Loading...
DUNIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 12:06 WIB | Kamis, 14 November 2013

Orang Yahudi Terakhir di Afghanistan Terancam Menutup Restoran Kebabnya

Zabulon Simintov, seorang Yahudi Afghanistan sedang mempersiapklan diri untuk ibada di kediamannya di Kabul. (foto: english.alarabiya.net)

AFGHANISTAN, SATUHARAPAN.COM – Zabulon Simintov selalu melepaskan kippahnya-sebuah kopiah yang selalu dikenakan oleh laki-laki Yahudi, sebelum ia memasuki kafe di sebuah bangunan bobrok yang juga digunakan sebagai rumah ibadah terakhir di Afghanistan.

“Izinkan saya untuk melepas topi ini, kalau tidak orang akan berpikir buruk tentang saya,” kata Simintov dengan riang sambil menuruni tangganya yang berdebu ke kafe di lantai dasar.

Simintov yang berusia sekitar 50 tahun tersebut adalah orang Yahudi terakhir yang berada di Afghanistan yang memutuskan untuk menetap di negara konflik tersebut. Dia telah menjadi seperti selebriti selama bertahun-tahun dan persaingannya dengan orang Yahudi yang terakhir yang meninggal pada tahun 2005, menginspirasinya untuk tetap bertahan.

Mengingat budaya Muslim Afghanistan yang sangat konservatif, Simintov mencoba untuk tidak mengumbar identitasnya untuk melindungi Balkh Bastan atau Ancient Balkh, sebuah kebab cafe yang ia buka empat tahun lalu, yang ia beri nama setelah provinsi Afghanistan Utara.

“Semua makanan disini disiapkan oleh umat Islam,” katanya. Sekarang kafe tersebut rapi dan mengkilap terancam ditutup karena penjualan kebab kurang baik – terutama karena memburuknya keamanan di Kabul yang telah membuat orang takut untuk makan di luar atau mengunjungi kota tersebut.

Simintov biasanya bergantung pada pesanan katering hotel tapi saat ini bahkan tidak ada pesanan setelah pasukan asing mulai menarik diri dari Afghanistan yang melemahkan keamanan dan investasi.

“Hotel-hotel biasanya memesan makanan untuk 400 hingga 500 orang. Empat atau lima kompor sibuk dari siang hingga sore,” katanya. “Saya berencana untuk menutup restoran saya pada bulan Maret dan menyewa ruang tersebut.”

Saat makan siang, satu meja diduduki, dengan sepasang pelanggan memesan sate daging tusuk panjang dan beberapa hidangan khas Afghanistan lainnya. Kelihatannya mereka tahu cerita tentang Simintov dan mengatakan mereka datang hanya karena sebuah kafe sebelah yang membuat hidangan khusus mie Afghanistan telah ditutup.

Sedikit yang mengetahui tentang asal-usul Yahudi Afghanistan, yang sebagia percaya bahwa mereka telah tinggal disini sekitar lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sebuah gulungan yang disembunyikan dari abad ke 11 baru-baru ini ditemukan di utara yang berisi tentang kesempatan untuk mempelajari puisi, catatan komersial, dan perjanjian peradilan pada waktu silam.

Ribuan masyarakat Yahudi sangat mendominasi pada pergantian abad ke 20 dan tersebar di beberapa kota tetapi memliki kontak terbatas dengan sesama Yahudi di luar negeri. Mereka kemudian meninggalkan negara tersebut (Afghanistan) secara massal, mereka pindah terutama ke negara yang baru dibuat oleh Israel.

Simintov, istri dan putrinya juga berencana untuk pindah ke negara yang berpenduduk orang Yahudi, namun ia memutuskan untuk tinggal dengan saudara-saudara Afghanistannya.

Berdebu dan Bobrok

Berasal dari kota perbatasan barat Herat, tempat lahir kebudayaan Yahudi di Afghanistan, Simintov membawa poster kumal dan buku doa ketika ia memperlihatkannya kepada pengunjung di sekitar rumah ibada yang bobrok tersebut.

Dia menarik “shofar” –tanduk domba yang digunakan untuk Tahun Baru Yahudi Yom Kippur dan hari perdamaian- dari lemarinya yang berdebu dan meniupnya dengan sedikit efek. Simintov juga mengelola sebuah pemakaman di dekatnya yang ditandai dengan sedikit pecahan batu di halaman yang terawat.

Agama-agama lain bernasib lebih buruk dari Yudaisme.

Tidak ada orang Kristen di Afghanistan yang tersisa, setidaknya tidak ada yang terbuka tentang hal itu, dan satu-satunya gereja permanen adalah di dalam kompleks diplomatik Italia. Ada populasi kecil Hindu, tetapi mereka menyusut dengan cepat.

Ketidak beruntungan Simintov ini terkait dengan meningkatnya resiko menjalankan bisnis.

Lebih dari belasan tahun lalu sejak invasi pimpinan AS menggulingkan gerakan garis keras, Taliban, untuk mengakhiri lima tahun dalam kekuasaan, takut bom, penembakan dan kejahatan masih merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.

Simintov mengatakan kafe telah kehilangan $45ribu (Rp 520 juta)dan semua barang-barang berharga yang dikumpulkan oleh ayahnya dicuri sebelum Taliban digulingkan pada tahun 2001. Ia berharap bahwa menyewa ruang kafe bisa menghasilkan cukup uang untuk merenovasi rumah ibadat.

Sebagian besar interior bangunan bercat putih, termasuk lantai sinagoga dan dinding yang ditutupi oleh lapisan berwarna hitam. Bangunan tersebut selamat dari aksi Taliban, namun seluruh isi ruangan tersebut digeledah.

Namun, Simintov dengan tegas tetap mempertahankan imannya, dia sakit hati –bahkan marah – oleh kemalangan dan kegagalan pasukan NATO yang dipimpin oleh AS untuk menciptakan kondisi bagi perdamaian dan keamanan tanpa ancaman dari Taliban.

“Lebih baik melihat seekor anjing daripada melihat orang Amerika,” katanya. “Jika situasi di negara itu semakin memburuk, saya akan melarikan diri.” (english.alarabiya.net)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home