Survei SMRC: Kelompok Anti Kristen/Tionghoa di RI hanya 3,4 Persen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kajian yang dilakukan oleh Saiful Mujai Research Center (SMRC) atas survei opini publik sepanjang 2001-2016 menunjukkan warga negara Indonesia yang tidak menyukai orang Kristen, Katolik dan Tionghoa relatif kecil dan konstan alias tidak berkembang. Mereka yang tidak menyukai orang Kristen tercatat sebesar 2,3 persen, Tionghoa 0,8 persen dan Katolik 0,3 persen.
Ketidaksukaan terhadap kelompok minoritas ini, relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan ketidak-sukaan pada kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok ini menempati urutan pertama yang paling tidak disukai, dipilih oleh sebesar 25,5 persen dari responden. Disusul oleh kelompok Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT) sebesar 16,6 persen, Komunis 11,8 persen dan Yahudi 5 persen.
Berturut-turut sebagai kelompok yang tidak disukai sesudah kelompok yang disebutkan sebelumnya adalah Kristen 2,3 persen, FPI 1,6 persen, Wahhabi 1,1 persen, Tionghoa 0,8 persen, Ahmadiyah 0,7 persen, Syiah 0,6 persen, Budha 0,5 persen, Hindu 0,4 persen, Katolik 0,3 persen, Konghucu 0,2 persen, Islam 0,1 persen, dan kelompok lainnya 0,4 persen.
Temuan ini dipresentasikan oleh Direktur dan pendiri SMRC, Saiful Mujani, dalam diskusi bertajuk 'Ada Apa di Balik Sentimen Anti Cina' yang diprakarsai oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), pada Kamis (29/12) di Jakarta. Pemateri lain dalam diskusi tersebut adalah Ignatius Haryanto, Thung Ju Lan dan Andy Budiman.
"Pada survei terakhir (November 2016) mayoritas warga menyebutkan ada kelompok yang paling tidak/kurang disukai (67,8 persen). Tetapi sepanjang usia reformasi ada tren positif bahwa jumlah orang yang merasa ada kelompok di masyarakat yang paling tidak disukai menurun," demikian temuan survei LSI.
Hasil Survei LSI sedikit banyak membantah anggapan yang berkembang bahwa sentimen massa anti Kristen dan anti Tionghoa tengah menguat dewasa ini.
"Hampir sepanjang reformasi ini tren yang menyebut Kristen, Katolik dan Tionghoa sebagai kelompok sosial yang paling tidak/kurang disukai relatif kecil dan konstan. Kejadian, peristiwa atau tindakan kolektif dalam bentuk gerakan seperti demo, sweeping dll yang menunjukkan anti Tionghoa dan intoleran pada umat Kristen tidak konstan, terjadi pada waktu-waktu tertentu," kata Saiful Mujani.
Kuantitas dan kualitas peristiwa itu juga, kata dia, tidak konstan, bisa sepi, ada tetapi kecil dan kadang-kadang besar.
Itu sebabnya, Saiful Mujani menilai tidakan anti Tonghoa dan intoleransi belakangan ini bukan sentimen massa, melainkan sebuah gerakan sosial terkait dengan berbagai faktor.
"Gerakan sosial hanya mungkin bila ada organisasi yang memobilisasi sumber daya. Ada organisasi dan ada kepemimpinan," lanjut dia. Sebagai contoh, Saiful Mujani mengatakan secara nasional banyak yang percaya aksi anti-Ahok ditunggangi kepentingan politik dalam Pilkada DKI.
Temuan lainnya dari survei LSI menunjukkan bahwa ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu itu berbanding lurus dengan intoleransi. Secara teoritis, ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu, belum dapat dikatakan sebagai intoleransi. Ketidaksukaan tersebut berubah menjadi intoleransi bila hal itu menghalangi atan mengancam hak-hak sosial warga yang tidak disukai tersebut. Hak-hak sosial itu, misalnya, hak untuk menjadi tetangga, hak untuk berdagang, hak untuk menjadi guru negeri, hak untuk berdemo, menjadi pejabat publik dan sebagainya.
Dalam kasus Indonesia, berdasarkan survei LSI, kelompok yang tidak menyukai kelompok tertentu juga cenderung menjadi intoleran. "Dari beberapa indikator toleransi sosial politik, secara umum orang yang mengaku ada kelompok di masyarakat yang paling tidak/kurang disukai, tidak toleran secara sosial dan secara politik."
"Hampir semua, atau setidaknya sekitar 9 dari 10 orang yang mengaku ada kelompok masyarakat yang paling tidak atau kurang disukainya, itu tidak mau bertetangga, tidak mau berdagang, tidak memperkenankan mengajar di sekolah negeri, tidak mengizinkan berdemo, berpidato di hadapan umum dan tidak setuju menjadi pejabat pemerintah bagi warga dari kelompok yang paling tidak disukai itu," demikian temuan LSI.
Hanya saja, kata Saiful Mujani, jumlah sampel yang mengungkapkan intoleransi kepada kelompok selain ISIS, LGBT, Komunis dan Yahudi, terlalu kecil dan tidak signifikan. Karena itu tidak dapat dianalisis lebih jauh.
Temuan lain yang menarik adalah ketidaksukaan terhadap Komunis cenderung menurun, sedangkan sentimen negatif terhadap kelompok SARA minoritas relatf kecil dan trennya cenderung tidak berkembang alias konstan.
"Hanya pada kelompok Yahudi yang cukup besar dan fluktuatif," kata Saiful Mujani.
"Tren pada Komunis sebagai kelompok yang paling tak disukai mengalami penurunan signifikan, dari 59 persen pada 2002 menjadi hanya 11,8 persen pada 2016. Kemungkinan mencerminkan fakta bahwa Komunis/Komunisme sudah tidak populer, sudah ambruk di hampir seluruh bagian planet ini," kata dia.
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...