Loading...
INSPIRASI
Penulis: Juppa Haloho 00:00 WIB | Jumat, 31 Januari 2014

Rapuhnya Perkawinan

Jembatan hati pun bisa rapuh. (foto: awangcs.wordpress.com)

SATUHARAPAN.COM – Kadang saya bingung menyaksikan cara orang memandang perkawinan. Seminggu lalu kami mendapat undangan menghadiri pernikahan seorang teman. Ternyata keduanya tinggal di provinsi berbeda. Membutuhkan waktu delapan jam untuk mengunjungi satu sama lain. Saat ditanya sampai kapan akan berpisah, mereka tak mampu menjawab, malah berdalih: ”Bisa diatur itu, kita jalani saja dulu!”

Lebih aneh lagi, sepasang suami-istri yang sudah delapan tahun menikah tak pernah tinggal satu atap. Sekalipun demikian, mereka sepakat mengadopsi seorang anak yang sekarang diasuh oleh Sang Istri. Sang Suami datang Jumat malam dan pulang Minggu sore ke tempatnya bekerja. 

Kisah seperti itu banyak kita temukan. Alasan umumnya adalah pekerjaan. Ada yang karena sudah diangkat menjadi pegawai tetap, sedikit lagi akan dipromosikan, atau takut tak mendapat pekerjaan di kota yang baru. Ada yang karena sudah nyaman di satu kota sehingga tak ingin pindah ke tempat lain. Dan masih banyak lagi.

Tetapi, saya terkesima dengan seorang teman yang baru saja lulus mendapatkan beasiswa luar negeri. Dia memilih untuk merelakan menghabiskan tabungan demi hidup bersama daripada berpisah 18 bulan. Beasiswa yang diperoleh hanya cukup untuk dirinya. ”Perkawinan itu rapuh, Jup,” katanya, ”kami tak mau menjadi orang asing setelah 18 bulan berpisah.”

Perkawinan yang sekali seumur hidup itu harus dijaga dan dirawat dengan baik. Hidup bersama adalah salah satu cara merawatnya. Hidup bersama menajamkan visi perkawinan. Hidup bersama menumbuhkan keintiman fisik, emosi, juga rohani. Hidup bersama menunjukkan siapa kita dan menghindarkan kita menjadi orang asing bagi pasangan kita.

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home