Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 07:17 WIB | Sabtu, 20 November 2021

Selamatkan Bumi Butuh Kerja Konkret Pasca COP26

Ilustrasi hutan. (Sumber: Pixabay/Picography-361976)

SATUHARAPAN.COM – Konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), atau disebut COP26, di Glasgow Skotlandia berakhir pada 13 November lalu. Konferensi ini menghasilkan Pakta Iklim Glasgow.

Namun hasil ini belum memuaskan banyak pihak. Usaha untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim perlu melibatkan banyak pihak agar kerja menyelamatkan bumi lebih konkret, bisa dipertanggungjawabkan, dan diimplementasikan.

Ada sejumlah poin penting dari Pakta Iklim Glasgow. Yakni mengakui bahwa komitmen yang dibuat negara-negara selama ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet tidak cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri.

Di samping itu, secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil, utamanya batu bara, dan penegasan akan perlunya komitmen pendanaan negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim.

Hasil COP26 ini memang masih jauh dari harapan dan dinilai masih mengecewakan untuk bisa keluar dari krisis iklim dan mencegah dampak yang lebih besar di masa depan.

Implementasi Perlu Selaras Dengan Target yang Dicanangkan

Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN Dewi Rizki menyebutkan COP26 memang memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Tetapi implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan.

Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

“Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujar Dewi Rizki di Jakarta pada Kamis (18/11/2021).

NDC adalah dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. Dalam COP26 ditekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Peran NPS (non-party stakeholders) seperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, swasta, harus dibuka. Hal ini agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan.

“Kuncinya semua sektor harus dilibatkan,” kata Dewi Rizki.

Utamanya sektor energi.  Salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara.

Gagal Menghentikan Penggunaan Batubara

Pakta Iklim Glasgow dinilai gagal menghentikan penggunaan batubara secara penuh. Padahal batu bara selama ini penyebab karbon yang memicu pemanasan global. Pada menit-menit akhir penandatanganan draf kesepakatan, India dan Tiongkok melobi untuk melemahkan penghentian secara penuh itu. Kedua negara itu bersikeras menghapus kata "menghentikan" penggunaan batubara dan menggantinya dengan kata "mengurangi" secara bertahap.

Masalah bantuan dana dari negara-negara maju juga berpengaruh bagi Indonesia.

Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, secara akumulatif Indonesia butuh dana sebesar Rp 3.779,63 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2030.

Dari biaya adaptasi iklim sebanyak Rp3.779,63 triliun itu, pos paling besar adalah sektor transportasi dan energi. Porsinya sebesar 92 persen atau sekitar Rp 3.500 triliun.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya.

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Tahun 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton atau 102 persen dari target. Hal ini menunjukkan bahwa sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan.

Batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi.

Fabby Tumiwa menjelaskan batu bara kontribusi 40 persen pada emisi global. Indonesia memiliki kemajuan dengan rencana akan mempensiunkan dini beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memakai batu bara.

“Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” katanya.

Langkah peralihan ini bisa dimulai dengan melakukan disinsentif pada sektor yang bergantung pada energi batu bara. Sektor transportasi juga perlu beranjak dari energi fosil. Agar bumi tak makin kotor karena emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Di sisi lain, Pemerintah perlu  memberikan insentif pada sektor yang menggunakan energi ramah lingkungan sehingga penggunaan energi hijau makin banyak dan batu bara makin dijauhi.

Hutan Yang Rentan

COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif, dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro lingkungan, pro pembangunan, dan berpusat pada manusia membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan.

Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menuturkan Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut yang tersisa agar membantu Indonesia mencapai target net carbon sink Forestry and Other Land Uses (FoLU) 2030 atau penyerapan bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Dia mendorong pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia. Selain itu, penting untuk mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial. Langkah ini mempunyai potensi untuk berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi restorasi gambut. Terutama di area izin dan konsesi serta pemulihan mangrove yang menjadi target pemerintah pada 2021-2024.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin. Yakni melalui pencegahan kebakaran hutan dan lahan, manajemen gambut, moratorium hutan alam dan gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum. Untuk mencapai target net sink FOLU 2030 maka dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah, termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan.

“Selain itu, proyek strategis nasional seperti lumbung pangan dan pengembangan bahan bakar nabati yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki perlindungan yang kuat agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tambah Nadia Hadad.

Aktivis lingkungan dan pemudi adat Dayak Laetania Belai Djandam menjelaskan COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya.

“Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka,” ujarnya. 

Menurut Laetania Belai Djandam, partisipasi kaum muda dalam aksi iklim perlu didefinisikan ulang. Apakah hanya sekadar konsultasi atau sampai ikut terlibat dalam kepemimpinan. Keterlibatan kaum muda perlu dilembagakan secara nasional. Agar masukan dari kaum muda diperhatikan secara nasional.

Kerja-kerja itu harus diturunkan dalam aksi yang konkret, detail, dan transparan. Agar tak ada lagi isu ketidakpercayaan  dalam kerja-kerja aksi iklim.

Hasil kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow tentu akan sia-sia jika hanya digubris oleh para pemerhati iklim. Kepedulian sekecil apapun wujudnya akan turut membantu memperbaiki bumi.  Mulai mengurangi konsumsi energi atau sekadar mengkonsumsi produk ramah lingkungan. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home