Loading...
ANALISIS
Penulis: Sahala Tua Saragih 00:00 WIB | Selasa, 29 Maret 2016

Paskah Diabaikan Terus

Paskah dan Pentakosta adalah dua hari paling akbar bagi umat Kristen. Dulu kedua hari itu tampak ada di kalender umum. Mengapa sekarang hilang?

SATUHARAPAN.COM - Setiap akhir Desember biasanya kita memiliki kalender baru, baik kalender kasio (kasi orang) maupun kalender yang kita beli sendiri. Biasanya kita langsung melihat dan menghitung jumlah hari libur (tanggal-tanggal merah) selama setahun, kecuali Minggu.   

Salah satu tanggal yang sangat menarik perhatian kita pastilah 25 Desember. Sebagian orang tertarik juga memperhatikan tanggal Jumat Agung. Akan tetapi pernahkah Anda memperhatikan tanggal Paskah (pesta peringatan hari kebangkitan Tuhan Yesus Kristus) dan tanggal Pentakosta (pesta peringatan hari turunnya Roh Kudus)? 

Hampir semua kita tak sadar bahwa sudah lebih dari 40 tahun hari raya Paskah dan Pentakosta tidak tercantum dalam kalender umum Indonesia. Yang pasti selalu tercantum dalam kalender nasional adalah hari Wafat Yesus Kristus (pemerintah menyebutnya Wafat Isa Al-Masih), yang pasti selalu jatuh pada Jumat atau lazim  kita sebut Jumat Agung. Seingat penulis, pada tahun-tahun 1960-an di kalender umum selalu tercantum hari raya Paskah (dua hari setelah Jumat Agung) dan Pentakosta. Waktu itu dalam kalender umum bahkan tercantum hari raya Paskah I dan II (Minggu dan Senin) dan hari Penta Kosta I dan II (juga Minggu dan Senin). Dahulu hari raya Paskah II dan Penta Kosta II meskipun dalam kalender umum berwarna merah (hari besar) namun dinyatakan bersifat fakultatif. Artinya, pegawai, pekerja, siswa dan mahasiswa boleh libur, tapi boleh juga tidak libur.

Dalam beberapa puluh tahun terakhir kita tak pernah lagi menemukan hari raya Paskah dan Pentakosta dalam kalender umum. Hari terbesar di kalangan umat Kristen itu dapat kita temukan hanya pada kalender-kalender khusus yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga gerejawi tertentu dan beredar hanya di lingkungan warga gereja-gereja yang bersangkutan.  Dalam kalender khusus gereja-gereja tersebut selalu tercantum hari raya Paskah I dan II  dan Pentakosta I dan II. Penulis merasa sungguh heran, ternyata ada lembaga-lembaga gereja yang sama sekali tak mencantumkan Paskah dalam kalender internal mereka. Mereka mencantumkan hanya tanggal-tanggal merah versi resmi daripemerintah. Lebih heran lagi, dalam kalender mereka juga tak tercantum Hari Pentakosta yang selalu jatuh pada Minggu, karena memang tak tercantum dalam daftar hari libur/besar nasional versi pemerintah.

Kita tidak tahu pasti sejak kapan hari raya Paskah dan Pentakosta “dihapuskan” dari kalender umum. Namun bila kita memperhatikan hal ini dengan cermat, penghilangan hari raya besar tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa setelah Yesus Kristus mati dibunuh (disalibkan) dengan sangat sadis oleh orang-orang Yahudi, Ia tidak bangkit (hidup) kembali. Dengan pencantuman hari Wafat Yesus Kristus/Isa Al-Masih dalam kalender umum tanpa diikuti pencantuman hari raya Paskah, maka dapat timbul kesan, seolah-olah riwayat Yesus Kristus sudah tamat untuk selama-lamanya setelah Ia dibunuh dan dikuburkan. Sadar atau tak sadar, pemerintah selama lebih dari 40 tahun telah mengabaikan hari raya Paskah dan Pentakosta. Padahal, Paskah merupakan hari akbar terbesar bagi umat Kristen di manapun di muka bumi ini.

Penulis masih ingat, dahulu ketika Megawati Soekarnoputri menjabat presiden, bila hari raya keagamaan jatuh pada Minggu, itu pasti tercantum dalam kalender umum. Esok harinya (Senin) dinyatakan sebagai hari libur nasional. Contohnya, peringatan hari raya Nyepi pada Minggu, 21 Maret 2004, dan esok harinya (22 Maret) libur hari raya Nyepi. Jadi, dua hari berturut-turut merupakan libur nasional. Juga Minggu, 1 Februari 2004, hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah 1424 H), dan esok harinya (2 Februari) menjadi libur hari raya Idul Adha. Berikutnya, Minggu, 22 Februari 2004 hari raya Tahun Baru Hijriyah (1 Muharram 1425 H). Besoknya (23 Februari) secara resmi dinyatakan sebagai hari libur Tahun Baru Hijriyah. Ketiga hari raya keagamaan berikut hari-hari liburnya jelas sekali tercantum dalam semua kalender yang terbit dan beredar waktu itu. Bahkan pada tahun 2004, Senin, 5 April dan Senin 5 Juli menjadi hari libur nasional karena pemilihan umum (Pemilu). Padahal ini benar-benar merupakan kegiatan nasional yang sangat duniawi.  

Sewaktu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat presiden setiap Februari ada satu hari dinyatakan sebagai hari Tahun Baru Imlek, dan ini menjadi hari libur nasional meskipun bukan hari besar keagamaan. Bahkan sejak beberapa tahun lalu, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjabat presiden, setiap 1 Mei pun menjadi tanggal merah yakni Hari Buruh Internasional. Tahun ini 1 Mei jatuh pada Minggu, dan ternyata tetap tertulis dalam semua kalender. Hari yang dianggap besar (meskipun sama sekali tak berkaitan dengan agama dan budaya nenek moyang)  tersebut menjadi hari libur nasional.   

Sadar atau tak sadar, sesungguhnya para pemimpin lembaga gereja-gereja dan umat Kristen umumnya di Indonesia juga telah mengabaikan Paskah dan Pentakosta. Mereka atau kita merayakan dan memaknai Paskah dan Pentakosta hampir sama atau sama saja dengan kebaktian Minggu biasa.

Tak sedikit orang Kristen yang tidak merasa salah sedikitpun ketika mereka tak menghadiri perayaan (kebaktian) Paskah dan Pentakosta. Mengucapkan selamat Paskah sambil berjabat tangan saja pun mereka masih tampak enggan atau canggung. Banyak gereja (jemaat) dari segi tampilan fisik saja tak menunjukkan bahwa hari akbar Paskah dan Pentakosta akan/sudah tiba. Coba kita perhatikan, apakah ada gereja-gereja yang dihias, misalnya dengan janur kuning dan lampu-lampu warna-warni, dalam rangka menyambut dan merayakan Paskah dan Pentakosta. Apakah ada rumah-rumah orang Kristen yang dihias khusus dalam rangka perayaan Paskah dan Pentakosta?

Bukti lainnya, pada penyusunan program kerja dan anggararan jemaat dan seksi-seksi atau komisi-komisi di tiap jemaat pada awal tahun, sadar atau tak sadar mereka/kita mengabaikan perayaan Paskah dan Pentakosta, dan sebaliknya membuat rencana kegiatan dan anggaran yang sangat besar untuk hari raya Natal (peringatan kelahiran Yesus Kristus). Bandingkan dengan rencana kerja dan anggaran untuk pesta Paskah dan Penta Kosta, bagaikan langit dengan bumi. Tak sedikit gereja (jemaat) yang tak menyiapkan anggaran untuk perayaan Paskah dan Pentakosta, karena memang tidak ada kegiatannya. Kedua hari besar Kristen ini dirayakan sama saja dengan kebaktian Minggu biasa.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan pesta Natal. Banyak jemaat atau warga Kristen yang “habis-habisan” dalam perayaan Natal sepanjang Desember. Berbagai cara dan aktivitas mereka buat untuk merayakan dan memaknai hari lahir Sang Juru Selamat. Kelahiran Yesus Kristus padahal tak berarti apa-apa tanpa kematian dan kebangkitan-Nya. Tidak sedikit orang Kristen yang memiliki tradisi mudik Natal dan Tahun Baru, tentu saja menghabiskan banyak sekali biaya. Mereka merasa tidak afdol merayakan Natal dan Tahun Baru bila tidak pulang kampung.

Yang lebih “hebat” lagi, banyak pula orang Kristen yang menyambut dan merayakan Tahun Baru secara istimewa. Mereka merayakannya bersama keluarga besarnya semalam suntuk. Mereka seperti merasa berdosa bila tak berkumpul dengan keluarga besarnya dalam menyambut dan merayakan Tahun Baru. Malam Tahun Baru benar-benar dianggap peristiwa sangat istimewa. Pada malam itulah mereka saling maaf-memaafkan.

Pada tiap perayaan Natal dan Tahun Baru mereka berusaha keras agar semuanya (yang terlihat mata) serba baru. Tak sedikit orang Kristen yang merayakan Natal dan Tahun Baru secara hedonistis, berfoya-foya, sangat duniawi. Sang Mesias yang mereka rayakan padahal dahulu kala sesungguhnya lahir dalam kemiskinan yang sangat memilukan. Berbeda dengan Natal, sesungguhnya Tahun Baru bukanlah hari besar gerejawi. Sebaliknya, pada pesta Paskah dan Pentakosta keluarga mereka tidak melakukan apa pun di rumah. Komunitas keluarga besar mereka sama sekali tak merayakan pesta Paskah sebagaimana mereka menyambut dan merayakan malam Tahun Baru.

Paskah dan Pentakosta benar-benar mereka abaikan, sementara Natal dan Tahun Baru sangat diistimewakan.  Sungguh ironis, orang Kristen kok tidak kunjung sadar bahwa Paskah merupakan hari terbesar atau pesta gerejawi terpenting. Kalau umat Kristen saja sudah mengabaikan Paskah dan Pentakosta, lalu bagaimana kita bisa mengharapkan orang lain, termasuk pemerintah, untuk memedulikannya?

Kalau ada niat yang sungguh-sungguh, sebenarnya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) bisa mendesak pemerintah agar mulai tahun depan Paskah dan Pentakosta tercantum dalam kalender nasional sebagai hari besar umat Kristen di dunia.

Dalam forum ini kita tidak menuntut agar pemerintah mulai tahun depan mencantumkan Paskah dan Pentakosta sebagai hari libur nasional. Ini tidak begitu berarti bagi umat Kristen di negeri ini. Yang kita tuntut hanyalah agar pemerintah bersikap adil dalam pencantuman hari-hari raya keagamaan dalam kalender umum. Pemerintah yang bijak dan adil tentunya tidak boleh mengabaikan  hari akbar umat Kristen (Paskah) dan Pentakosta.

Singkat kata, semoga mulai tahun depan kedua hari besar keagamaan ini tercantum (kembali) pada kalender umum atau semua kalender yang terbit dan beredar di Tanah Air mulai tahun depan.

 

Penulis adalah anggota Majelis Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Bandung dan Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home