Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 19:13 WIB | Kamis, 03 Maret 2016

Terjadi Penyelundupan Pasal di Revisi UU Anti-Terorisme?

Ilustrasi. Indonesia Terancam Terorisme Radikalisme. (Karikaturis: Pramono Pramoedjo)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah telah mengirimkan draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repulik Indonesia. Badan musyawarah DPR pun telah sepakat pembahasan revisi UU yang bertujuan mencegah aksi terorisme terjadi di Indonesia itu dilakukan dalam panitia khusus (Pansus).

Artinya, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera memasuki perdebatan politik di lembaga legislatif.

Lembaga swadaya masyarakat yang didedikasikan dengan gagasan setiap orang harus diperlakukan sama, SETARA Institute, mencurigai terjadi penyelundupan pasal dalam revisi UU yang bertujuan untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Tanah Air. Lantaran, hingga saat ini pihaknya sulit mendapatkan naskah akademik revisi UU tersebut.

Menurut Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, naskah akademik penting untuk diinformasikan kepada publik, agar mengetahui argumen dasar dari setiap pasal yang ditambah maupun diubah dalam perubahan sebuah UU.

"Kecenderungan pemerintah Jokowi dan DPR saat ini tidak pernah ada pembaruan naskah akademik. "Setiap revisi seharusnya dilampirkan naskah akademik untuk memberikan penjelasan argumen logis kenapa UU tersebut perlu diubah," kata Bonar dalam jumpa pers di Kantor SETARA Institute, Kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, hari Kamis (3/3).

Berlawanan dengan KUHAP?

Bonar kemudian mengkritisi Pasal 43A dalam draf revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyebutkan bahwa, “Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama enam bulan.”

Menurutnya, ketentuan tersebut tidak menjelaskan tempat penahanan terduga teroris dengan baik. Bahkan, dia menilai, penempatan terduga teroris pada tempat tertentu merupakan bentuk penahanan yang sewenang-wenang, terutama terkait waktu penahanan yang diberikan maksimal selama enam bulan.

“Belum jadi tersangka, tapi sudah dibawa ke tempat tertentu dalam waktu maksimal enam bulan. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita tidak mengatur hal itu. Apakah tempat tahanan seperti lembaga permasyarakatan milik Brimob, atau tempat tahanan kejaksaan?” kata Bonar.

Dia pun menduga Pemerintah Indonesia berusaha meniru Internal Security Act (ISA) milik Singapura dan Malaysia. Dimana aturan tersebut memberikan kewenangan untuk menahan dan menyekap seorang terduga teroris selama dua tahun tanpa proses hukum yang pasti.

“Padahal, kritik deras agara ISA dicabut sudah berulang kali terjadi. Bahkan Pemerintah Malaysia sudah berusaha cabut ISA tahun lalu. Jadi apa argumennya, apakah pasal ini sekarang diselundupkan, mana naskah akademiknya?” kata Bonar mempertanyakan.

Berpotensi Abuse of Power

Lebih lanjut, Bonar keberatan dengan penambahan durasi waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 25 yang mengatakan, “Soal penangkapan draf revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meminta 7 hari masa penangkapan diperluas jadi 30 hari, ini berpotensi abuse of power,” katanya.

Dia juga mengkritisi istilah baru yang diperkenalkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam proses peradilan pidana, yakni penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme, sebagaimana diatur dalam Pasal 28A. Pasal itu mengatakan, “Penuntut umum melakukan penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berkas perkara dari penyidik diterima.”

Menurutnya, istilah itu membingungkan karena KUHAP tidak mengatur kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan tersebut. Dia mengatakan, kewenangan kejaksaan dalam peradilan pidana adalah melakukan penuntutan.

“Pemberian kewenangan meniliti berkas perkara berpotensi melemahkan kerja institusi kepolisian yang dengan seperangkat kewenangannya telah melakukan penyidikan hingga berkas dinyatakan lengkap,” tutur Bonar.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home