir yang mengetahui adanya “tekanan eksternal”  untuk menghilangkan mural itu, seperti diberitakan oleh media.

"Saya kira saya yang menyadarinya paling akhir, bahwa seseorang merasa tertekan, dan seseorang ingin dinding mereka bersih, seseorang harus memilih orang lain untuk disalahkan," kata Siregar.

Aborigin dan Papua

Pekan lalu David Lambert, peneliti dari Griffth University, Australia, menyajikan hasil risetnya di Jakarta yang mengatakan orang Papua dan Aborigin adalah bersaudara dan pernah hidup bersama selama ribuan tahun.

Riset genetika yang ia lakukan mengungkap, bahwa kebersamaan orang Papua dan Aborigin dimulai sejak 72.000 tahun lalu, saat keduanya meninggalkan Afrika. Menurut riset itu, orang Papua dan Aborigin menjalani kehidupan bersama, termasuk  menjelajah bersama, berburu makanan bersama, mengembangkan alat bersama, dan bahkan kawin mawin dengan jenis manusia purba Neanderthal dan Denisovan.

Hidup bersama selama ribuan tahun, genetika keduanya pun mirip. "Kita bisa mengatakan bahwa secara genetik mereka satu kluster," kata David Lambert. Lalu Papua dan Aborigin terpisah sejak 38.000 tahun lalu. Orang Aborigin bermigrasi menuju Australia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home