Loading...
ANALISIS
Penulis: Benny Susetyo Pr 10:48 WIB | Kamis, 31 Maret 2016

Paskah Kasih Membebaskan Kuasa Duniawi

Benny Susetyo Pr. (Foto: satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM – Dalam bulla pemakluman Tahun Suci Luar Biasa ini, Paus Fransiksus antara lain menyatakan, “Janganlah jatuh ke dalam pola pikir yang mengerikan, yang beranggapan bahwa kebahagiaan bergantung pada uang dan bahwa, dibandingkan dengan uang, semua yang lain tidak ada nilai atau martabatnya.  … Kekerasan yang ditimpakan kepada orang lain demi menimbun kekayaan yang berlumuran darah tidak akan mampu membuat seorang pun berkuasa atau tidak mati” (MV no. 19.1).

Paus juga menyinggung gejala korupsi dan menulis, “Luka-luka bernanah (akibat korupsi) ini merupakan dosa berat yang berteriak keras ke surga untuk mendapatkan pembalasan, karena luka itu merongrong dasar-dasar kehidupan pribadi dan masyarakat. Korupsi membuat kita tidak mampu melihat masa depan dengan penuh harapan, karena kerakusannya yang lalim itu menghancurkan harapan-harapan kaum lemah dan menginjak-injak orang yang paling miskin di antara kaum miskin. Korupsi adalah …. skandal publik yang berat” (MV no. 19.2).

Ajak Bapak Suci Fransiskus kita berani meninggal cara hidup yang menindas dan tidak lagi melakukan korupsi  akan menghancurkan sebuah keadaban bangsa maka DALAM Paskah kali ini kita diajak oleh Tuhan Yesus untuk memiliki keinginan membarui diri, bukan untuk menceburkan dalam dosa lama. Salah satu caranya dengan mewujudkan kasih di tengah keberingasan sistem dan kekuasaan para elit.

Sebagian besar elit telah menjadi manusia angkuh dan egois karena di dalam dirinya tidak ada kasih agar mau memberikan korban. Korban yang utama bukanlah persembahan tetapi korban utama adalah sikap hati yang jujur dan tulus serta berbelas kasih kepada semua makhluk di bumi ini terutama yang sedang dirundung penderitaan.

Budaya Dusta

Para elit politik semakin bertingkah tak tahu diri. Mereka berlomba-lomba pamer kekuatan dan gaya. Di tengah-tengah kemiskinan yang makin meningkat, mereka bersikeras meminta tunjangan ini dan itu, membangun gedung dewan yang megah di tengah gubuk derita rakyat yang semakin reyot.

Dengan kekuasaan, elit politik sering memalsukan fakta. Dengan uang, mereka membeli berita dan mengintervensi media. Tanpa rasa malu, jual beli hukum semakin diramaikan. Di negeri ini tiada hari tanpa dusta. Dusta yang dikemukakan dalam pelbagai silang pendapat.

Warna dusta yang menjelma dalam egoisme diri; rasa ke-aku-an dengan menganggap diri paling bersih dan benar. Akibat dari sikap ini membuat mereka tak pernah belajar dari sejarah. Sejarah pahit yang selama ini dialami rakyat kecil, tak pernah dijadikan cermin untuk memperbarui diri.

Para elit politik terlanjur menggantungkan diri semata-mata kepada uang. Mereka telah lama meninggalkan mata hatinya. Mata hati mereka sudah silau dengan uang. Uang telah membuat elit politik mudah melacurkan dirinya. Tanpa mereka sadari sungguh-sungguh, orientasi yang semata-mata kepada “uang” dan “kekuasaan” ini telah membuat bangsa ini tercabik-cabik. Di antara mereka saling menerkam, membunuh dan menghilangkan rasa manusiawinya.

Kita mungkin malu mengatakan Indonesia telah kehilangan kesadaran sebagai saudara. Sebab yang ada sekarang hanyalah “kepentingan”. Politik yang terjadi sudah tidak lagi merupakan politik negarawan, sebagaimana diajarkan para pendiri bangsa. Yang ada adalah “politik instan”, yakni politik jangka pendek yang berorientasi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan. Orientasinya hanya untuk mengejar “setoran” kepada tuan partai, makelar jabatan dan para preman berdasi. Mereka memenjarakan dirinya dalam kepentingan-kepentingan yang bersifat sempit.

Dalam situasi kegelapan bagaikan awan mendung ini, kita merayakan Paskah. Kita merayakannya di tengah gerundelan, kejengkelan, kemunafikan, dan permainan politik badut-badutan. Dalam Paskah ini, kita hendaknya merayakannya dalam suasana pengembaraan untuk mencari makna hidup yang hilang. Dalam situasi inilah kita mencoba menemukan kembali terang yang dulu pernah kita miliki.

Paskah Bermakna

Mari direnungkan dan hayati doa St. Fransikus Assisi ini. “Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cintakasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan.  Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.”

Doa ini penting menjadi renungan dan teladan dalam hidup iman kita. Kesaksian ini kiranya mengingatkan dan mengajak kita semua agar dalam hidup maupun kerja pelayanan, kita senantiasa mengutamakan keselamatan jiwa kita sendiri maupun sesama kita.

Paskah harus dijadikan lebih bermakna, terlebih mengingat bahwa saat ini kita juga dihadapkan pada situasi keprihatinan politik akan masa depan bangsa yang makin suram. Seharusnya masa Paskah ini kita jadikan kesempatan untuk lebih peduli dan lebih banyak berdoa supaya Allah melakukan sesuatu; supaya kehancuran bangsa yang hampir terjadi dapat dihindarkan.

Siapa percaya kepada Yesus yang tergantung pada Salib akan menerima sumber keselamatan. Yohanes mengajak kita melihat kasih karunia sebagai landasan keselamatan. Dengan kasih karunia, kita akan membuang segala kekotoran yang ada di dalam batin kita. Karena hanya dengan batin yang bersih sajalah kita dapat bangun dari kubangan dan belenggu dosa.

Yang dipentingkan oleh Yesus Kristus adalah ibadat sejati dan bukan ibadat formalisme. Ibadat formalisme tidak lebih hanyalah ritual yang dilakukan agar orang tahu bahwa saya ini orang suci, orang baik dan agamis. Itu semua adalah sebuah kemunafikan karena di baliknya manusia masih mencintai peperangan.

Bagi Yesus, doa harus dilakukan dengan sikap batin yang tulus, murni dan bersih dari segala topeng-topeng kepentingan. Dia mengatakan bahwa kalau kamu berpuasa janganlah sampai orang melihat bahwa kamu sedang berpuasa; kalau kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik, tetapi kalau engkau puasa minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu.

Demikian juga kalau kamu berdoa tidak perlu berpanjang-panjang dan menggunakan bahasa yang sulit, supaya dilihat orang bahwa engkau seorang pendoa, tetapi kalau engkau berdoa, berdoalah di tempat yang tersembunyi; tutuplah pintu. Demikian pula kalau engkau memberi sedekah janganlah dipamer-pamerkan atau disiar-siarkan. Bila engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang telah diberikan oleh tangan kananmu.

Dalam masa Paskah ini sebenarnya kita dituntut untuk memanusiakan kembali manusia dengan merebut kesejatian hidup. Pemanusiaan ini menjadi penting karena kembali ke orde penindasan berarti menjadi kambing congek dan keledai bodoh. Jatuh ke dalam orde yang membuat komitmen kemanusiaan kita menjadi longgar dan tererosi. Erosi pada komitmen kemanusiaan ini pada akhirnya melahirkan suatu sikap yang hanya memikirkan diri sendiri.

Sikap individualistik ini jelas bukan suatu sikap yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai makhluk sosial. Seorang individualistik mungkin lupa bahwa dirinya hidup di tengah-tengah orang lain. Kesadaran akan kenyataan hidup bersama yang lain ini akan melahirkan suatu sikap peduli, “Orang lain adalah juga saudara dan sesamaku yang harus aku pikir dan aku perhatikan.”

Paskah sejati adalah realisasi ibadat sejati yang bisa meningkatkan kepedulian sosial kita.

 

Penulis adalah Rohaniwan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home