Loading...
RELIGI
Penulis: Kartika Virgianti 12:56 WIB | Sabtu, 21 Juni 2014

Musik Gereja Harus Nyanyian yang Beribadah

Dewan Pembina Yamuger, Chrismaryadi Budhisetiawan, sekaligus Ketua Pelaksana Konsultasi Nasional Musik Gereja (Konas Muger) 2014 saat berbincang dengan wartawan di Graha Bethel Indonesia. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kidung Jemaat dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Jemaat gereja masa kini butuh “nyanyian yang beribadah” sekaligus “ibadah yang bernyanyi”. Akan tetapi seperti apa? Ketua Pelaksana Konsultasi Nasional Musik Gereja (Konas Muger) 2014, Chrismaryadi Budhisetiawan menjelaskannya di Graha Bethel Indonesia, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu (18/6).

Pria yang akrab disapa Yadi itu mengatakan ketika bicara tentang nyanyian gereja berarti tidak hanya tentang nyanyian dalam kebaktian umum di hari Minggu, tetapi juga kebaktian remaja, sekolah minggu anak-anak, sebagaimana ia sampaikan dalam acara yang diselenggarakan Yayasan Musik Gereja (Yamuger) bertema ‘Nyanyikanlah Nyanyian Baru Bagi Tuhan (Mazmur 96:1A)’ itu.

“Bukan berarti Yamuger dan PGI masuk ke dunia pop rohani. Kita tetap melahirkan nyanyian gereja. Seperti kata pembicara utama Pendeta Rasid Rachman, jadikanlah ini ‘ibadah yang bernyanyi’ atau ‘nyanyian yang beribadah,” ungkap Yadi, yang juga salah satu Dewan Pembina Yamuger, yayasan yang didirikan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan tokoh-tokoh pecinta musik gereja pada 11 Februari 1967 di Jakarta.

“Ada juga pernyataan Pendeta Natan Kristiyanto bahwa nyanyian itu jangan hanya berbicara, tetapi nyanyian itu juga harus benar. Sebuah nyanyian meskipun benar secara ilmu musikologi, tapi kalau tidak disukai jemaatnya, apakah itu bagus? Maka, musik gereja itu harus ada unsur benar dan bagusnya (diterima jemaat),” dia menambahkan.

Dua Rekomendasi Konas Muger  

Yadi mengatakan telah direkomendasikan dua dimensi atau bagian pokok dari output yang akan ditindaklanjuti. Pertama, music ministry atau penatalayanan musik gereja, dan kedua, pengembangan musik gereja, meliputi nyanyian gereja dan Kidung Keesaan.

Music ministry yaitu bagaimana nyanyian gereja tidak hanya didengarkan jemaat di kebaktian Minggu, tetapi juga di luar kebaktian, baik oleh dewasa dan lansia, sampai anak-anak dan remaja.

“Apakah musik gereja hanya boleh dipakai di kebaktian Minggu yang kebanyakan adalah jemaat dewasa? Sebaiknya gereja tidak membatasi diri sampai di situ. Ini yang disebut music ministry,” kata Yadi. 

Stakeholder yang harus dipuaskan dalam music ministry adalah PGI dan sinodenya, karena mereka menginginkan nyanyian gereja tidak hanya didengarkan jemaat 1,5 jam dalam seminggu, dalam arti hanya saat ibadah Minggu.

“Kita punya waktu terjaga dalam sehari 18 jam, sedangkan seminggu berarti kita punya waktu 126 jam terjaga. Itu yang akan dijangkau oleh music ministry. Terlebih di zaman modern kita ini ada teknologi sebagai media yang bisa menjangkaunya, misalnya saat di kendaraan umum, saat di mobil, di kantor, mungkin saat jalan-jalan ke mal, tidak terbatas di dalam gereja,” dia menguraikan.

Sedangkan pengembangan musik gereja, menurut Yadi, berarti bicara ke arah tatanan yang lebih teknis atau etnomusik/musikologi, bukan pelayanannya. Contohnya musik gereja Batak, Sunda, Jawa, Toraja.

Sekarang Yamuger sudah mempunyai 1050-an lagu untuk kebaktian dewasa saja, sedangkan yang dibutuhkan sebenarnya cuma 315. Maka, dalam proses itu harus ada lagu yang disortir lagi. Seharusnya yang tidak populer dikeluarkan, atau bisa juga diaransemen ulang. Kendalanya ada di hak cipta, dalam arti penciptanya kebanyakan tidak rela lagunya diubah.

“Saya tidak mau mengatakan harus 315 lagu, boleh juga sampai 500, tetapi khusus untuk lagu yang sampai setahun atau dua tahun tidak dinyanyikan jemaat, perlu ada peremajaan lagu (aransemen ulang, Red), jangan dibiarkan saja,” tegas Yadi.

Lebih jauh Yadi menjelaskan tentang penggunaan musik etnis (daerah) untuk lintas etnis dalam jemaat akan ada dua pertimbangan. Pertama, lirik bahasa Indonesia tapi melodinya nuansa etnis.Kedua, liriknya etnis tapi melodinya masa kini.

Maka kesimpulan untuk penggunaan musik etnis dari Konas Muger ini diarahkan ke alat musik yang digunakan (etnis atau modern), melodi yang dihasilkan alat musik itu, pakaian yang dikenakan jemaat, dan pembacaan alkitabnya.

Semua itu, menurut Yadi, adalah suatu program induk yang akan dilaksanakan 2,5 tahun ke depan.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home