Loading...
RELIGI
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 20:57 WIB | Kamis, 05 Januari 2017

“Pemerintah Turut Andil Diskriminasi Kaum Penghayat”

Suasana bincang perdamaian yang diselenggarakan Wahid Foundation, hari Kamis (5/1), di Balai Kartini, Jakarta. (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Penghayat Kepercayaan, Engkus Ruswana, menyayangkan perlakuan diskriminasi, intoleransi, dan penindasan terhadap komunitas penghayat kepercayaan yang selain dilakukan oleh masyarakat umum juga turut dilakukan oleh Pemerintah.

“Intoleransi juga dilakukan Pemerintah karena salah membaca tentang masyarakat penghayat, yakni ketidakpahaman tentang apa, siapa, dan bagaimana tentang kepercayaan terhadap Tuhan YME, sehingga hanya didasarkan atas stigma-stigma negatif yang  memang sengaja disosialisasikan oleh pihak-pihak tertentu,” kata Engkus, dalam Bincang Perdamaian di Balai Kartini Jakarta, hari Kamis (5/1).

Kasus-kasus intoleransi yang dialami komunitas penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME sudah berlangsung lama. Bahkan, dalam catatan sejarah, jauh sebelum zaman Indonesia merdeka, komunitas penghayat kepercayaan (penganut agama/kepercayaan lokal) telah mengalami tindakan-tindakan diskriminasi dan ketidakadilan oleh masyarakat maupun pemerintahan yang berkuasa.

“Sesudah Indonesia merdeka, kasus-kasus diskriminasi dan tindakan penindasan terhadap komunitas penghayat kepercayaan mengalami pasang surut, kadang-kadang mengalami perlakuan lebih baik, kadang-kadang diperlakuan sangat buruk,” katanya.

Kasus-kasus mencekam dan menyedihkan yang dialami komunitas penghayat kepercayaan, adalah pada tahun 1950an, ketika menguatnya DI/TII (khususnya di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan), yang banyak menyebabkan korban jiwa dan harta benda (pembakaran rumah dan isinya) dengan tuduhan kafir sehingga banyak yang mengungsi ke kota, serta pasca Tragedi 1965 G-30-S PKI, menjadi korban karena dituduh sebagai antek-antek PKI, sehingga banyak yang masuk penjara, dan mengalami penyiksaan dan pembunuhan. Pada kedua peristiwa tersebut, berbondong-bondong para penghayat kepercayaan terpaksa/dipaksa untuk memilih agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. 

Pada masa Orde Baru Awal 1970an, Pemerintah mulai memperlakukan komunitas penghayat secara lebih baik, eksistensinya diakui dan sebagian hak-hak sipilnya dilayani dan dicantumkan dalam GBHN dan Peraturan Perundang-undangan, walau belum sepenuhnya mendapat perlakuan yang sejajar, namun sudah diperbolehkan berorganisasi dengan aman, boleh menjadi PNS dan pejabat politik, boleh melangsungkan perkawinan secara adat (tidak melalui tata cara agama), namun untuk pendidikan di sekolah masih tetap wajib mengikuti salah satu pelajaran agama (Hindu, Buddha, Islam, Katholik, dan Kristen).

“Namun, pelayanan oleh negara ini tidak berlangsung lama, karena di penghujung tahun 1970an, beberapa privilage tersebut mulai dipreteli, mulai dari identitas penghayat kepercayaan tidak lagi diakui dan  harus mencantumkan salah satu dari lima agama, serta proses perkawinan diwajibkan mengikuti tata cara agama tertentu,” ujar Engkus.

Disebutkan, antara tahun 1979 hingga tahun 1986 terjadi ketidakpastian hukum dalam pesoalan perkawinan, yang sebelumnya boleh dilaksanakan melalui tata cara kawin adat bagi penghayat, menjadi tidak tentu (kadang boleh-kadang tidak, di satu daerah boleh di daerah lainnya tidak boleh, muncul ketentuan boleh tidak melalui agama asal memperoleh penetapan pengadilan terlebih dahulu, hingga akhirnya sejak tahun 1986 sama sekali tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan tanpa melalui tata-cara agama, sehingga banyak pasangan warga penghayat yang tidak mau melangsungkan perkawinan lewat agama tidak diakui sebagai perkawinan yang sah oleh negara (dikenal dengan sebutan kumpul kebo), sehingga banyak menghasilkan “anak haram”.

“Eksistensi kepercayaan sejak tahun 1984 menjadi tidak jelas (antara ada dan tiada), tetap diakui keberadaannya tapi statusnya hanya dianggap sebagai budaya (budaya spiritual). Dalam GBHN selalu tercantum dan Institusi pembina kepercayaan tetap eksis setingkat eselon dua dibawah Kementerian yang membidangi Bidang Kebudayaan. Sejak tahun 1984, para penghayat yang identitasnya tidak mencantumkan agama mengalami kesulitan untuk menjadi PNS, ABRI maupun POLRI. Kondisi ini berlangsung sampai saat ini,” tuturnya.

Kasus diskriminasi terhadap komunitas penghayat kepercayaan oleh pemerintah pada era reformasi, lanjut dia, masih belum sepenuhnya bebas, namun ada beberapa kemajuan (walaupun sangat lambat) terkait pengakuan kembali identitas bagi komunitas penghayat kepercayaan, hak-hak sipil dan politiknya, serta hak sosial-budayanya, yaitu sejak diterbitkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta peraturan operasional yang mengikutinya.

“Namun di sisi lain, beberapa perundang-undangan banyak juga yang menghilangkan keberadaan komunitas penghayat kepercayaan, yang berdampak para penghayat kehilangan cantolan hukumnya dalam memperjuangan haknya, seperti dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan peraturan perundang-undangan lainnya, dimana dalam per-UU-an di era Orde Baru, setiap pasal yang mencantumkan prasa “agama” selalu diikuti dengan prasa “dan kepercayaan” di belakangnya, sedangkan di era reformasi banyak yang menghilangkan prasa “dan kepercayaan” di belakang prasa agama tersebut, sehingga mempersulit komunitas penghayat kepercayaan ketika memperjuangkan hak-haknya,” katanya.

Beberapa Kasus Diskriminatif

Kasus-kasus penting yang masih bersifat diskriminatf dan tidak toleran yang hingga kini di era reformasi masih dihadapi komunitas penghayat kepercayaan antara lain masih adanya stigma negatif terhadap komunitas penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME, sehingga kadangkala agak diasingkan oleh masyarakat di lingkungan permukimannya, termasuk masih adanya olok-olok yang dialami peserta didik di sekolah yang dilakukan oleh guru maupun sesama peserta didik.

Kedua, masih adanya hambatan dan kesulitan memperoleh pekerjaan di perusahaan swasta, dan belum bisa melamar menjadi PNS, TNI maupun POLRI.

Ketiga, masih adanya hambatan dan rintangan dalam memperoleh hak penguburan di Tempat Pemakaman Umum, sehingga terpaksa dikuburkan di pekarangan rumah atau kebun miliknya, atau di tempat lain yang jauh dari tempat tinggalnya.

Keempat, di beberapa daerah tertentu, masih ada hambatan untuk mendirikan tempat saresehan/pertemuan kepercayaan, dan ada juga kasus pelarangan kegiatan kepenghayatan.

Kelima, masih terjadi pemaksaan pendidikan agama yang bukan keyakinannya kepada peserta didik penghayat kepercayaan di sekolah.

Keenam, walaupun Permendikbud yang mengatur hak pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di sekoah bagi peserta didik penghayat sudah diterbitkan, namun belum dapat dioperasionalkan, karena masih belum lengkapnya perangkat operasional, dan banyak sekolah yang belum tahu tentang keberadaan Permendikbud tersebut, sehingga orang tua peserta didik penghayat atau pengurus organisasi penghayat harus mensosialisasikan dan merundingkannya dengan pihak sekolah.

Dan ketujuh, masih banyak pemerintah daerah yang dalam nomenklaturnya tidak mengakomodasi  kebutuhan pelayanan dan pembinaan bagi komunitas penghayat kepercayaan. 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home