Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 16:56 WIB | Jumat, 19 Desember 2014

Songket, Dahulu dan Kini

Songket, Dahulu dan Kini
Kemasyhuran Kain Tradisi Dipamerkan dalam Hari Songket Nusantara
Songket, Dahulu dan Kini
Kain Songket asal Palembang bernama Limar Dodot berusia 150 tahun dan dijual seharga Rp 100 juta. Kain ini ditenun dengan benang emas asli berkadar 24 karat. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kain songket, kain tenun tradisi asli Indonesia seiring perkembangannya telah mengalami pergeseran di berbagai sisi.

Miranda Alda Iswandi, Direktur Artistik Studio Tenun Pinankabu saat dijumpai satuharapan.com dalam perayaan Hari Songket Nusantara di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada Kamis (19/12) mengatakan perubahan-perubahan dalam motif, corak, dan pewarnaan songket cukup tampak di era postmodern hingga modernisme.

“Sudah ada eksplorasi warna. Sebagai bentuk posmodern juga kami menerapkan kembali ke warna alam. Sudah jenuh dengan keadaan yang sangat artitifisial,” kata Miranda.

Selain perubahan secara visual, perubahan juga terjadi dalam pemakaian kain. Kini, menurut Miranda, songket tak lagi hanya digunakan oleh kalangan atas dalam upacara-upacara tertentu.

Kelas menengah kini sudah mulai menggunakan songket. Apresiasi songket pun sudah lebih besar sehingga industri songket makin menggeliat di Sumatera seperti di Palembang.

“Namun, ada juga di beberapa daerah yang mundur seperti di daerah Sumatera Utara. Ini karena waktu pengerjaan lama dan bahan cukup mahal,” ujar pegiat seni tersebut.

Selain itu, masalah selera pasar, ketersediaan bahan, minat, dan proses regenerasi juga sangat berpengaruh pada perkembangan songket.

“Kalau saya secara pribadi berpikir kita tidak masalah melakukan pengembangan, namun apa yang menjadi identitas asli tidak boleh ditinggalkan. Ada patron-patron yang harus tetap dijaga,” kata Miranda.

Menurutnya, melakukan pengembangan pada motif dan corak songket sebaiknya tidak liar dan tetap mengacu pada dasar-dasar yang sudah dibentuk sebelumnya.

Kini telah ada sekitar 21 motif baru yang sudah dikembangkan di Palembang.

“Menggembirakan bahwa songket sudah bisa diaktualkan dan tidak hanya sebagai benda adat dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Pergerakan karya tenun tradisi harus diapresiasi oleh publik,” kata Miranda.

Mitologi dan Nilai Spiritual Songket

Jika berbicara tentang konsep songket di era tradisi lama, kain ini memang erat dengan mitologi dan nilai-nilai spiritual.

Miranda menjelaskan, masing-masing corak Songket Minangkabau memiliki doa dan makna spiritual yang berbeda.

“Ada satu kain songket bernama karibahsilang, artinya keris yang bersilang. Motifnya keris bersilang itu adalah simbol pertahanan terhadap bahaya-bahaya agresor, orang luar yang membahayakan, atau bisa dalam artian mistis. Ada semacam spirit dari kain itu yang mengayomi kaum tersebut,” kata Miranda.

Kain songket lain seperti Jalotasera dikatakan Miranda memiliki filosofi bagaimana seseorang berusaha keras untuk menghidupi keluarganya dengan jerih payah yang tidak putus-putus.

“Hal itu menjadi semacam doa bagaimana ketika dia menjalankan usaha energi yang tidak putus juga menghasilkan rezeki yang tak terputus. Jadi kalau di rumah makan Padang biasanya ada motif jalotasera atau ada sendok dan garpu yang disilangkan, itu sebenarnya manifestasi dari motif karibasilang,” Miranda menjelaskan.

Motif tersebut telah menjadi kepercayaan orang-orang tertentu untuk menolak bahaya.

“Ini membuat orang terkoneksi dengan arti dan motif itu,” kata dia.

Songket secara Definitif

Miranda mengatakan, kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti ‘mengait’ atau ‘mencungkil’.

“Songket itu sebenarnya metode metode pembuatannya yang mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas,” kata dia.

Songket memang identik dengan kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan, atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, dan hiasan ikat kepala. Pembuatan songket masih ditenun secara tradisional. Penenun pun biasanya berasal dari desa, jadi motif-motifnya identik dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali dinamai dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan makanan kegemaran raja.

Sejarah Songket

Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu. Menurut sejumlah narasumber, teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab, sedangkan menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket ialah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India.

Orang Tionghoa menyediakan benang sutera, sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak. Oleh karena itu, jadilah songket.

Menurut tradisi Indonesia, kain songket keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena dikaitkan dengan sejarah bahwa pusat kerajinan songket paling masyhur di Indonesia adalah kota Palembang.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home