Loading...
SAINS
Penulis: Melki Pangaribuan 15:43 WIB | Kamis, 30 Januari 2020

Unpar: Intensifkan Kontra-Radikalisme Sejak Pendidikan Dasar

Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Prof Dr Ignatius Bambang Sugiharto. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Prof Dr Ignatius Bambang Sugiharto mengatakan kontra-radikalisme perlu diajarkan sejak pendidikan dasar untuk membentengi diri dari paham-paham radikal dan intoleransi.

"Saya kira kontra-radikalisasi itu perlu dijalankan sejak pendidikan dasar dengan memupuk sikap pluralis dan toleran terhadap yang berbeda," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, di Jakarta, Rabu (29/1).

Menurut dia, pemerintah dalam jalur yang benar dan sudah ke arah itu. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah sering melakukan hal itu baik di lembaga pendidikan seperti kampus-kampus dan juga masyarakat.

"Hanya saja hal seperti itu perlu lebih diintensifkan lagi agar masyarakat ini memiliki daya tahan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bisa memecah belah bangsa kita ini," katanya.

Dalam kesempatan itu ia juga menyatakan setidaknya terdapat dua penyebab penyebaran intoleransi dan radikalisme di media sosial (medsos).

"Pertama, krisis identitas di mana individu atau kelompok merasa tidak dihargai dalam lingkungan sosialnya kemudian dia mencari pelarian di medsos. Kedua, emosi yang labil, hal ini rentan untuk dipermainkan dan disusupi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan," katanya.

Oleh karena itu, pria yang merupakan ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme ini menyarankan agar masyarakat untuk selalu dapat bersikap kritis dalam menggunakan media sosial, guna membentengi diri agar tidak mudah terprovokasi yang bersumber dari satu pihak atau golongan tertentu saja.

Hal ini juga sekaligus sebagai upaya masyarakat itu sendiri untuk membentengi dirinya agar tidak mudah disusupi paham-paham radikal negatif dan melakukan perbuatan intoleransi terhadap pihak lain yang berbeda baik dari segi pandangan maupun pilihan keyakinan.

"Dalam arti begini, kita harus melihat bahwa radikallisme itu jelas-jelas destruktif, dan tentunya tidak mungkin dikehendaki Tuhan. Karenanya perlu kekuatan masyarakat yang kritis untuk bersatu menolaknya, dengan cara apa pun sejauh manusiawi dan non-violent (nir-kekerasan) meskipun memang tidak mudah," ujarnya.

Lebih lanjut peraih gelar Doktoral dari Pontifical University of Saint Thomas Aquinas, Italia, ini mengungkapkan bahwa kaum milenial sebagai populasi terbesar di medsos harus dibiasakan untuk melihat perbedaan sebagai suatu keindahan dalam cara berpikir.

"Di mana cara-cara berpikir yang indoktrinatif perlu dihindarkan, dan diganti dengan keberanian untuk mempertanyakan dan meragukan setiap opini dan fakta yang ada. Sikap kritis itu natural, karena otak manusia itu diciptakan Tuhan memang untuk berpikir. Hal-hal mendasar dalam hidup perlu didiskusikan, tidak cukup dijawab dengan doktrin, ayat atau sembahyang," katanya.

Selain itu, pria yang juga anggota Asosiasi Filsafat Indonesia (Asafi) ini juga menyampaikan perlunya peran serta dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran paham radikal melalui media sosial agar tidak semakin masif dan menjangkiti masyarakat.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home