Loading...
OPINI
Penulis: Teuku Kemal Fasya 13:18 WIB | Rabu, 01 Januari 2014

Sembilan Tahun Kesunyian Tsunami Aceh

SATUHARAPAN.COM - Ketika “air bah itu”, 26 Desember, sembilan tahun lalu menghantam rumah saya di Kampung Mulia, Banda Aceh, saya masih berada di Yogyakarta, baru saja selesai pendidikan pascasarjana di Universitas Sanata Dharma. Kira-kira dua minggu setelah wisuda saya berencana mudik, memboyong semua barang dan sekitar 600-an buku.

Pagi itu saya menerima telepon singkat dari ibu, “Nak bersabar kamu ya? Aceh sekarang kiamat, gempa besar sekali”. Beberapa menit setelah itu seorang teman kembali menelepon bahwa air mulai menyerbu Banda Aceh. Kabar kurang satu menit itu pun terputus. Saya tak berhasil menghubungi kembali, semua jaringan selular rusak. Baru siang kami, mahasiswa Aceh Yogyakarta, menerima kabar Nanggroe telah landai dihantam tsunami. Malam hari semakin banyak kisah yang muncul. “Air lima meter menenggelamkan Aceh”.

Lima meter? Ah, saya pikir ini model wicara (parole) yang suka melebih-lebihkan sesuatu. Saya mengamini saja cerita dari seseorang yang baru mendapatkan kabar dari kampung, melalui saluran telekomunikasi yang terputus-putus. Kami sungguh tak tahu apa yang sedang terjadi.

Esok paginya saya baru memercayai bahwa kisah itu bukan fiksi. Pagi-pagi ibu mengabari melalui telepon genggam milik orang lain bahwa rumah kami telah rata dengan tanah. Ibu dan adik-adik berhasil selamat dan berkumpul di sebuah bangunan bank. Namun keluarga tante saya yang berjarak 500 meter dari rumah meninggal semua. Mereka dipanggil Tuhan secara bersama, “tenggelam dalam mobil”.

Baru tiga hari kemudian saya berhasil pulang ke Aceh dengan tiket dari Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Saat itu saya bekerja membantu untuk membuka jalan bantuan ke lokasi-lokasi terjauh dan rawan, termasuk ke sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Peukan Bilui dan Cot Keueng, Aceh Besar. Sebagai orang Aceh tentu saya memiliki pengetahuan lapangan dibandingkan “tim Jakarta”. Saya bisa tembus ke “daerah hitam” dan tidak terpantau publikasi media.

18 jam sehari selama dua minggu sejak itu dalam kelelahan mendistribusikan logistik tak terasa, karena Tuhan masih baik, menyelamatkan seluruh keluarga inti saya. Tak ada pembalasan yang baik kecuali menolong keluarga lain yang lebih pedih dan terluka. Keluarga kami masih bisa mengungsi di sebuah rumah kecil di pinggiran Aceh Besar yang tidak terdampak tsunami. Puluhan ribu orang harus tinggal di barak-barak sederhana, berimpitan, kekurangan makanan dan pakaian.

Tak Lagi Sama

Sembilan tahun setelah jerit-pekik korban, situasi Aceh tidak pulih seperti semula. Bencana itu begitu besarnya, seperti katastrofi dalam kitab suci. 26 Desember setahun sebelumnya gempa besar menimpa Bam, Iran. Seratusan ribu penduduk Parsi kehilangan rumah. 

Namun tidak ada yang menandingi gempa dan tsunami Aceh. Tsunami merenggut 250 ribu jiwa di 14 negara, sebagian besar berada di Aceh. Lebih setengah juta penduduk menjadi penyintas yang hilang keluarga, pekerjaan, kesenangan, dan tempat tinggal. 

Ketika proses rekonstruksi berlangsung, melibatkan ratusan lembaga internasional dan nasional (di masa puncak filantropi tak kurang 400 lembaga internasional, nasional, dan lokal), ada sekitar USD 7 miliar dari pusat kedermawanan global dan Rp. 40 triliun dari pemerintah selama era 2005-2009 yang mengalir. Namun cerita tidak melulu melahirkan kegembiraan.

Lembaga bentukan pemerintah, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang bertugas memulihkan Aceh pascatsunami, tidak sepenuhnya berhasil. Tagline BRR, “rebuild and remember”, malah tidak mampu mengaktualisasikan kata-kata menjadi realitas. Proyek berjalan berdasarkan logika pendonor, partisipasi hanya retorika, pembangunan tidak sensitif lingkungan-sosial-budaya, dan korupsi, menyebabkan Aceh terparut luka dan mengindap penyakit amnesia sosio-kultural. Aceh semakin global dan “modern” tapi saat yang sama, identitas dan kearifan lokal semakin hilang. Masyarakat tanpa semangat gotong-royong terdorong libido bantuan ala “Bank Duniaisasi”. 

Kehilangan hutan Aceh juga terjadi di era ini. Pada tahun 2009, Greenomics mencatat sepanjang 2005-2009, lebih 200 ribu hektar hutan Aceh hilang per tahun. Lembaga lingkungan global itu memprotes laporan ketua BRR saat sidang PBB di New York, berjudul The Tsunami Legacy : Innovation Breaktroughs and Changes pada 24 April 2009 yang terkesan menutupi fakta kerusakan hutan Aceh sebesar 914 ribu hektar dan pemanfaatan kayu ilegal dengan nilai ekonomis Rp. 7,25 triliun. Tentu nilai ekonomis itu masih sangat kecil dibandingkan kerugian lingkungan dan sosial yang berpuluh-puluh kali lipat.

Kesunyian

Sembilan tahun sudah bala air yang mengggulung itu, penderitaan masih tersimpan di arsip sosial. Secara statistik korban tsunami yang tertolong telah banyak, tapi statistik juga mencatat kegagalan dan deposit derita seperti pengalaman manusia barak di Ulee Lheu (Banda Aceh) dan Pasi Ujung Kalak (Aceh Barat), korban konflik, dan miskin yang makin merimba.

Pemerintahan lokal Aceh saat ini, Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf, representasi GAM dan kini menjadi Partai Aceh (PA), bukanlah representasi korban tsunami. Ketika tsunami datang, sebagian besar elite GAM berada di negara Skandinavia, Thailand, dan Malaysia. Muzakkir Manaf memang ada di Aceh, tapi tidak di wilayah yang terdampak langsung. Tidak ikut terendam di air hitam itu.

Meskipun demikian, membantu korban tidak harus pernah menjadi korban. Yang dibutuhkan adalah empati, komitmen kuat, dan  kebijakan yang menuntaskan agar para korban tsunami bisa lepas dari derita. Jangan menabung sembilan tahun tsunami Aceh hingga menjadi “seratus tahun kesunyian” (One Hundred Years of Solitude) – mengutip kisah dalam novel Gabriel Garcia Marques. Jangan sampai Aceh seperti Macondo, tempat dalam kisah novel itu, yang awalnya dibangun dan dicita-citakan sebagai tanah harapan, malah membara menjadi tanah derita selama seabad karena kekejaman dan perang berkepanjangan. Aceh perlu penanganan yang tepat agar derita bisa pupus dan kiamat tidak hadir karena kebebalan dan kebijakan yang tak peduli.

Penulis adalah Dosen Antropologi Politik FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home