Tidak Membedakan Anak

SATUHARAPAN.COM – Ketika menghadiri sebuah acara ulang tahun, saya berjumpa sobat lama dan keluarganya. Kali ini memang terasa istimewa. Tentu tabek semua. Tetapi, ketika menyalami putra bungsunya sambil berkata, ”Wah, ini ta jagoannya”. Sang Bapak langsung menjawab dengan bijak, ”Yang ini juga jagoan,” sambil menunjuk putri sulungnya. ”Oh ya benar, sama-sama jagoan!” timpal saya.

Kadang kita, tanpa sadar, suka membedakan anak. Lebih memuji yang satu dan kurang memuji yang lain. Orangtua lebih suka menceritakan anak yang pandai dan berprestasi dari pada yang kurang pandai dan tidak berprestasi. Lebih menyayangi anak lelaki, sementara kepada anak perempuan kurang. Warisan kepada anak lelaki sepikul (dua bakul), sementara anak perempuan segendongan (satu bakul), dengan kata lain 2:1. Apalagi, kalau membedakan anak sebagaimana dilakukan Ishak yang lebih mengasihi Esau dan Ribka yang lebih mengasihi Yakub dalam Kitab Suci, maka dampak negatif dari membedakan anak tersebut begitu dalam dan panjang.

Anak yang diperlakukan diskriminatif akan tumbuh dengan kepribadian ganda: ingin menjadi anak manis, tetapi penuh iri hati; ingin menjadi anak baik, tetapi penuh kebencian; ingin menjadi anak pintar, tetapi egois dan licik; dan ingin menjadi anak ramah, tetapi tidak jujur.

Hari ini, 1 Juni 2014, selain merayakan Hari Lahirnya Pancasila, kita juga merayakan Hari Anak Internasional yang jatuh pada 1 Juni (Hari Anak Nasional setiap 23 Juli). Kita diajak untuk bersikap adil terhadap anak-anak. Para orangtua, guru, dan pendidik lainnya diajak untuk mendidik anak dengan penuh kasih sayang, dukungan, pujian, dan penghargaan sebagai model pendidikan anak yang berimplikasi pada pertumbuhan anak yang berkepribadian utuh dan berbudi luhur. Sehingga anak tumbuh menjadi pribadi dewasa istimewa—pribadi pancasialis.

Selamat merayakan Hari Anak Internasional!

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com