Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 18:08 WIB | Kamis, 22 Mei 2014

Surat Kekancingan, Upaya Warga Peroleh Identitas Tanah

Permukiman di Kampung Gondolayu Lor yang berada di bantaran Sungai Code. Foto diambil dari Jembatan Gondolayu pada Kamis (22/5). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Warga masyarakat di seputaran bantaran Sungai Code, khususnya di Kampung Gondolayu Lor, kini berupaya untuk memperoleh surat kekancingan. Upaya ini ditempuh karena banyak tanah di bantaran Sungai Code memiliki status yang tidak jelas. Pasalnya, kebanyakan tanah tersebut merupakan wedi kengser, yaitu tanah di pinggir sungai yang apabila musim kemarau berubah menjadi daratan dan ketika musim hujan dialiri air sungai. Ketika musim kemarau tersebut, wedi kengser banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (ladang). Namun, lama kelamaan terjadi alih fungsi tanah, dari ladang menjadi permukiman.

“Pada awalnya hampir semua warga di Kampung Gondolayu Lor, khususnya yang tinggal di bantaran Sungai Code, menempati wedi kengser. Hanya beberapa rumah saja yang memiliki sertifikat berupa Hak Guna Bangunan (HGB), bukan Sertifikat Hak Milik (SHM). Sejak sekitar setahun silam, warga berupaya untuk memperjelas status tanahnya dengan berupaya mendapatkan surat kekancingan. Upaya tersebut tampaknya mulai membuahkan hasil, pasalnya pejabat di atas (merujuk pada instansi kecamatan) memberikan ‘lampu hijau’ untuk membantu mengurus perihal surat kekancingan,” demikian disampaikan oleh Bapak Muslim, Ketua RT 56 Kampung Gondolayu Lor pada Kamis (22/5) di mana rumah warga di sini 90% berdiri di atas wedi kengser.   

Wedi kengser merupakan tanah yang menjadi milik pemerintah. Warga yang tinggal di wedi kengser tidak mungkin akan mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah, baik berupa HGB maupun SHM. Hal inilah yang berupaya diperjuangkan oleh warga agar tanah yang mereka tempati selama ini memiliki status. Oleh karena itu, warga berupaya untuk mendapatkan surat kekancingan atau semacam surat hak guna atas lahan Sultan Ground (SG).

“Surat kekancingan ini memiliki status yang mirip dengan HGB. Hanya saja jika pajak HGB diberikan ke pemerintah, maka pajak surat kekancingan diberikan ke keraton. Perbedaan lain adalah jika HGB memiliki waktu pemakaian 20 tahun dan harus diperpanjang lagi, namun surat kekancingan tidak perlu diperpanjang, bahkan bisa diturunkan pemakaiannya. Hal lain yang menjadi kekurangan HGB adalah adanya surat rekomendasi dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta apabila akan memperpanjang masa pemakaian tanah. Hal ini berlaku sejak UU Keistimewaan disahkan pada 30 Agustus 2012 silam. Hal ini tentu sangat merepotkan bagi para warga yang memiliki HGB apabila akan memperpanjang masa pemakaian tanah,” ungkap Bapak Purnomo, Ketua Paguyuban Jum’at Kliwon warga RT 56-57, Kampung Gondolayu Lor.

Di sisi lain dengan adanya surat kekancingan, maka status tanah yang semula merupakan tanah milik pemerintah, akan bersulih menjadi SG. Tanah yang berstatus SG merupakan tanah yang menjadi milik Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada masa lampau, warga yang tinggal di SG wajib membayarkan upeti. Namun pada masa sekarang, wujud upeti ini diganti dengan membayar pajak tanah kepada keraton. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home