Loading...
BUDAYA
Penulis: Bayu Probo 16:45 WIB | Senin, 08 September 2014

Scorsese akan Filmkan Novel Shusaku Endo, ‘Silence’

Novel Silence karya Shusaku Endo sudah diterbitkan Penerbit Gramedia. (Foto: tokopedia.com)

ROMA, SATUHARAPAN.COM – Martin Scorsese, sutradara termasyhur yang filmnya pada 1988, The Last Temptation of Christ memicu kontroversi di dunia, sedang bernegosiasi dengan Paramount Studios untuk mendistribusikan film baru tentang misionaris Yesuit.

Menurut situs huffingtonpost.com, drama sejarah Silence, yang dibintangi Andrew Garfield dan Liam Neeson mulai diambil gambarnya di Taiwan akhir tahun ini. Film ini didasarkan pada novel sejarah karya Shusaku Endo pada 1980. Film berjudul sama dengan novelnya ini berisi kisah nyata pada abad ke-17 di Jepang.

Ordo Yesuit—disebut Serikat Yesus di Indonesia— mengirimkan seorang pastor muda (Garfield) untuk menemukan mentor Portugisnya yang telah hilang selama 10 tahun. Roma percaya sang Yesuit tua (Neeson) mungkin telah meninggalkan imannya di bawah penyiksaan selama penganiayaan berat misionaris dan petobat Kristen di Jepang.

Ini adalah ketiga kalinya studio Hollywood dan sutradara terkenal menangkap kisah-kisah pastor Yesuit di luar Eropa. Misalnya, pada 1986, sutradara Roland Joffe membuat The Mission, dari skenario asli Robert Bolt. Para pemainnya—pemeran utama Jeremy Irons dan Robert De Niro—termasuk Neeson muda dan imam Yesuit nyata Daniel Berrigan. Daniel Berrigan terkenal dengan julukan “pastor pemberontak”. The Mission menceritakan kisah nyata misionaris Yesuit abad ke-18 yang meninggal membela suku Indian Guarani dari perbudakan Portugis di hutan Amerika Selatan. Film, yang muncul baru-baru ini pada kabel Sundance Channel, meraih Oscar untuk sinematografi, dan Grand Prize di Cannes.

Pada 1991, sutradara Bruce Beresford menyutradarai  Black Robe, yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Brian Moore. Film brutal ini menggambarkan kegagalan penginjilan pastor Yesuit Prancis di antara suku Iroquois, Algonquin, dan Huron di wilayah Quebec pada abad ke-17. Film ini menggambarkan bahwa, bila kontak budaya yang terlibat, bahkan niat terbaik pun dapat menghasilkan bencana.

Apakah penyebab kisah tentang karya Yesuit terus menarik difilmkan, terutama sekarang, dengan Paus pertama yang seorang Yesuit dan seorang progresif Amerika Latin? Mungkin karena ideologinya.

Dalam The Mission, utusan Vatikan, menuduh sang Yesuit untuk meninggalkan permukiman pertanian komunal. Sang utusan, Kardinal Altamirano, mengeluh tentang “Yesuit menghina otoritas negara.” Tapi, sebagai mantan Yesuit sendiri, sang kardinal juga mengakui bahwa “surga orang miskin tidak pernah menyenangkan orang-orang yang memerintah atas mereka.”

Dalam Silence yang dijadwalkan diputar pada musim gugur 2015, para pemimpin Jepang terancam oleh keberadaan Yesuit. Ini seperti Portugis yang terancam oleh karya Pastor Gabriel dalam film Mission.

Pastor Antoni Ucerler, sejarawan Yesuit yang menjadi konsultan Scorsese dan tim produksinya, menunjukkan bahwa itu adalah loyalitas Kristen lokal kepada Allah yang melampaui aturan besi dari para shogun Tokugawa. “Iman seperti itu merusak seluruh sistem pemerintahan absolut,” kata dia. “Untuk alasan ini mereka menyebut itu sebagai ‘ajaran jahat’.”

Ketiga film ini menggambarkan kesediaan untuk mengakomodasi—bukan hanya mengutuk—praktik adat setempat yang oleh Vatikan dianggap haram.

Yesuit juga memungkinkan doa dalam bahasa ibu dan menolak kristenisasi paksa. Pastor Thomas J Reese mencatat bahwa, sama seperti kekristenan melangkah menjauhi karakter Yahudi ketika pusat geografis bergeser dari Timur Tengah ke Eropa, misionaris Yesuit  melakukan adaptasi ketika mereka membawa Injil ke Amerika Utara dan Selatan, dan Asia.

“Misionaris Yesuit berada di garis depan globalisasi sebelum istilah itu menjadi tren,” kata Reese. “Kehidupan dan pelayanan mereka mendramatisasi pertemuan peradaban ... Apa yang disebut pertemuan pribadi pada masa mereka, bersifat global pada masa kita. Hari ini kita menghadapi agama, budaya, dan moral yang masalah yang sama mereka lakukan tapi pada skala global. Itulah drama. “

Para Yesuit berusaha untuk mengasimilasi atau mengubah budaya lokal. Misalnya, mereka melihat ritual menyembah nenek moyang Tionghoa sebagai penghormatan—mirip dengan orang Eropa berdoa untuk orang-orang kudus—dan karena itu dapat diterima.

Berlawanan dengan itu—seperti Fransiskan dan Dominikan yang lebih konservatif—mengeluh kepada Vatikan bahwa sinkretisme Yesuit memberi mereka keuntungan yang tidak adil dalam memperoleh bertobat. Mereka mengklaim, Yesuit mengabaikan, jika tidak mau disebut menerima, praktik seperti pembunuhan bayi, pergaulan bebas, perceraian, pernikahan kembali, dan penyembahan alam.

Para pemimpin gereja terombang-ambing dalam masalah ini, tetapi pada kunjungan pada 1987 ke Cile, Paus Yohanes Paulus II tampaknya berpihak pada Yesuit. Ia mengatakan dalam pertemuan para suku Indian Mapuche ia ingin “untuk mendorong suku Mapuche memelihara dengan bangga budaya masyarakat mereka; tradisi dan adat istiadat, bahasa dan nilai-nilai mereka sendiri. “

Yesuit dengan memori panjang pasti senang mendengar itu. (huffingtonpost.com)

Karya pastor-pastor Serikat Yesus dapat Anda baca di:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home