Loading...
HAM
Penulis: Tunggul Tauladan 07:45 WIB | Sabtu, 09 Mei 2015

Tak Digaji, Dianiaya Pula: Potret Buram Buruh Migran

Erwiana Sulistyaningsih berbagi kisah dalam seminar dan diskusi bertajuk “Yang Teraniaya dan Yang Terabaikan: Memahami Kondisi Buruh Migran di Luar Negeri” pada Jum'at (8/5). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Erwiana Sulistyaningsih, mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di Hong Kong harus menelan pil pahit. Selama kurang lebin 8 bulan (Mei 2013-Januari 2014), dirinya mendapat perlakukan di luar batas kemanusiaan. Dipukul, tak dapat libur, tak digaji, hingga dianiaya, adalah kenyataan yang harus dia terima. Inilah salah satu potret buram buruh migran.

“Saya berangkat ke Hongkong pada Mei 2013, kemudian masuk ke penampungan agen, dan akhirnya dijemput oleh majikan. Selama bekerja dengan majikan tersebut, saya diperlakukan tidak manusiawi. Bayangkan, dalam sehari, saya hanya diberi jatah 6 lembar roti tawar dan 450 ml air mineral. Saya dapat jatah nasi 1 rantang untuk seminggu,” cerita Erwiana.

Penuturan Erwiana ini hanya satu dari sekian kisah buram buruh migran yang mengadu nasib di luar negeri. Erwiana sengaja berbagi kisah tersebut untuk memantik kepedulian terhadap sesama. Kisah Erwiana tersebut disampaikan dalam sebuah seminar dan diskusi pada Jum’at (8/5) di Ruang Koendjono, Gedung Administrasi Pusat, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Seminar dan diskusi ini bertajuk “Yang Teraniaya dan Yang Terabaikan: Memahami Kondisi Buruh Migran di Luar Negeri”.

Selama bekerja di Hongkong, Erwiana tak hanya menahan lapar, namun juga harus menerima siksaan, bahkan harus menjalani jam kerja di luar batas. TKI asal Ngawi, Jawa Timur ini harus bekerja dengan cara berdiri selama 20 jam, dan hanya diberi waktu untuk istirahat 4 jam.

“Pekerjaan saya adalah bersih-bersih rumah. Semua perabotan harus dalam keadaan bersih. Saya bekerja selama 20 jam dalam sehari dan itu tidak boleh duduk. Kalau salah sedikit saja, saya pasti dipukul. Saya dipukul mulai dari kepala, tangan, hingga kaki. Penganiayaan terakhir sampai saya gegar otak. Kaki dan tangan saya busuk. Karena sudah tidak kuat lagi untuk berdiri, saya ambruk di kamar mandi."

"Majikan akhirnya memulangkan saya secara diam-diam dengan hanya memberikan tiket pesawat, passport, dan uang saku Rp 100.000,- Gaji saya tidak diberikan. Saya pulang dengan muka lebam, gegar otak, tangan dan kaki busuk karena hanya dibungkus plastik dan ditutup perban,” Erwiana melanjutkan cerita.

Peruntungan akhirnya berpihak pada Erwiana. Di bandara, dirinya bertemu dengan seorang aktivis yang akhirnya mengantarkannya pulang ke Ngawi, Jawa Timur. Lewat pertemuan lanjutan dan pendampingan dengan aktivis dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Mission for Migrant Worker, dan Justice Commite for All Migrant, akhirnya Erwiana mengetahui tentang haknya dan berani untuk melakukan sesuatu.

“Lewat pendampingan dari JBMI, KBH Yogyakarta, Mission for Migrant Worker, dan Justice Commite for All Migrant, saya akhirnya berani menuntut hak. Berbekal aksi yang dilakukan oleh solidaritas sesama buruh migran dan orang-orang lokal Hongkong yang peduli dengan penderitaan kami, maka kasus saya menjadi besar. Aksi demo dilakukan di banyak tempat, seperti Kedutaan Besar Indonesia di Hongkong dan Markas Kepolisian Hongkong.

Akibat aksi ini, kepolisian Hong Kong sampai datang ke Indonesia untuk melakukan investigasi. Akhirnya digelar sidang dan mantan majikan saya divonis bersalah dan dihukum 6 tahun penjara. Gaji saya juga dibayarkan penuh, dan sekarang sedang proses untuk mendapatkan kompensasi,” urai Erwiana.

Menurut Karsiwen, Koordinator JBMI yang juga menjadi salah satu narasumber diskusi, kenyataan pahit yang dialami oleh Erwiana dikarenakan negara kurang bisa memberikan lapangan kerja dan pendidikan yang memadai untuk rakyatnya. Akibatnya, banyak warga negara Indonesia yang harus berpisah dengan keluarga dan mengadu nasib di luar negeri.

“Negara belum bisa memberikan lapangan kerja yang memadai dan pendidikan yang layak. Akibatnya banyak warganya yang pergi ke luar negeri,” ungkap Karsiwen.

Bagi Erwiana maupun Karsiwen yang juga pernah 11 tahun menjadi buruh migran di Hongkong, impian terbesar mereka adalah bekerja di negeri sendiri, tanpa harus berpisah dengan keluarga. Bahkan bagi mereka, bekerja di luar negeri adalah sebuah keterpaksaan karena di sana mereka bekerja tanpa perlindungan. Sebagaimana quote yang disampaikan di akhir acara ini:

“Impian kami hidup sejahtera di negeri sendiri, tanpa harus berpisah dengan keluarga tercinta, dan terpaksa menjadi buruh murah di negara orang tanpa perlindungan”. 

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home