Loading...
ANALISIS
Penulis: Sampe L. Purba 00:00 WIB | Senin, 03 Oktober 2016

Otoritas Migas Nasional dan Tantangan Global

Tanpa sadar, berbagai perundangan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah rezim reformasi justru menjadikan migas tidak lagi memiliki nilai strategis, tetapi sekadar sebagai sumber daya alam. Padahal tantangan global makin menguat. Lalu apa yang harus dilakukan?

SATUHARAPAN.COM - Dalam undang-undang migas pada masa kemerdekaan (UU  No 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi), ditekankan bahwa minyak dan gas gas bumi mempunyai arti yang khusus untuk pertahanan nasional. Fungsi itu dipertegas lagi dalam  Undang-undang nomor 8 tahun 1971, tentang Pertamina yang menyatakan bahwa minyak dan gas bumi adalah bahan galian strategis, baik untuk perekonomian negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Nasional. Namun Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi di dalam rezim reformasi, fungsi tersebut telah hilang dan migas terdegradasi menjadi hanya sekedar sumber daya alam strategis serta komoditas vital.   

Fungsi-fungsi yang sebelumnya berada pada satu Badan Negara (yang bernama Pertamina yang dibentuk dengan Undang-undang), dikavling dan dipreteli baik melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga sekedar akta notaris pada berbagai institusi, seperti Kuasa Pertambangan (Pada Kementerian ESDM), Manajemen Pengendalian Kegiatan Hulu Migas (pada BPMigas yang kemudian menjadi SKKMigas), pengaturan akses dan tarif gas pipa tertentu (BPHMigas), kegiatan hulu – hilir – niaga (pada Pertamina dan afiliasinya), serta Kementerian Keuangan (penerimaan langsung devisa negara), dan perusahaan swasta pengelola jalur transmisi gas, yang sifatnya oligopolis alami. 

Sebagai akibat dari menyebar dan terpencarnya kewenangan tersebut, dengan segala key performance indicators yang tidak sinkron antar institusi, mendatangkan infefisiensi dari sisi waktu, biaya maupun kualitas produk yang berdaya saing. Beberapa diantaranya merupakan akibat langsung dari  berbagai ekses, seperti :
a.    Alot, sulit dan tumpang tindihnya perizinan. Berbagai instansi seperti kehutanan, agraria, perhubungan, kelautan dan Pemerintah daerah, adalah instansi-instansi yang memiliki kewenangan yang berkelindan dalam perizinan yang berlapis-lapis. 
b.    Kurangnya prioritas pada proyek proyek vital strategis nasional. Sekalipun dalam kompleks instalasi proyek migas nasional telah dilabeli dengan papan nama “Objek Vital Nasional”, itu tidak banyak mengurangi gangguan dan hambatan di lapangan, termasuk yang diorkestrasi segelintir pihak yang kepentingannya tidak terakomodir
c.    Relatif tidak ada pertumbuhan signifikan pada infrastruktur, seperti jalur transmisi gas, terminal penghubung penyediaan gas, pengembangan terpadu lapangan migas di perbatasan negara dengan tata ruang daerah 
d.    campur tangan otoritas lokal dan parlemen dalam seleksi rekrutmen pemangku jabatan. 

Di sisi lain, kecenderungan global yang kita hadapi saat ini adalah: Pertama, negara memfasilitasi perusahaan negaranya untuk berekspansi ke luar, sambil melindungi kepentingan nasionalnya. Misalnya, Pemerintah Tiongkok gencar membawa perusahaan negaranya untuk mencari migas di negara-negara lain, sekaligus dengan industri konstruksi penunjangnya (turn – key basis). Kedua, standardisasi teknis dan harmonisasi regulasi yang merupakan proteksi terhadap perusahaan domestik. Ketiga, otonomi yang lebih luas kepada Korporasi untuk melaksanakan aktivitasnya berdasarkan kaidah bisnis, strategis dan teknis yang luas. The best government is  least to govern. Dan, keempat, kurang kompetitifnya perusahaan dan produk-produk domestik dibandingkan dengan sejenisnya. Akibatnya, pasar domestik kita  akan dibanjiri oleh produk impor (seperti LNG, pupuk, petrokimia dan turunannya), sementara produk sendiri tidak mampu bersaing di pasar luar negeri.

Untuk merespon hal-hal tersebut di atas, serta mengembalikan competitiveness dan kepastian hukum, termasuk di dalamnya untuk mengarahkan migas sebagai sumber daya strategis modal pertahanan keamanan nasional dalam rangka integritas bangsa, maka perlu dikembalikan kewenangan dan otoritas  pengaturan migas pada satu institusi negara. 

Institusi Negara tersebut, bukan merupakan lembaga ad hoc, tetapi lembaga mandiri yang dapat membuat blue print jangka panjang pengelolaan migas secara berkesinambungan. Kesinambungan dan keterpaduan tersebut termasuk untuk mencari cadangan migas, pembentukan cadangan penyangga migas nasional, akses penyediaan migas  hingga ke perbatasan, pemberdayaan masyarakat dan perusahaan nasional. Otoritas Negara tersebut – untuk sementara bisa diberi nama Otoritas Migas Nasional (OMN) -- bersinergi dengan Kementerian dan Lembaga terkait harus dapat  merangsang tumbuhnya industrialisasi dan hilirisasi yang memanfaatkan migas, seperti petrokimia, pupuk, bahan peledak, industri farmasi, bahan plastik, tekstil dan elektronik, maupun industri penunjang seperti galangan kapal, konstruksi, semen dan lain-lain. 

Otoritas ini harus menjadi one-stop-service (kebijakan satu atap) untuk segala sesuatu yang terkait dengan kelancaran aktivitas  pengelolaan migas. Lembaga ini bertanggungjawab untuk mulai dari identifikasi pemetaan survey umum, penetapan wilayah kerja migas, menentukan mitra kerja, Otoritas Migas Nasional mengemban sekaligus fungsi Pembuat Kebijakan (policy), Pengaturan (regulatory management) dan Pelaksana Bisnis (executory commercial). Sebagai badan hukum cakap dan berwenang untuk membuat dan menandatangani kontrak dan perjanjian komersial, serta mampu membela dirinya sendiri di depan pengadilan  tanpa harus dikaitkan dengan Pemerintah. 

Apakah ini akan membuat otoritas migas nasional menjadi lembaga superbody yang tidak memiliki akuntabitas dan governance yang baik? Sepintas memang akan kelihatan seperti itu. Tetapi harap diingat hiruk pikuk, birokrasi dan ketidak pastian interpretasi hukum yang terjadi selama ini, adalah karena kita terlalu mengagung-agungkan pemisahan pembuat kebijakan, pengatur manajemen dan pelaksana bisnis. Segmentasi yang demikian dalam kenyataannya hanya menambah mata rantai dan mengurangi efek daya saing industri kita. 

Pimpinan Otoritas Migas Nasional untuk pertama kalinya harus merupakan hasil seleksi nasional, sedangkan di jajaran pengawasnya akan duduk wakil dari pemangku kepentingan dan ex officio beberapa anggota Kabinet yang terkait. Adapun keterkaitannya dengan Lembaga Parlemen adalah dalam konteks keterbukaan dan transparansi pengelolaan kinerja dan kebijakan.

Bisakah?

 

Penulis adalah praktisi migas global 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home