Pendeta Sylvana: Belajarlah dari Perempuan Kanaan
SATUHARAPAN.COM - Narasi perempuan Kanaan dari Injil Matius 15:21-28 menjadi dasar khotbah yang disampaikan Pendeta Sylvana Maria Apituley di ibadah seberang Istana Merdeka Jakarta, di hadapan jemaat GKI (bapos) Taman Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi, Minggu (4/1).
Kisah perempuan dari Kanaan ini adalah narasi yang menceritakan bagaimana Yesus memulihkan seseorang yang dianggap tidak layak, dipinggirkan dan ditindas. Dalam uraiannya Pendeta Sylvana menekankan keberanian perempuan Kanaan ini untuk menjumpai Yesus dan mendapatkan solusi bagi anaknya yang kerasukan setan.
Refleksi dari perjuangan perempuan Kanaan yang tanpa nama ini adalah pertanyaan mengapa perjuangan harus dilakukan, apa tujuannya, dan bagaimana perjuangan itu dilakukan dengan segala suka dukanya? Kemana perjuangan akan dibawa dan demi apa berjuang?
Pendeta Sylvana mengatakan ibadah yang dilakukan di seberang Istana Merdeka, yang telah berjalan hingga ke-81 kali, menjadi pembelajaran umat percaya yang hendak berjuang untuk keadilan, kebenaran, perdamaian dan memperjuangkan kesejahteraan.
Dalam doanya Pendeta Sylvana memohon pertolongan agar jemaat memiliki keberanian untuk tetap memperjuangkan Hak Asasi Manusia, bukan hanya bagi jemaat, tetapi warga bangsa dan warga dunia, yang seringkali diinjak-injak hanya karena berbeda keyakinan dan kepercayaan.
Berikut adalah khotbah Pendeta Sylvana Maria Apituley dari Gereja Protestan Indonesia bagian Barat:
Konteks Perempuan Kanaan
Injil Matius ditulis dalam konteks masyarakat dan jemaat yang bertemu dan bergaul dengan kelompok masyarakat yang berbeda dengan mereka, karena kota mereka berkembang menjadi semakin majemuk. Konsekuensi dari pertemuan ini, keyakinan mereka harus berjumpa dengan keyakinan dan standar nilai keyakinan orang lain.
Konteks lain yang juga ingin dituliskan oleh penulis Matius, adalah pentingnya bergeser dari kecenderungan untuk dekat dengan kekuasan, pentingnya untuk membebaskan diri dari kepentingan kekuasaan, baik kekuasaan karena kekuasaan karena jabatan, sosial politik, ekonomi, mayoritas etnis, agama dan apa saja yag di dalamnya masyarakat hidup.
Penulis Injil Matius menunjukkan pembaca untuk mempertimbangkan keluar dari kepentingan kekuasaan dan mempertanyakan kekuasan yang menindas, terutama rakyat yang paling bawah. Penulis Injil Matius mempersoalkan kekuasan dan orang-orang yang hidup demi kepentingan kekuasaan yang pada akhirnya mengorbankan orang-orang banyak.
Kecederungan kekuasaan yang menindas inipun juga ada dalam kehidupan jemaat Kristen, karena itu Matius juga menegaskan bahwa, bukan mereka yang berteriak tuhan-tuhan yang akan masuk dalam kerajaan Allah, tetapi yang mempraktekkan iman dalam kehidupan sehari-hari dalam keadaan apapun, terutama dalam keadaan tertindas, merekalah yang punya kesempatan dalam realita kerajaan Allah, bukan ritual belaka, tetapi perilaku hidup.
Konteks berikutnya, ketika merefleksikan seluruh konteks Injil Matius, bahwa adalah mempraktekkan kebenaran yang tertinggi. Ketika kebenaran direlatifkan, memang betul tidak ada kebenaran absolut, tetapi ada nilai kebenaran yang tertinggi, yaitu iman yang terwujud dalam aksi.
Perempuan Pemberani
Belajar dari perempuan dari Kanaan dalam kehidupan masa kini, jemaat perlu menyadari konsekuensi dan resiko, sebagaimana perempuan Kanaan, dimana jatidiri sebagai bangsa Palestina rentan mengalami diskriminasi dan ditambah sebagai perempuan yang tidak menghargai perempuan dalam masyarakat Yahudi pada waktu itu.
Perempuan Kanaan menunjukkan keberaniannya dengan keluar dari kampungnya dan datang ke tempat yang beresiko untuk bisa berjumpa dengan Yesus. Perempuan Kanaan beresiko diusir, tidak hanya secara pribadi, tetapi mendapatkan penghinaan secara komunal.
Keberanian perempuan Kanaan adalah menyapa Yesus dengan sapaan yang biasa disampaikan oleh para murid-muridnya, Tuhan Anak Daud. Panggilan menghormat dan menghargai identitas Yesus ini juga disertai sikapnya yang percaya bahwa akan ada solusi dari orang yang punya otoritas ini atas masalah anak perempuannya yang kerasukan setan.
Perempuan Kanaan ini mengasosiasikan dirinya dengan kerumunan di sekitar Yesus dengan resiko diusir dan ditolak, bahkan ketika Yesus menguji dengan mengasosikan perempuan Kanaan dengan "anjing liar" yang tidak layak mendapatkan pertolongan, perempuan Kanaan ini merebut posisinya dengan cara yang baik, bukan dengan marah atas penghinaan tetapi dengan berargumen.
Otoritas Kekuasaan Tuhan
Refleksi dari keberanian perempuan Kanaan ini adalah bahwa semua orang berada dalam otoritas Tuhan yang sama, dan otoritas hukum sipil yang sama, yaitu hukum pemerintahan yang ada.
Kita berada disini, bukan karena kita orang-orang yang kalah, bukan karena pertama-tama penderitaan kita. Kita berada disini karena bahkan hukum telah memenangkan kita, kita berada disini karena kita menang dan berdiri diatas nilai-nilai yang secara universal dihormati dan diakui oleh dunia ini dan di negara Indonesia tercinta ini.
kita berada disini bukan karena kelemahan kita, tetapi karena kekuatan kita, untuk memperjuangkan apa yang menurut kita benar, dan apa yang menurut negara benar, dan yang menurut dunia ini benar, yaitu hak untuk percaya, hak untuk mempraktekkan kepercayaan.
Kalau demikian, Posisi jemaat di seberang Istana ini, mungkin sama dengan perempuan dari Kanaan ini, kita terpinggir, barangkali diasosiasi dengan mereka yang kotor, yang tidak punya hak sama sekali.
Sebagaimana perempuan Kanaan, kita tidak menyerang dengan serangan yang sama, kita tidak menuntut dengan cara-cara yang kita tolak, kita meminta negara ini untuk bertanggung jawab.
Kita mengatakan bahwa posisi kita setara di hadapan hukum, kita berada dibawah otoritas yang sama di negara ini, dan karena itu kita mau berkata baik-baik, bahwa kita memiliki hak yang sama, sekalipun kita diperlakukan seperti anjing kotor yang najis.
Itu sumber kekuatan kita, kita datang di sini, untuk menegakkan supremasi hukum, mengatakan bahwa ada yang keliru, kita mengatakannya dengan tanpa kekerasan, kita mengatakan melalui doa, kita mengatakan melalui cara saling memulihkan satu dengan yang lain, dan kita terus menerus bernegosiasi secara hukum, agar pada akhirnya negeri ini menjalankan undang-undang yang menjadi dasar keberadaannya yang melindungi kita untuk beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa.
Semoga Tuhan menolong dan alam semesta merestui kita, dan ada banyak orang yang mendukung kita melalui doa dan dukungan tindakan praktis yang kita perlukan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
BI Klarifikasi Uang Rp10.000 Emisi 2005 Masih Berlaku untuk ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengatakan, uang pecahan Rp10 ribu tahun emisi 2005 m...