Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 19:40 WIB | Jumat, 19 Desember 2014

Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang

Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Lima penari pembuka dalam pementasan sekuel kecil La Galigo di Concert hall Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (17/12). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Batara Lattuq tidur di peraduan bersama istrinya.
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Adegan Batara Lattuq tidur di peraduan bersama istrinya dalam hembusan angin.
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Angin, pembawa pesan dari Batara Guru pada Batara Lattuq.
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Salah seorang pembaca naskah La Galigo dalam pementasan Musikalisasi Sastra 2014 di Taman Budaya Yogyakarta.
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Batara Lattuq menyirih sambil mendengarkan pesan yang dibawa Angin, setelah sebelumya menyelimuti istrinya dengan selimut emas dalam tidurnya.
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Instrumentasi selama pementasan menggunakan alat musik mappiyu-piyu.
Sekuel La Galigo, Menyemai Kerinduan untuk Pulang
Seluruh pemain-pendukung Wija To Luwu dalam Musikalisasi Sastra 2014 di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (17/12).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Forum Komunikasi Wija to Luwu yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa asal Kedatuan Luwu Sulawesi Selatan di Yogyakarta pada Rabu (17/12) mementaskan sekuel kecil dari naskah La Galigo.

Dalam perform tersebut, Wija To Luwu mementaskan musikalisasi beberapa bait dalam kitab La Galigo yang berkisah tentang kabar yang dibawa oleh "Angin", pengantar pesan Batara Guru, kepada anaknya Batara Lattuq yang sedang bersama dengan istrinya, We Datusengngeng. Kabar tersebut meminta Batara Lattu untuk kembali ke Luwu sebagai putera mahkota yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan di sana.

Pementasan ini menjadi unik mengingat dalam beberapa pementasan La Galigo selama ini hanya pembacaan bagian kitab diselingi beberapa adegan teatrikal sederhana. Dalam pementasan ini, Wija To Luwu bersekperimen sekaligus: musik, teater, dan pembacaan karya sastra La Galigo dalam sebuah sekuel cerita berdurasi pendek. Instrumentasi selama pementasan menggunakan alat musik mappiyu-piyu, dengan pembacaan model massureq yaitu model pembacaan turun-temurun terhadap La Galigo dalam bahasa aslinya, diikuti dengan musikalisasi mengiringi pembacaan terjemahannya.

Dalam pementasan karya yang kedua, berupa musikalisasi puisi gubahan penyair asal Sulawesi Selatan, Tomy Tamara, yang berjudul Pinisi. Puisi tersebut sedikit banyak merepresentasikan semangat hidup pelaut Sulawesi yang terus mengembara seumur hidup demi tujuan-tujuan yang mulia.

Kedua karya tersebut dipentaskan dengan mengeksporasi dan harmonisasi unsur musikalitas lokal kedaerahan Sulawesi Selatan, dengan menggunakan alat dan pakem musik Sulawesi yang lebih berorientasi pada musik ritual. 

Berikut beberapa bait La Galigo yang dipentaskan dalam Musikalisasi Sastra 2014 di Taman Budaya Yogyakarta:

Teks Asli 

Nadenniari mawajiq mua/Natakkadapiq ri Tompoq Tikkaq/Bajeng Tangkiling le na suroe Manurungnge/miriq parelle le raung kaju/Miriq sellaeng ati goari/Appedengenna Batara Lattuq./patarimpaq i ulamapu kati/limpengie ngngi We Opu Sengngeng,/nasiwellengeng le ringkiq wempong ulawengnge/nasitenrang pare-pare/le nasietoq pidduang lakko malaq-malaqe./Le nasilatuq bekkeng mpulaweng/pabbantalenna goari potto/appedengenna Opunna Luwuq.

Makkeda mua salarengnge,

“Tekkumatula, to Rualette,/Mai musoloq makkatawareng/Patallinreng ko ri goaimmu.”

Nacabbengi wi ri salarengnge/Takkamemmeqna lao tinrona/Batara Lattuq mallabine./ Naruaq mua I La Tiuleng tappatuling ngi/Wukkaq timunna salaregnge./Nagiling ronnang Batara Lattuq/mala alena leggaq luseqna/paselleri wi  talaja kati pabbessorenna/ napameneq i makkunrainna ri talajae./ Taddakka-rakka Batara Lattuq mpangung maccokkong/nasalessiqi unrai pulo makkunrainna/timpaq salenrang lakko maccellaq.

La Rumpang Lengiq ronnang makkeda,

“Iaq kakamu Salerengnge mai ri Luwuq/datu puatta mai suro aq Manurungnge Mallaibine,/nasioq to i diti riaweq pabbessorekku/natampang to i wennang paseleq tettincarikku./Sinukeremmu sompeq mbbokoq ri lolangemmu,/uae mata mani natungka Manurungnge mallabine,/pabbekkeng awa lulu anginna napoinanre./Le parola i gareq ri Luwuq makkunraimmu/mulu jajareng, sanrang pangara/moloiang ko alebbiriemmu.”

Terri makkeda Batara Lattuq,

“Sinukerekku loseng ri jaliq,/banna pa sia kumassilipu datu puakku./Ia na ritu, Kaka, uaseng mancaji doko le ri puakku./Engka weggang ka wae duakku/cabbeng mappeddeng ri babuana/le Tompoqe ri Busa Empong?”

Mabbali ada Bajeng Tangkiling,/Le nasuroe Manurungnge,

“Ala ni matuq paddeatummu/Le ri puatta Manurungnge/uae mata ri bekkeng pute.”

Mabbali ada Batara Lattuq,

“Le tiwirang ngi matuq puatta/Pabbekkeng awa lulu angikku/mapatengnge le uapakkaluq/ri pattikaseng tariseddekku,/sulle watakku natuju mata datu puakku.”

Le massimang ni Salarengnge.

 

Terjemahan bebas

Pada waktu dinihari yang cerah, Bajeng Tangkiling suruhan Manurungnge sampai di Tompoq Tikkaq segera berhembus, menggoyangkan daun-daun kayu.

Berembus masuk ke dalam bilik tempat tidur Batara Lattuq, menyingkap kelambu emas yang mengitari We Opu Sengngeng. bergoyangan rumbai-rumbai pucuk enau emas,membuat bergetar segala hiasan dan bersentuhan pula giring-giring yang permai.

Bersinggungan bokor emas, dengan hiasan dinding bilik kencana tempat peraduan Opunna Luwuq.

Angin itu pun berkata,

Semoga tak terkutuk daku, orang Rualette, Datang kemari turun menjelma, membangungkan engkau di bilikmu.”

Angin itu sedang mendapati nyenyak sekali tidurnya Batara Lattuq suami-istri.

Tiba-tiba terdengar oleh I La Tiuleng ucapan angin itu. Batara Lattuq berpaling menggeser diri melepas pelukannya mangganti lengannya dengan bantal emas, sebagai bantal tidur istrinya.

Bergegas Batara Lattuq bangun duduk menyelimuti istrinya dengan puluhan sarung, kemudian membuka celana emas itu menyirih.

Lalu La Rumpang Langiq berkata,

Menyirihlah, yang tak kulihat wajahmu, yang membangunkanku pada dinihari yang cerah ini.

Menyembah sambil berkata Bajeng Tangkiling suruhan Mnurungnge itu,

Saya ini adalah kakakmu Si Angin dari Luwuq. Paduka Manurungnge suami-istri menyuruhku kemari, diikatnya lenganku dengan emas berpilin, diikatnya pula jari tangaku benang halus. Semenjak engkau merantau meninggalkan negerimu air mata saja yang menyertai Manurungnge suami-istri ikat pinggangnya saja yang terus digigitnya. Adinda, hendaknya engkau membawa istrimu ke Luwuq/ Memimpin peradatan dan mengatur perintah. Memelihara akan kemuliaanmu.

Menangis sambil berkata Batara Lattuq,

Sejak telentang di atas permadani daku belum pernah berlain kampung dengan orang tuaku. itulah gerangan, Kakak, yang menjadi penyakit orang tuaku. Bukankah tiada duanya daku yang pernah menghuni kandungannya Yang Muncul di Busa Empong?

Bajeng Tangkiling suruhan Mnurungnge menjawab,

Ambillah kirimanmu dari Paduka Manurungnge air mata dalam bokor putih.

Batara Lattuq menjawab,

Antarkanlah pada Sri Paduka ikat pinggangku yang biasa kulilitkan pada pinggangku, pengganti diriku dilihat oleh orang tuaku.

Minta pamitlah Angin itu.

Muh. Juanda Syamsu selaku pimpinan produksi menjelaskan bahwa pementasan sekuel La Galigo tidak semata-mata pementasan seni (perform art), namun lebih pada gerakan budaya untuk memperkenalkan khasanah seni budaya yang dilakukan oleh pelajar-mahasiswa Luwu di seluruh Indonesia.

La Galigo yang bagi masyarakat Luwu sudah dianggap sebagai 'kitab suci' karena mengisahkan tentang awal mula kejadian terciptanya dunia dan manusia (dalam kacamata masyarakat Bugis) hingga terbentuknya peradaban manusia.

Saat ini Wija To Luwu aktif dalam berbagai kegiatan kajian maupun pementasan La Galigo. Sayangnya hingga kini belum semua naskah La Galigo diterjemahkan. Baru dua jilid naskah awal La Galigo yang sempat diterjemahkan Muhammad Salim (alm), pembaca Lontarak atau aksara Bugis. 

Juanda menjelaskan ada keinginan untuk mementaskan La Galigo dalam durasi panjang, namun kendala teknis terkait dengan naskah La Galigo sendiri yang baru dua jilid yang sudah diterjemahkan memerlukan pemahaman yang menyeluruh agar pementasan tidak melenceng dari naskah-alur aslinya maupun kendala non-teknis. 

Semisal tarian pembuka pada musikalisasi yang hanya dibatasi maksimal empat gerakan mengingat untuk kelengkapan tarian yang bisa sampai enam gerakan memerlukan persiapan khusus dalam bentuk pendampingan dari guru yang secara langsung mendapat perintah dan ijin khusus dari tetua di Luwu untuk mengajari penari. Sakralitas ritual dalam menjaga jiwa pementasan masih dipegang sampai saat ini, terlihat dari gerakan lima penari dalam pementasan tersebut.

Pementasan sekuel sederhana La Galigo ditutup dengan adegan Batara Lattuq memeluk istrinya membayangkan kerinduan Batara Guru pada diri dan keluarganya yang telah lama merantau. Senada dengan kerinduan yang membuncah pada naskah La Galigo, sebuah mahakarya sastra bumi nusantara, yang telah lama merantau ke Belanda untuk dipentas-semaikan di bumi nusantara.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home