Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 09:42 WIB | Senin, 24 November 2014

Penurunan Harga BBM Masih Dimungkinkan

Petugas menghitung uang di SPBU Abdul Muis, Jakarta Pusat, Rabu (30/7). BPH Migas menekan konsumsi BBM subsidi dengan membatasi jam penjualan solar, peniadaan penjualan premium di jalan tol dan peniadaan solar subsidi di SPBU wilayah Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Walaupun harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia dewasa ini diakui telah cukup rendah, penurunan lebih lanjut masih dimungkinkan. Pada gilirannya, ini dapat berdampak pada penurunan harga keekonomian BBM di dalam negeri.

Berdasarkan data Pertamina, apabila harga BBM dunia 100 dolar AS per barel, harga produk premium di pasar internasional akan mencapai 110 dolar AS per barel. Dengan asumsi kurs Rp 12.000 per dolar, maka harga keekonomian premium di dalam negeri akan berada di sekitar Rp 10.000 per liter.

Sedangkan apabila harga minyak dunia 80 dolar AS per barel dan dengan asumsi kurs Rp 12.000 per dolar AS, maka harga keekonomian BBM di dalam negeri Rp 8.600 per barel. Apabila kondisi ini tercapai, sebetulnya harga BBM yang ditetapkan pemerintahan Jokowi belum lama ini yaitu Rp 8.500 per liter.

Kemungkinan masih menurunnya harga BBM dijelaskan oleh mantan Menteri Perminyakan Qatar, Abdullah Bin Hamad Al Attiyah. Kemungkinan ini disebabkan semakin tidak efektifnya organisasi negara-negara penghasil minyak OPEC dalam mengendalikan produksi di tengah pertumbuhan permintaan yang melambat. Di sisi lain, negara-negara non-OPEC juga terus menggenjot produksi BBM mereka.

Al Attiyah pesimis OPEC, negara beranggotakan 12 negara tersebut, dapat mencapai kesepakatan untuk memotong kapasitas produksi minyak pada pertemuan mereka di Vienna, 27 November nanti. Dan, seandainya pun kesepakatan dicapai, OPEC belum tentu juga dapat menghentikan perang produksi dengan negara-negara non-OPEC.

"OPEC tidak bisa menyeimbangkan pasar sendirian," kata Attiyah, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg-Businessweek, hari ini. "Saat ini, Rusia, Norwegia dan Meksiko harus diajak duduk bersama. OPEC bisa saja memotong produksi, tetapi apa yang terjadi apabila pasok negara non-OPEC terus naik? Lalu pasar akan bereaksi apa?" kata dia.

Banjir Produksi

Tren penurunan harga BBM dunia dewasa ini ikut dipicu oleh melemahnya pertumbuhan permintaan, paling lemah sepanjang lima tahun terakhir.  Berdasarkan data International Energy Agency, saat ini permintaan BBM dunia 92.4 juta barel per hari. Diperkirakan, baru tahun depan terjadi peningkatan seiring dengan pulihnya perekonomian.

Pada saat yang sama, produksi BBM Amerika Serikat juga tengah booming, yang membuka kemungkinan negara adidaya itu swasembada BBM. Menurut data lembaga energi AS, pertumbuhan produksi minyak AS akan mencapai  12 persen tahun depan, tertinggi sejak tahun  1970.

Akibatnya harga BBM dunia mengalami tren menurun. Sejak tahun 2011, negara-negara OPEC telah menikmti harga rata-rata  108 dolar AS per barel. Namun sejak Juni lalu, harga BBM dunia melorot secara konsisten dan bulan ini, harga minyak mentah Brent terjun bebas dibawah 80 dolar AS per barel. Negara anggota OPEC yang mengandalkan pendapatan pemerintah dari BBM, seperti Iran dan Venezuela, ketar-ketir dengan penurunan ini.

Keadaan lebih parah karena masa-masa mudah dalam mencapai kesepakatan di kalangan negara OPEC sendiri sudah berakhir. "OPEC selama ini menikmati rapat yang mudah dan keputusan tercapai tanpa keringat," kata Al Attiyah. "Sekarang situasinya sudah berubah," tutur dia.

Saat ini pasar BBM dunia kelebihan produksi 2 juta barel per hari. Pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi dunia berada di bawah yang diharapkan. Amerika Serikat yang selama ini jadi pasar utama BBM produksi OPEC, tak lagi membuka diri untuk impor. AS bahkan tengah mulai menjadi pengekspor BBM.

Banjir BBM di pasar dunia semakin nyata oleh produksi negara-negara non-OPEC yang mencapai hampir 2 juta barel per hari dalam 10 bulan pertama tahun ini. Sedangkan OPEC juga kelihatannya berlomba menambah produksi. Oktober ini, diperkirakan negara OPEC memproduksi sampai 57,1 juta barel dalam satu hari.

“Jika OPEC meminta nasihat saya, saya akan berkata kepada mereka, 'Lihatlah, Anda tidak bisa melakukannya sendirian, Anda perlu mencari bantuan dari negara-negara non-OPEC dan membuat semua orang berbagi tanggung jawab," kata Attiyah. "Di OPEC tidak ada kawan maupun lawan abadi, yang ada adalah kepentingan bersama," tutur dia.

Menuju 80 dolar AS per Barel

Dalam sebuah studi yang diberi judul The New Oil Order, analis Goldman Sachs membeberkan bahwa penentu harga BBM dunia dewasa ini telah bergeser dari negara OPEC ke negara non-OPEC. Penyebabnya ialah kecenderungan produsen BBM AS untuk terus menambah produksi sampai harganya benar-benar murah sehingga orang tidak tertarik menambang minyak.

Ada sejumlah estimasi  harga keekonomian BBM AS. Sementara kaangan memperkirakan harga keekonomian BBM AS 80 dolar AS per barel. Sementara ada yang memperkirakan lebih rendah lagi yaitu 60 dolar AS per barel. Goldman Sachs memperkirakan minyak jenis West Texas Intermediate akan stabil di harga 75 dolar AS per barel tahun depan  sedangkan harga minyak Brent 85 dolar AS per barel.

Berdasarkan data ini, sejumlah kalangan di dalam negeri mengeritik langkah Jokowi menaikkan harga BBM dalam negeri sebagai sebuah blunder.  Pengamat politik, Denny JA, menilai menaikkan harga BBM di saat harga BBM dunia dalam tren menurun tidak tepat. Secara politik, menurut dia, hal itu menjauhkannya dari pendukung tradisionalnya, wong cilik.

Sementara itu mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era Gus Dur, Rizal Ramli, mengatakan bila harga minyak dunia 80 dollar AS per barel,  biaya produksi BBM jenis premium adalah Rp 7.200 per liter. Ini artinya lebih rendah dari harga keekonomian menurut perhitungan Pertamina, yang menetapkan Rp 8.600 per liter.

Dengan demikian, menurut Rizal, harga yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini bukan lagi harga BBM bersubsidi melainkan harga BBM tanpa subsidi alias harga pasar. Bila ini benar, kata dia, akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan harga komoditas strategis tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Dengan kata lain, pemerintah harus tetap menyediakan BBM Bersubsidi.

Di masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menurunkan harga BBM di dalam negeri dikarenakan penurunan harga BBM dunia. Apakah Jokowi akan menempuh langkah serupa apabila tren penurunan harga BBM dunia berlanjut, masih dipertanyakan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home