Loading...
SAINS
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 15:22 WIB | Minggu, 03 April 2016

Pemerintah Harus Tegas Soal Revitalisasi Teluk Benoa

Puluhan pegiat lingkungan yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali (ForBali) perwakilan Jakarta menggelar aksi menolak pembangunan reklamasi Teluk Benoa di bundaran Tugu Selamat Datang Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (20/3). (Foto: Dedy Istanto).

DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah dinilai harus bersikap tegas soal rencana revitalisasi berbasis reklamasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 51/2014 di tengah makin kencangnya pro dan kontra belakangan ini.

"Pemerintah harus lebih memperhatikan hasil kajian amdal, bukan berdasarkan penolakan yang tidak didasari kajian ilmiah yang matang," kata aktivis lingkungan Bali yang juga pengamat pesisir I Made Mangku di Denpasar, hari Minggu (3/4).

Menurut Mangku, terbitnya Perpres Nomor 51/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, seharusnya menjadi payung hukum atas perubahan status Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum.

Ia menjelaskan apabila pemerintah merubah Perpres karena hanya desakan sebagian kecil golongan yang mengatasnamakan masyarakat Bali, ini sangat disayangkan karena bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah.

Namun Mangku meyakini Pemerintah diyakini tidak akan gegabah mengubah Perpres No.51/2014, karena itu merupakan produk hukum yang diputuskan berdasarkan berbagai pertimbangan yang matang yang melibatkan semua unsur.

Apalagi, rencana revitalisasi berbasis reklamasi Teluk Benoa sudah dijalankan melalui prosedur dan aturan yang berlaku dengan analisis dampak lingkungan (amdal) yang terdiri dari 182 item.

"Bertolak belakang dengan kelompok yang menolak revitalisasi Teluk Benoa yang hanya mampu memberikan satu item dan argumentasi yang tidak berbasis akademik serta tidak komprehensif," tegas Mangku.

Menurut catatan, eksekusi revitalisasi berbasis reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektare tersebut hingga kini belum terealisasi meskipun sudah 3 tahun lalu mendapat hijau sejak diterbitkannya Perpres No.51/2014.

Calon investor juga sudah menyajikan amdalnya dari berbagai aspek yang memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya di hadapan 300 lembaga dari negara maupun swasta pusat dan daerah.

"Hampir semua lembaga menilai dan mendukung analisis amdal Revitalisasi Teluk Benoa (RTB), namun hanya 5 lembaga yang menolak tanpa alasan yang jelas," ujarnya.

Oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah untuk tidak merubah Perpres No.51/2014 tanpa ada kajian akademis yang matang, atau karena hanya desakan segelintir orang yang berkeras "pokoke harus tolak RTB".

Bahkan dia menuding, di balik derasnya penolakan RTB ini tidak lepas dari persaingan bisnis sektor pariwisata, kepentingan politik. 

Pendangkalan

Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Talaga Waji, I Wayan Ranten, bahwa di Teluk Benoa tidak ada lagi ekosistem bawah laut dan yang ada hanya pencemaran limbah dan sampai yang datang dari hulu ke hilir.

"Pencemaran air laut ditambah dengan sedimentasi mengakibatkan ekosistem bawah terganggu. Masyarakat di sekitar pun sudah tidak ada lagi menjadi nelayan di kawasan ini, karena terjadi pendangkalan," ujarnya.

Untuk itu Ranten meminta pemerintah pusat segera menentukan sikap dengan menyetujui RTB  berdasarkan hasil kajian amdal yang sudah diinisiasi oleh investor melalui proses panjang.

"Presiden jangan terlalu lama memutuskan nasib RTB, kasihan kami warga di Bali yang banyak sengsaranya," ujarnya.

Ia menilai RTB akan memberikan banyak manfaat dari sisi ekonomi berupa penyerapan tenaga kerja dan termasuk menciptakan destinasi wisata baru yang lebih produktif berbasis eco-tourism.

Ia juga mengapresiasi rencana investor yang melakukan pendalaman alur air di Teluk Benoa agar lebih dalam hingga 3 meter, termasuk menjanjikan ruang terbuka hijau hingga 60 persen dari pemanfaatan lahan seluas 700 hektar tersebut. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home