Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 18:34 WIB | Selasa, 26 Mei 2015

Pemerintah Harus Merubah Cara Pandang Tata Kelola Migas

Pemerintah Harus Merubah Cara Pandang Tata Kelola Migas
Mantan Kepala Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri dalam diskusi "Revisi Undang-Undang Migas dan Upaya Reformasi Tata Kelola Migas Indonesia" di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Selasa (26/5). (Foto-foto: satuharapan.com/Melki Pangaribuan)
Pemerintah Harus Merubah Cara Pandang Tata Kelola Migas
Maryati Abdullah dan Ahmad Redy.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Kepala Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri mengatakan ada empat perubahan cara pandang yang mesti dilakukan Pemerintah dalam melihat tata kelola minyak dan gas bumi (migas) demi kemakmuran seluruh rakyat.

“Kalau kita bicara tentang tata kelola Migas ke depan, kita harus memperhatikan pengalaman yang ada. Oleh karena itu saya setelah melakoni persoalan ini rasanya ada empat perubahan yang harus kita lakukan, perubahan cara pandang,” kata Faisal Basri dalam diskusi bertajuk "Revisi Undang-Undang Migas dan Upaya Reformasi Tata Kelola Migas Indonesia" di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Selasa (26/5).

“Pertama dari cara pandang migas sebagai komoditi atau energi menjadi migas sebagai ujung tombak pembangunan dan industrialisasi. Jangan dipersempit. Kedua, dari migas sebagai sumber penerimaan Negara menjadi migas penggerak di seluruh sektor, sehingga menambah basis penerimaan pajak. Kita memperkuat basis penerimaan Negara,” kata dia.

“Ketiga, dari migas yang dikeruk habis-habisan sekarang, menjadi migas untuk generasi mendatang. Keadilan untuk antargenerasi. Kemudian yang keempat, dari migas sebagai sumber bancakan pemburu rente, menjadi migas yang menyejahterakan rakyat banyak,” kata Faisal menambahkan.

Menurut Faisal, demi kepentingan jangka panjang, Undang-undang Migas juga jangan sering direvisi. Pasalnya, jika sering direvisi akan mempengaruhi kebijakan pertambangan dalam negeri. “Kalau kita bicara tentang undang-undang jangan direvisi tiap lima tahun, tiap 10 tahun. Undang-undang itu harus mampu menjawab tantangan zaman sejauh mungkin,” kata Faisal.

Menurut Faisal, intervensi negara dalam mengelola migas juga harus kuat. “Tidak boleh melihat ini sebagai industri pisang goreng, yang bisa diserahkan ke pasar,” kata dia.

“Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Selain kita memperkokoh sektor hulu, yang jauh lebih penting lagi adalah membenahi sektor hilir karena hajat hidup orang banyak justru ada di sektor hilir. Langsung mengena ke kita semua mulai dari LPG tiga kilogram, BBM, avtur,” kata dia.

Sementara itu, Ahmad Redy, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara mengatakan pola kebijakan migas ke depan dalam konteks akademik masih relevan sebagai grand design pengelolaan migas ke depan.

“Konsep perizinan tambang itu masih belum jelas, antara melanjutkan rezim kontrak atau mengikuti skema undang-undang minerba dalam konteks perizinan pertambangan,” kata dia.

Oleh karena itu, lanjut Redy, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu dikatakan bahwa hak menguasai negara itu harus tetap berada di tangan pemerintah. Kuasa pertama tetap di tangan pemerintah dan bisa diberikan izin kepada Badan usaha milik negara (BUMN) atau gabungan BUMN untuk mengusahakannya.

 “BUMN ini yang menurut MK bisa melakukan kontrak. Jadi pemerintah kasih izin, BUMN yang melakukan kontrak dengan kontraktor,” kata dia.

“Saya sedikit mengelaborasi, konteks antara BUMN dan kontraktor itu dalam menjalin kerja sama harus ada pengaturan-pengaturan yang menguatkan posisi negara. Misalnya dengan investasi saham, ada kewajiban dari perusahaan kontraktor menginvestasikan sahamnya ke kepada BUMN dalam waktu tertentu. Itu menguatkan posisi Negara lagi,” kata Redy.

Menurut Redy, faktanya selama ini oleh MK tidak bisa mengeneralisasi. “MK mengamini kontraktor tetap. Kontraktor dalam bentuk usaha tetap, bolehlah mereka mengusahakan migas namun kontribusi untuk Negara harus maksimal.”

“Bahkan undang-undang persaingan usaha anti monopoli itu dimungkinkan, cabang-cabang yang menguasai hak hidup orang banyak dimungkinkan untuk dimonopoli Negara melalui BUMN,” kata dia.

“Bikin perusahaan antara perusahaan asing dan pertamina misalnya, sahamnya itu 90 persen misalnya punya pertamina itu sangat dimungkinkan. Karena undang-undang usaha dan anti monopoli itu cabang-cabang produksi yang menguasai orang banyak itu harus dikuasai Negara, bisa dimonopoli oleh Negara,” kata Redy mencontohkan.

Dalam diskusi itu, pembicara lainnya Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) memaparkan pokok-pokok pikiran dalam revisi Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home