Loading...
INSPIRASI
Penulis: Novita Ahmad 01:00 WIB | Rabu, 28 Oktober 2015

Tuhan Memahami

Mungkin perpisahan merupakan jalan keluar.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Siang itu di tengah teriknya mentari, aku pulang dengan gontai. Tak berani masuk ke dalam rumah dan menatap wajah ayahku. Namun, kusadar tak mungkin lari dari kenyataan.

Kulihat ayahku terbaring di tempat tidur dengan mata sayu. Penyakit maagnya kambuh.

”Lo, Ibumu mana?” tanya ayahku.

Emm, tadi katanya mau mampir sebentar Yah, di rumah teman perias” jawabku sedikit gemetar.

Waktu itu aku dan ibuku usai merias pengantin di rumah teman ibu yang cukup jauh. Ibuku adalah seorang perias yang mempunyai suatu kelompok perias atau biasa disebut dengan paguyuban perias pengantin.            Tak selesai di situ, ”Terus pakaian pengantinnya di mana? Kok nggak kamu bawa pulang?” tanya ayahku lagi.

”Oh, tadi dibawa Ibu, Yah. Kata ibu mau dipinjem teman” jawabku terbata-bata.

Aku langsung masuk kamar, air mata pun mengalir. Setelah dua jam mengurung diri di kamar, aku keluar dan menawari ayahku makan. Tetapi ayahku tidak mau makan.

”Jam segini kok, Ibumu belum pulang juga, memang sebenarnya ibumu ke mana?” tanya ayahku dengan penuh rasa cemas dan curiga.

”Aku juga nggak tahu Yah, tadi Cuma bilang mau ke rumah teman perias,” jawabku sambil menahan air mata yang terus saja ingin keluar.

Kala itu ayah dan ibuku memang sedang mempunyai masalah. Mereka sering bertengkar karena berbagai hal. Pertengkaran itu sering terjadi sejak aku masih duduk di bangku SD. Puncaknya, ibuku memutuskan untuk meninggalkan ayahku karena sudah tidak tahan dengan sikap ayahku yang cenderung egois, selalu menyerahkan masalah mencari nafkah kepada ibuku. Sedangkan ayahku hanya kerja semaunya, dan tidak mau berusaha mencari pekerjaan. Sehingga ibuku merasa tidak kuat karena memikul semua beban sendiri, sedangkan mereka memiliki tiga orang anak yang harus dicukupi. Ketika Ibu mengutarakan keinginannya, aku hanya bisa menangis. Aku pun tak bisa melarang keinginan ibuku karena tahu betapa menderitanya Ibuku.

Malam telah tiba, ayahku kian bingung karena ibuku tak kunjung pulang. Ayahku memanggilku dan menangis. Ayahku bercerita tentang semua keluh kesahnya dan penyesalannya atas sikapnya terhadap ibuku. Namun, nasi telah menjadi bubur. Ibuku sudah tidak mau kembali lagi. Ibuku memilih untuk pulang ke rumah orangtuanya. Ayahku mencoba untuk menelepon ibuku berkali-kali, namun tidak diangkat. Ayahku tidak berhenti menangis, ia terlihat begitu menyesal. Aku hanya bisa memberi semangat kepada ayahku agar tidak terpuruk dalam kesedihan. Di sana kami berdua hanya bisa menangis.

Tadinya aku kecewa dengan keputusan ibuku. Namun, fakta yang membuatku kaget ialah bahwa selama ini ayahku menggunakan ilmu pelet untuk mendapatkan ibuku. Kenyataan itu menyadarkanku bahwa keputusan ibuku tidak sepenuhnya salah. Cinta memang tak bisa dipaksakan.

Mungkin perpisahan merupakan jalan keluar. Apakah Tuhan merestui? Ku tak tahu jawabannya. Tetapi, kurasa Dia memahami.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home