Loading...
INDONESIA
Penulis: Francisca Christy Rosana 15:00 WIB | Jumat, 05 Desember 2014

Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Robohkan Sekat Etnis

Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Robohkan Sekat Etnis
Buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia karya Iwan Santosa yang digagas oleh Ketua Pendiri Yayasan Nabil Drs Eddie Lembong diluncurkan pada Kamis (4/12) di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta. (Foto-foto: Francisca Christy Rosana)
Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Robohkan Sekat Etnis
Dari kiri ke kanan, Ulung Rusman (moderator), Mayjen TNI Gede Sumerta dari Univeritas Pertahanan, Soni Aprianto, S.H., dan Drs Jaleswari Pramodhawardani, pengamat militer LIPI .
Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Robohkan Sekat Etnis
Penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia, Iwan Santosa.
Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Robohkan Sekat Etnis
Soni Aprianto, S.H. yang mewakili Pangdam Jaya Mayjen TNI Agus Sutomo.
Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Robohkan Sekat Etnis
Mayjen TNI Gede Sumerta dari Univeritas Pertahanan yang mewakili Laksamana Madya TNI Dr Desi Albert Mamahit, M.Sc. saat menjadi pembedah buku.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat Tionghoa Indonesia dan dunia kemiliteran masih sering dipersepsikan sebagai dua entitas yang terpisah dan saling berjauhan. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban seluruh elemen masyarakat yang tak terbatas etnis.

Dalam peluncuran buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia  karya Iwan Santosa yang digagas oleh Ketua Pendiri Yayasan Nabil Drs Eddie Lembong  pada Kamis (4/12) di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, sekat-sekat etnis dalam sejarah kemiliteran secara implisit telah dirobohkan.

Mengungkap Fakta Sejarah

Dalam peluncuran tersebut, buku pengungkap fakta sejarah yang tak banyak diketahui masyarakat tentang keterlibatan masyarakat Tionghoa Indonesia dalam berbagai aktivitas kemiliteran ini dibedah cukup gamblang, seperti patriot-patriot berkulit kuning yang ternyata  telah ikut berjuang bersama kaum pribumi sejak zaman pra-kolonial, kolonial, perang kemerdekaan Republik Indonesia, masa konfrontasi Ganyang Malaysia, sampai masa Operasi Seroja Timtim. Namun, banyak di antara prajurit tersebut yang kemudian dilupakan.

Mayjen TNI Gede Sumerta dari Univeritas Pertahanan saat menjadi pembedah buku mengatakan, sejarah Tionghoa dalam kajian ini tidak terlepas dari khazanah untuk memperkaya pengetahuan, baik untuk referensi maupun untuk informasi.

Dari fakta-fakta sejarah yang diungkapkan dalam buku tersebut, jelas terlihat peran penting pasal 30 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Di dalam pasal ini tidak pernah ada pembedaan dari etnis manapun atau dari suku manapun.

“Asalkan di dalam kemiliteran ada dedikasi, integrasi, dan loyalitas, bela negara tidak terbatas pada etnisitas. Apalagi sekarang sudah dituangkan dalam nawacipta tentang kebhinnekaan. Berarti sudah tidak ada lagi rambu-rambu untuk membedakan,” ujar Gede.

Sementara itu, terkait fakta yang terkuak dalam buku ini, menurutnya masyarakat  tidak bisa begitu saja melupakan sejarah.

“Sejarah akan memberikan motivasi untuk generasi mendatang. Sejarah membuktikan banyak orang Tionghoa di militer yang dapat mendidik junior-juniornya dengan baik,” kata Gede.

Peran Tionghoa Indonesia di Dunia Militer Menyurut

Perjalanan panjang masyarakat Tionghoa Indonesia telah menorehkan sejumlah luka dan ingatan yang tak pernah lekang. Diskriminasi bagi mereka pada masa-masa orde baru karena dianggap antek-antek Partai Komunis Indonesia tidak bisa berlalu begitu saja.

Bayangan-bayangan tersebut secara tidak sadar membuat etnis Tionghoa di Indonesia sungkan dan ragu merambah dunia militer. Stigma-stigma negatif terhadap etnis ini pun akhirnya menyematkan jarak antara masyarakat yang disebut ‘pribumi’, perangkat negara, dan etnis Tionghoa itu sendiri.

Soni Aprianto, S.H. yang mewakili Pangdam Jaya Mayjen TNI Agus Sutomo mengatakan dalam Pancasila, Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan disatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika.

“Kita seharusnya sudah tidak lagi membeda-bedakan suku, RAS, etnik, maupun agama. Seperti yang tercantum dalam buku ini, ini telah membuka wawasan dan mata kita tentang keberadaan Tionghoa Indonesia dalam kemiliteran,” ujar dia.

Peran serta masyarakat Tionghoa Indonesia dalam dunia kemiliteran mau tidak mau telah dilupakan bahkan diabaikan karena pengkotak-kotakan.

Oleh karena itu, peran etnis Tionghoa setelah era 1965 jarang sekali terlihat dalam akademi angkatan darat, akademi angkatan udara, dan akademi angkatan laut.

“Untuk itu kami mengajak etnis Tionghoa untuk berperan aktif dan berkontribusi dalam kegiatan bela negara. Etnis Tionghoa adalah bagian integral dan komponen bangsa Indonesia karena etnis Tionghoa dan etnis lainnya adalah bagian yang tak terpisahkan,” kata Soni.

“Jadi, TNI bisa dijadikan pilihan untuk berkarier. Generasi muda TNI Tionghoa diharapkan untuk berpartisipasi dalam mengawal Ibu Pertiwi, baik di darat, laut, maupun udara,” Soni menambahkan.  

Napak Tilas

Jaleswari Pramodhawardani, pengamat militer LIPI mengatakan buku ini merupakan buku yang langka karena tidak hanya bicara peran Tionghoa dalam pertahanan bangsa Indonesia, tetapi juga tentang kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan itu tergambar dalam perjalanan yang panjang, jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Buku ini menghantarkan kita pada satu pemahaman bahwa si penulis mencoba menapak tilas. Ia tak hanya mengangkat fakta tentang peran serta Tionghoa sampai kemerdekaan saja, tetapi juga mundur jauh bahkan ketika Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan,” kata Jaleswari.

Dari napak tilas tersebut, Jaleswari mengajak pembaca untuk melihat sejarah secara kritis karena menurutnya sejarah kerap ditulis oleh orang-orang tertentu dengan masukan-masukan yang subjektif.

“Dan sebuah peristiwa yang melibatkan banyak aktor, tempat, dan kejadian kadangkala kehilangan makna saat hal-hal tersebut direduksi hanya untuk menjadikan sejarah itu pantas dan baik dan menghilangkan sosok-sosok yang sebelumnya ikut berperang di sana,” kata dia.

Selain itu, Jaleswari mengatakan buku ini mengingatkan tentang kesetaraan, persamaan, dan persaudaraan dalam sebuah bangsa.

Sebuah Perziarahan

Iwan Santoso sebagai penulis buku yang mengangkat fakta sejarah ini mengatakan, proses penulisan selama tiga tahun telah menyadarkannya bahwa menulis kisah ini merupakan sebuah perziarahan.

“Ziarah keindonesiaan untuk mereka yang selama ini kita lupakan,” ujarnya.

Hingga kini, diskriminasi dan diskreditisasi terhadap masyarakat Tionghoa Indonesia secara tidak sadar telah membawa masyarakat melupakan rekaman jasa mereka dalam sejarah.  

“Untuk itulah buku yang telah dibuat selama tiga tahun bukan bermaksud mengangkat satu kelompok lebih dari yang lain, tapi untuk mengingat bahwa kita punya bagian-bagian yang terlupakan,” kata Iwan. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home