Loading...
OPINI
Penulis: Mulyanah 11:11 WIB | Kamis, 10 Oktober 2013

Wilfrida dan Sekolah Calon TKI

SATUHARAPAN.COM - Kasus Wilfrida Siok (20) membuka mata banyak pihak akan risiko tinggi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di usia sangat muda, berstatus ilegal, dan pendidikan atau keterampilan tidak memadai. Perempuan asal Fatu Rika, Raimanuk, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar Pasal 302 Penal Code (Kanun Keseksaan) Malaysia.
Tiga tahun lalu (2010), Wilfrida bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) pada seorang majikan bernama Yeap Seok Pen (60). Sang majikan kerap memarahi dan memukuli Wilfrida yang saat itu baru berusia 17 tahun. Tak tahan perlakuan sang majikan, Wilfrida melakukan pembelaan diri. Tanggal 7 Desember 2010, dia melawan dan mendorong majikannya hingga terjatuh dan akhirnya meninggal dunia.
Wilfrida tak sendirian. Kasusnya menggenapi angka 420 pekerja Indonesia yang saat ini terancam hukuman mati di berbagai negara, menurut data Migrant Care. Dari jumlah itu, di Malaysia sebanyak 351 orang tengah menanti vonis hukuman mati, di Cina ada 22 orang, Singapura satu orang, Filipina satu orang, dan di Arab Saudi 45 orang. Yang menyedihkan, 99 orang di antaranya telah divonis hukuman mati. Dua orang TKI bahkan sudah dieksekusi mati di Arab Saudi. 
Dari ratusan TKI yang terancam hidupnya itu, sebagian besar berprofesi sebagai PRT. Mereka memiliki kesamaan dalam hal pendidikan dan keterampilan yang rendah. Di luar mereka yang terancam vonis mati bukan berarti aman-aman saja. Jutaan TKI mengalami tindak kekerasan dari berbagai pihak dan berbagai level. Praktis, setiap TKI menjadi korban tindak kekerasan dan eksploitasi mulai dari proses pemberangkatan, saat bekerja di negara penempatan, bahkan begitu tiba di bandara dari luar negeri (pulang).
Staf Ahli Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, mengatakan persoalan literasi dan pendidikan rendah menjadi cikal bakal problematika TKI di negara tujuan kerja. Menurutnya, rendahnya pendidikan membuat pergaulan dan pengetahuan TKI terbatas tentang kultur dan bahasa negara tujuan.
Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Dr Musni Umar menyebut, selain tidak punya kemampuan bahasa, kebanyakan TKI kita juga tidak punya kemampuan mengoperasikan alat elektronik. Majikan yang sudah bayar mahal merasa tidak puas, lalu ketidakpuasan itu dilampiaskan kepada mereka, sehingga terjadilah kekerasan-kekerasan itu. Di satu sisi Musni Umar mengecam tindakan majikan yang gemar berlaku kekerasan, tapi masalah keterampilan TKI yang tidak beres juga harus dibenahi. 
Diremehkan
Soal pendidikan dan keterampilan rendah TKI kerap menjadi bahan argumen pejabat berwenang guna mendeskripsi berbagai kasus kekerasan yang mendera TKI di luar negeri. Namun sejauh ini, belum ada langkah mencukupi dari pemerintah untuk mereduksi persoalan ini. Padahal, sejarah per-TKI-an bermula sejak 1970-an atau lebih dari 40 tahun lalu, waktu yang cukup panjang untuk menata segala problematika pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Kebijakan pengiriman TKI cenderung permisif, dan proses screening dilakukan hanya demi mengikuti kebijakan penerimaan tenaga kerja asing di negara penempatan. Hasilnya, TKI di Asia Timur lebih berpendidikan dan bahkan mampu berbahasa asing, sementara TKI di Malaysia dan Arab Saudi mayoritas berkualifikasi tamatan sekolah dasar. Hal ini karena negara-negara Asia Timur mewajibkan calon pekerja memiliki standar tertentu, sedangkan calon TKI tujuan Malaysia dan Arab Saudi nyaris hanya dengan modal nekad. 
Padahal, mereka yang bekerja di Arab Saudi dan Malaysia jauh lebih besar jumlahnya daripada TKI di negara-negara Asia Timur. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, jumlah warga Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Tidak heran bila TKI di kedua negara itu lebih sering bermasalah ketimbang di negara lainnya.
Hal lainnya, profesi penata laksana rumah tangga (PLRT) masih dipandang sebelah mata dan seakan-akan tak memerlukan keahlian. Menjadi PLRT juga dikesankan tak menuntut pendidikan memadai. PLRT tak lebih dari pembantu atau babu, yang boleh diremehkan, bergaji rendah, dan sah mendapat perlakuan-perlakuan tak semestinya. 
Di era modern seperti sekarang, PLRT semestinya harus dilihat sebagai profesi. Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengakui dan menerima PLRT sebagai profesi atau tenaga kerja yang memiliki status seperti tenaga kerja lainnya. RUU PRT yang belum disahkan juga mengadopsi hukum ketenagakerjaan formal bagi profesi PRT nantinya.
Kombinasi persoalan di atas menyebabkan gejala instan dalam hal upaya memampukan calon TKI. Seakan-akan kemampuan calon TKI sudah mencukupi dengan hanya melalui pelatihan, itu pun diserahkan pada Perusahaan Jasa TKI (PJTKI). Sesuai dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Penempatan TKI, PJTKI diserahi kewajiban memberikan pelatihan dan memberikan keterampilan kepada TKI yang akan diberangkatkan.
Komplikasi timbul justru dari keberadaan PJTKI itu sendiri yang memiliki logika berbeda perihal kecakapan TKI. Tujuan PJTKI selalu bermatra bisnis dan keuntungan. Mengirim sebanyak mungkin TKI ke luar negeri adalah ukuran kesuksesan bisnis mereka. Saat negara penempatan tidak menuntut kecakapan TKI yang tinggi, aji mumpung pun berlaku. Pelatihan yang diselenggarakan lantas manifes sebagai perkara formalitas yang mau tidak mau harus dipenuhi, tidak lebih. 
Sekolah Khusus
Kini, saatnya pemerintah lebih serius memikirkan aspek pendidikan calon TKI. Perlu dibangun sekolah-sekolah khusus dan atau kursus yang bertujuan memampukan TKI dalam segala aspeknya. Melalui sekolah khusus TKI ini, mereka tak cuma diajarkan bahasa dan keterampilan khas PLRT, namun juga pengetahuan lain seperti hukum di negara penempatan, psikologi (agar tak mengalami gegar budaya), kemampuan bernegosiasi, internet, dan lainnya.
Pengalaman Filipina bisa menjadi rujukan. Untuk meningkatkan kualitas PRT, hampir setiap paroki di negara itu membuka pelayanan kursus PRT di gereja. Para PRT mendapatkan pelatihan mengurus rumah tangga, menjahit, pelajaran anak sekolah, dan bahasa Inggris. Kursus yang dikelola oleh para suster membuahkan hasil dengan diakuinya PRT Filipina baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sejumlah pihak di dalam negeri juga sudah mulai menginisiasi, misalnya Universitas Jambi yang membuka program pendidikan yang khusus diperuntukkan mendidik calon TKI. Program TKI ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian terutama kemampuan bahasa calon TKI. Selain bahasa, calon TKI ditempa keterampilan sesuai “job order” atau bidang pekerjaan yang akan dijalani atau dilakoninya di luar negeri. Tujuan lainnya, calon TKI tidak mudah ditipu oleh PJTKI, perusahaan atau majikan tempat TKI bekerja.
Jadi, pemerintah tak hanya berharap dari devisa TKI, tapi pun menyiapkan bekal pengetahuan sebagai senjata demi menghadapi berbagai marabahaya yang mengintai pahlawan-pahlawan devisa itu.
Penulis adalah seorang ibu rumah tangga yang aktif mengamati persoalan buruh migran

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home