Loading...
RELIGI
Penulis: Kris Hidayat 20:45 WIB | Senin, 17 Februari 2014

Sony Dandel: Negara Gagal Berperan Sebagai Payung Penyeimbang Kehidupan Beragama

Sony Dandel: Negara Gagal Berperan Sebagai Payung Penyeimbang Kehidupan Beragama
Pendeta Sony Dandel tengah menyampaikan kotbah di ibadah seberang Istana. (Foto: Kris Hidayat)
Sony Dandel: Negara Gagal Berperan Sebagai Payung Penyeimbang Kehidupan Beragama

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persoalan GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia adalah contoh kegagalan negara sebagai payung penyeimbang, kehidupan beragama.  Demikian disampaikan oleh Pendeta Sony Dandel dari GMIST Tanjung Priok dalam khotbahnya di ibadah yang dihadiri jemaat GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi, Minggu (16/2) di seberang Istana Negara Merdeka.

"Dalam hubungan warga, negara dan agama, yang seharusnya berperan menjadi penyeimbang, titik berat kesepadanan adalah negara. Negara tidak boleh mengurangi atau mereduksi tugas kewajiban yang harus dilaksanakan," Pdt Sony menjelaskan seusai ibadah kepada satuharapan.com.

Sony menjelaskan, "warga negara punya hak dasar untuk beribadah sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, agama apa pun, termasuk jemaat Islam Syiah dan Muslim Ahmadiah yang seringkali kita dengar dipinggirkan. Agama merupakan lembaga yang mengatur masyarakat hidup dengan baik dan benar."  

Dengan mengibaratkan titik imbang pada sebuah perahu, Sony menjelaskan persoalan muncul, "seperti yang dihadapi oleh GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, negara, seharusnya berperan menjadi payung penyeimbang, tetapi gagal. Sekali lagi negara punya kewajiban menjaga titik keseimbangan dan kesepadanan dalam kegiatan hidup beragama yang ada di Indonesia."

Menurut Sony, keadaan yang sebenarnya adalah negara berada pada titik yang sangat kritis, khususnya dalam kewajiban negara untuk membela hak-hak warga negara dalam menjalankan peribadatan dan kebebasan agamanya.

Million Friends, Zero Enemy

Sony Dandel mengingatkan sebuah contoh, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerukan sebuah jargon "a million friends, zero enemy" atau membangun sejuta kawan - tanpa musuh. Jargon ini diungkap Presiden SBY berulangkali dan terakhir pada akhir Desember 2013. Menurut Sony hal ini bagus, namun sekaligus menunjukkan negara abai, dalam hal ini ucapan SBY sangat kontras dengan kondisi yang ada. "Ketika negara hanya melihat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia adalah sebuah angka, dan sering orang menganggap itu toh kecil dan tidak akan meruntuhkan negara, dan inilah relasi negara yang sangat abai pada warganya," demikian jelas dia. 

Relasi itu menurut Sony Dandel adalah sebuah hubungan itu harusnya saling memuliakan, juga dalam hubungan antara negara dan warganya.  "Kita menghormati peran negara dan seharusnya negara juga menghormati hak warganegaranya, keadaan ini kritis, sangat kritis dan masih menjadi PR yang sangat besar bagi bangsa Indonesia," kata Pdt Sony. 

Mengacu dari pendapat filsuf Martin Bubar, Pendeta Sony Dandel menjelaskan, sebuah relasi yang baik, tidak menempatkan aku dan kamu dalam hubungan kebendaan, tetapi hubungan yang memanusiakan manusia dan itu adalah jalan kemuliaan. Agama adalah sebuah interpretasi teologi kontekstual dari kehidupan yang dijalani. Allah yang maha tak terbatas diimani dalam kehidupan nyata bersama orang lain, dalam kehidupan berbangsa. 

Justru dalam relasi yang seperti itu, seharusnya, negara memandang warganya sebagai hubungan yang sejajar dan memuliakan, bukan karena kekuasaan yang mereka miliki mereka bertindak sewenang, tetapi justru dengan tangan kekuasaan yang mereka miliki, mereka memuliakan Tuhan melalui relasi itu.

Hidup Berpadanan dengan Injil

Pendeta Sony mengkhotbahkan ayat Alkitab yang diangkat dari 1 Filipi 1: 27-30, tentang nasehat tetap berjuang, dan dalam uraiannya mengupas tegas kalimat "Hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus." Pendeta Sony Dandel menjelaskan bahwa kehadiran jemaat yang beribadah di seberang istana Merdeka adalah dalam rangka menyeimbangkan iman dengan kehidupan bangsa yang sedang terancam timpang, yakni ketika negara yang tidak lagi menjamin warganya untuk beribadah.

"Seharusnya, bila setiap orang yang menghormati UUD 1945, penolakan gereja GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia seharusnya tidak boleh terjadi. Tetapi nyatanya, inilah yang dialami jemaat," kata Pendeta Sony.

Ibarat perahu yang tidak punya titik imbang akan tenggelam, demikian pula negara yang tak punya titik imbang, karena dirusak oleh segelintir orang atas kepentingan ekonomi dan politik, maka negara dalam bahaya. "Firman Tuhan memperingatkan kita dan bangsa, untuk memelihara keseimbangangan dalam kebenaran dan dalam relasi yang saling memuliakan," demikian Pendeta Sony dalam kotbahnya.

Sony mengajak semua orang untuk ikut dalam perjuangan untuk membangun relasi yang memuliakan, yang diilhami oleh kasih Tuhan.

Dua Tahun Ibadah di Seberang Istana Merdeka

Bona Sigalingging, Juru Bicara GKI Yasmin menjelaskan tentang ibadah di seberang Istana, "Kami terpaksa beribadah di seberang Istana Merdeka ini sejak Februari 2012. Setiap dua minggu kami ibadah di seberang istana ini, beribadah dari rumah ke rumah jemaat karena gereja yang disegel secara ilegal oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto". 

Bona Sigalingging menjelaskan bahwa kasus GKI Yasmin telah bertahun-tahun terjadi. Kasus ini telah menjadi catatan organisasi HAM internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch dan Universal Periodic Review (UPR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 2012.

Peristiwa yang mirip juga terjadi di Kabupaten Bekasi. Bona Sigalingging menjelaskan, Bupati Bekasi menolak menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengesahkan keberadaan HKBP Filadelfia di Desa Gejayan Tambun Bekasi. Namun hingga Bupati Bekasi bergantipun tetap saja tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home