Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 18:14 WIB | Senin, 22 Agustus 2016

Pemerintah Harus Seimbangkan Penanganan Terorisme

Dari kiri ke kanan: Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Henriette Tabita Hutabarat Lebang, Solahudin dari Center for Terrorism and Social Conflict Studies Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan Arkhimandrit Daniel Biyantoro dari Gereja Ortodoks Indonesia dalam Seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”. (Foto: Prasasta Widiadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Center for Terrorism and Social Conflict Studies Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin  mengatakan pemerintah dalam mengatasi terorisme di Indonesia harus menyeimbangkan antara hard approach (pendekatan hukum) dan soft approach (deradikalisasi) terhadap terorisme.

Saat memberi pemaparan pada seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia” di Grha Oikoumene, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta, hari Senin (22/8), Solahudin memaparkan pemerintah harus terus menekankan kepada masyarakat terorisme adalah tindakan atau aksi yang dia kategorikan sebagai bahaya yang dapat muncul sewaktu-waktu.

Solahudin menjelaskan hard approach adalah bentuk penegakan hukum yang sesuai undang-undang yang berlaku dalam sebuah negara, oleh karena itu secara teori pelaku terorisme harus masuk dan diproses di pengadilan.

Dia memberi contoh undang-undang yang memiliki sanksi tegas yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia yaitu Undang-Undang Subversif. Namun kini dengan tidak adanya Undang-Undang Subversif, dalam pandangan dia, pemerintah terlihat ragu-ragu.

“Terorisme tidak hanya dapat ditangkal atau diminimalisir lewat hard approach, karena  hukum hanya menyelesaikan tindak pidana saja, namun bagi pelaku terorisme harus ada pendekatan soft approach,” kata dia.

Dalam pandangan dia pendekatan soft approach saat ini harus lebih sering digalakkan pemerintah, yakni dengan berbagai inisiatif melakukan deradikalisasi yang ditujukan kepada orang-orang yang pernah terlibat aksi terorisme.

Selain itu, soft approach  harus membentengi masyarakat yang belum terpapar paham-paham ekstremisme. “Mungkin kalau saya boleh memberi contoh bisa kita lihat yang dilakukan NU (Nahdlatul Ulama, Red), baik di media sosial atau forum keagamaan, cuma soft approach itu yang tidak bisa dilakukan pemerintah saja harus banyak ormas yang mendukung,” kata dia.

Serangan Terorisme

Solahudin mengatakan pada 2016 terdapat fenomena baru terorisme di Indonesia yakni sasaran yang ditargetkan adalah far enemy atau musuh jauh, yakni sasaran aset milik Amerika Serikat, bangsa Eropa dan sekutunya.

Dia membandingkan aksi teror di Indonesia pada 2002 sampai dengan 2010 aksi tersebut memang khusus menargetkan far enemy, namun mulai 2010 sampai 2015 adalah near enemy atau musuh dekat.

Solahudin mengatakan yang dia maksud musuh dekat yakni aparat keamanan di Indonesia, khususnya polisi yang banyak menangkap ekstremis.

Pada 2016 terjadi penggabungan keduanya,  dia memberi contoh penggabungan sasaran near dan far enemy terjadi pada aksi terorisme di Thamrin. “Bom tersebut menargetkan Starbucks Cafe, di sisi lain juga menembak polisi,” kata dia.

Masyarakat Diharap Jangan Panik  

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Henriette Tabitha Hutabarat Lebang mengatakan semua umat beragama di Indonesia saat ini diajak menggumuli dampak terorisme dan radikalisme dalam jangka panjang.

“Masalah ini adalah masalah bangsa kita, karena masalah yang juga ada di setiap dunia ini menyadarkan kita tentang apa peranan kita sebagai umat Kristen dan bagaimana kita merespons masalah ini,” kata pendeta yang akrab disapa Ery Lebang tersebut.

Dia mengatakan radikalisme dan terorisme merupakan masalah yang mengakar dan  menakutkan bagi masyarakat Indonesia, selain itu radikalisme dan terorisme tidak hanya menakutkan, namun menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.

“Selain pemerintah dan pemuka agama, masyarakat membutuhkan ahli dan peneliti radikalisme dan terorisme  secara menyeluruh,” kata dia.

Dengan memetakan radikalisme dan terorisme di Indonesia, kalangan umat beragama di Indonesia  dapat menggali bersama potensi-potensi positif  yang terdapat dalam masyarakat yang sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan Undang Undang Dasar 1945.

“Masyarakat kita memiliki nilai-nilai spiritual yang bisa merekatkan kemajemukan bangsa,  sehingga gereja dan umat Kristen khususnya dapat mengembangkan sikap positif ini,” kata dia.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home