Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 21:24 WIB | Jumat, 19 Desember 2014

“Tidak Ada Firman Tuhan tentang Sastra”

Sastrawan Seno Gumira Ajidarma saat menjadi pembicara dalam diskusi sastra Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pada Kamis (18/19) sore. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengelompokan karya sastra dan bukan sastra sering kali diperdebatkan oleh sejumlah orang. Memandang persoalan fundamental yang sering diperdebatkan dalam diskusi sastra ini, Sastrawan Seno Gumira Ajidarma memberi gambaran bahwa sebenarnya pengelompokkan karya sastra dan bukan sastra itu tidak ada.

“Tidak ada firman Tuhan tentang sastra,” kata Seno saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pada Kamis (18/19) sore.

Menurut Seno, pengelompokan sastra dalam teori sastra terjadi karena adanya kepentingan politik peradaban oleh kelompok tertentu.

“Jadi dia bikin yang sastra yang begini, yang bukan sastra yang begini. Ada kepentingan politik kebudayaan. Tapi sebetulnya ya merdeka saja sastra itu,” kata dia.

Pengelompokan sastra, lanjut Seno bersinggungan dengan kekuasaan.

“Siapa yang paling berkuasa, yang pintar ngomong ya menang, kalah ngomong ya kalah,” ujarnya.

Begitupula dengan kritikus-kritikus sastra yang mengatakan karya tertentu digolongkan dalam ‘kamar’ sastra dan bukan sastra, menurut Seno, mereka memiliki hak berkuasa atas wacana estetik di zamannya sendiri.

“Dewa mana yang mempunyai satu hak istimewa yang mengatakan indah tidak indah, baik danburuk sementara, sudah pasti manusia manapun tidak menguasai semuanya,” kata Seno menganalogikan.

Oleh karena itu, Seno meminta agar Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta lebih peka terhadap perkembangan kesastraan Indonesia dengan meningkatkan intensitas diskusi sastra.

Diskusi sastra setidaknya telah menjadi jembatan untuk mendekatkan masyarakat dengan sastra dan mengasah kepekaan terhadap persoalan-persoalan klasik yang dihadapi dunia kesastraan.

Diskusi sastra lebih lanjut juga akan memberi ruang bagi sastrawan pemula dan kritikus sastra untuk mengembangkan pikiran.

“Karena kritik seni itu membutuhkan konsekuensi pembelajaran tersendiri. Dan yang dianggap bukan sastra pun perlu dihargai, paling tidak sebagai teks,” kata Seno.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home