Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 12:24 WIB | Rabu, 11 Mei 2016

WNI di Inggris Protes Corbyn karena Dukung Papua Merdeka

Anak-anak sedang bermain di luar kelas pada jam istirahat di Jayapura (Foto:shutterstock.com/Katiekk/The Jakarta Post)

LONDON, SATUHARAPAN.COM –  Pernyataan Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, tentang dukungannya pada penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua mendatangkan protes. Kali ini bukan dari pembencinya, melainkan dari peneliti dan mahasiswa Indonesia di Inggris yang mengaku sebagai pengagum Corbyn.

Sebagaiamana diberitakan sebelumnya, sejumlah media, di antaranya The Guardian, melaporkan tentang dukungan Corbyn kepada rakyat Papua yang ingin menentukan nasibnya sendiri (self determination). Corbyn yang hadir dalam pertemuan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di gedung parlemen Inggris,  pada 3 Mei lalu,berbicara tentang penderitaan rakyat Papua  dan mendukung didorongnya reformasi demokrasi di salah satu propinsi RI itu.

Media Australia, abc.net.au, melaporkan Corbyn mengatakan sudah saatnya rakyat Papua mampu membuat pilihan mereka sendiri tentang masa depan politik mereka. "Ini tentang strategi politik untuk membawa penderitaan rakyat Papua diketahui oleh dunia, untuk menjadikannya agenda politik, membawanya ke PBB, dan akhirnya memungkinkan rakyat Papua untuk membuat pilihan tentang jenis pemerintah yang mereka inginkan dan jenis masyarakat yang ingin mereka hidupi, "kata dia dalam pertemuan itu.

Muhammad Zulfikar Rakhmat, seorang peneliti dan wartawan independen serta  Media Wahyudi Askar, mahasiswa S3 di Universitas Manchester dan Presiden Asosiasi Pelajar Indonesia di Inggris, memprotes pernyataan Corbyn. Mereka menulis surat terbuka menyuarakan protes itu, dan dilansir oleh huffingtonpost.com, 9 Mei 2016.

“Kami menulis atas nama masyarakat Indonesia di Inggris. Sebagai pengagum Anda, kami terkejut membaca pernyataan yang dipublikasikan di The Guardian edisi online – Artikel Helen Davidson yang berjudul 'Jeremy Corbyn atas Papua Barat: Pemimpin Buruh Inggris menyuarakan kemerdekaan' pada tanggal 6 Mei 2016. Kami sangat kecewa dengan Anda yang menyimpulkan terlalu cepat tentang Papua dan Papua Barat  yang tidak mendasar dan mencerminkan pengetahuan yang sangat terbatas tentang kedua provinsi tersebut,” tulis mereka mengawali surat.

“Salah satu dari kami pernah tinggal di Papua dan kami telah diajarkan tentang Papua sejak usia dini. Kami tahu persis seperti apa hidup di provinsi Papua dan Papua Barat. Bahkan mereka yang telah mengunjungi Papua dan Papua Barat bisa melihat bawa pembangunan sosial-ekonomi di kedua provinsi sebanding dan dalam beberapa kasus melebihi kota-kota / negara lain di Pasifik Selatan,” lanjut dia.

Melukai 250 Juta Orang Indonesia.

“Pernyataan Anda sudah banyak merusak  dan melukai perasaan 250 juta rakyat Indonesia, di antaranya adalah 3,9 juta orang yang tinggal di 42 kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat. Setiap 5 tahun, para pemilih yang terdaftar di Papua dan Papua Barat, termasuk yang di luar negeri, secara sukarela mengambil bagian dalam pemilihan yang secara internasional dianggap sebagai bebas dan adil. Seperti Indonesia, kami di Papua dan Papua Barat secara bebas dan langsung memilih presiden kami, anggota parlemen, gubernur, bupati dan walikota yang adalah etnis Papua. Kami cemas bahwa Anda percaya orang-orang di Papua dan Papua Barat tidak menikmati demokrasi. Kami bingung bahwa Anda mengatakan bahwa kami tidak bebas untuk memilih, bebas untuk memerintah dan bebas untuk menentukan masa depan kami sendiri. Sebaliknya, Anda harus berhati-hati tentang klaim yang dibuat oleh Benny Wenda (juru bicara United Liberation Movement for West Papua/ULMWP, yang berjuang memperjuangkan kemerdekaan Papua) dan individu lain yang mengaku mewakili rakyat Papua. Siapa yang sebenarnya mereka wakili?,” lanjut surat itu.

“Sulit bagi kami untuk memahami dukungan Anda terhadap Benny Wenda  dan tuduhan teman-temannya bahwa pemerintah Indonesia menganiaya, menindas, bahkan melakukan pembunuhan massal (genosida) di Papua dan Papua Barat.”

“Faktanya adalah kedua provinsi itu telah menikmati 5-8 persen  dari pertumbuhan ekonomi tahunan yang mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan, pembangunan, infrastruktur dipercepat, meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkatkan pendidikan dan kesehatan dan prestasi luar biasa lainnya. Salah satu dari kami ada di sana.”

Surat itu lebih jauh mengatakan bahwa dukungan Corbyn kepada rasisme Benny Wenda bertentangan dengan nilai-nilai pribadi Corbyn dan Inggris secara umum. Menurut mereka, Benny Wenda selalu berprasangka buruk terhadap orang Indonesia yang bukan dari etnis Papua yang tinggal dan bekerja di Papua dan Papua Barat.

“Dengan konyol mereka percaya bahwa orang-orang dari luar Papua bermigrasi ke dua provinsi tersebut sebagai bagian dari program pemerintah Indonesia untuk menghapus penduduk asli Papua,” bunyi surat itu.

Surat itu tidak mengabaikan bahwa Papua masih menghadapi banyak masalah pembangunan, termasuk korupsi, kurangnya sumber daya manusia pemerintah daerah dan  semakin diperparah dengan topologi rumit Papua. Surat itu menunjuk contoh bahwa beberapa tahun terakhir, sedikitnya delapan bupati di Papua terdaftar sebagai tersangka korupsi. Selain itu, Gubernur Papua untuk periode 2006-2011, Barnabas Suebu, telah dipenjara karena kasus korupsi yang merugikan negara Rp 10 miliar.

“Alih-alih menyebarkan rumor dan memicu konflik dan polemik di Papua, akan lebih bijaksana untuk bersatu dan mulai bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengembangkan Papua,” demikian surat itu.

Sebagai orang Indonesia, kata penulis surat, mereka  merasa perlu untuk mencerahkan Corbyn tentang beberapa informasi menyesatkan yang Benny Wenda dan teman-temannya telah kampanyekan selama bertahun-tahun. 

Beberapa argumen disampaikan dalam surat:

  • Benny Wenda dan pendukungnya berpendapat bahwa akses bagi wartawan asing ke Papua dan Provinsi Papua dibatasi. Yang benar adalah di antara 22 permintaan visa, hanya lima yang ditolak karena masalah administrasi. Pada 2015, permintaan semua wartawan untuk mengunjungi Papua telah dikabulkan.
  • Benny Wenda dan pendukungnya mengklaim bahwa sumber daya alam dan uang telah diselewengkan dari Papua. Faktanya adalah hukum otonomi khusus memberikan pendapatan yang lebih besar kepada  pendapatan daerah di kedua daerah provinsi, hak istimewa yang provinsi lain di Indonesia tidak nikmati. Kedua provinsi menerima 80 persen pendapatan dari sektor perhutanan, perikanan, dan pertambangan, dan juga 70 persen dari minyak dan gas.  Selain menerima transfer dana dari pemerintah pusat, Papua juga menerima dana otonomi khusus tambahan hingga dua persen dari General Purpose Funds (GPF).  GPF untuk Papua dan Papua Barat adalah delapan persen dari total GPF nasional dan hampir sebesar GPF untuk Jawa Barat, wilayah dengan 12 kali penduduk Papua dan Papua Barat. Pada perbandingan provinsi ke provinsi, GPF untuk Papua dan Papua Barat lebih besar dari gabungan GPF dari Jawa Timur dan Jawa Barat, provinsi dengan 20 kali penduduk Papua dan Papua Barat.
  • Memang benar bahwa ada dugaan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan Indonesia yang menewaskan empat orang yang menyerang kantor keamanan di Panlai di 2014. Tapi ada kesalahan dalam penanganan konflik ketika ada kerusuhan massa. Belum dilaporkan bahwa insiden tersebut terjadi sebagai hasil dari perkelahian antara dua anak muda, daripada isu-isu pembangunan Papua. Jika kita melihat data  kekerasan yang dilakukan oleh gerakan separatis 2009-2014, ada 166 kasus kekerasan yang melibatkan OPM.
  • Pada tahun 2012, tiga polisi tewas di Lanny Jaya. Pada tahun 2013, sebuah ambulans membawa beberapa pasien ditembaki di atas di Puncak Jaya, menyebabkan kematian dari salah satu relawan dari Palang Merah Indonesia. Selanjutnya, dua polisi dibunuh di Lanny Jaya pada tahun 2014 saat melakukan program pemberdayaan masyarakat. Dua petugas polisi lainnya tewas di Puncak Jaya sambil membantu mengangkat kursi dan meja di sebuah gereja. Tahun lalu, tiga polisi tewas di Sinak, sedangkan insiden terbaru adalah pembunuhan empat pekerja konstruksi. Kondisi ini harus membukakan mata berbagai pihak, terutama tentang OPM serta kelompok-kelompok lain untuk menempatkan isu pelanggaran HAM di Papua lebih proporsional. Selama bertahun-tahun pelanggaran HAM di Papua telah disuarakan sebagai pembenaran untuk mendukung niat mereka atas kemerdekaan Papua. Kendati demikian, orang-orang yang menyerukan kemerdekaan lebih memilih untuk tetap diam ketika kekerasan dilakukan terhadap petugas polisi ataupun aparat keamanan lainnya.
  • Benny Wenda dan teman-temannya di ULMWP menentang keras keanggotaan Indonesia dalam MSG. Orang harus tahu bahwa ada sekitar 11 juta orang Indonesia keturunan Melanesia terkonsentrasi di lima provinsi di bagian timur Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat) membuat Indonesia rumah bagi populasi terbesar dari etnis Melanesia di dunia. Dengan demikian, tidak hanya keanggotaan Indonesia dalam MSG sangat relevan, tetapi juga membuka lebih besar kerjasama yang saling menguntungkan antara negara-negara Pasifik Selatan dan Indonesia, salah satu ekonomi terbesar di dunia.
  • Baru-baru ini Benny Wenda dan teman-temannya berkicau di media sosial tentang ratusan orang yang ditangkap karena mendukung ULMWP pada 2 Mei 2016. Namun, mereka tidak berkicau tentang fakta pada hari yang sama mereka semua dibebaskan pada sore hari.

“Kami sangat menyayangkan kata-kata Anda tentang pentingnya memiliki hati yang terhubung dengan kepala. Namun, kesimpulan Anda tentang Papua dan Papua Barat didasarkan hanya pada empati bagi kelompok tertentu tanpa dukungan faktual. Hal ini sangat tidak bijaksana untuk mendengarkan hanya kepada yang sedikit tetapi mengabaikan yang banyak,” tulis mereka.

“Dunia sedang menghadapi peningkatan tantangan dalam mengelola demokrasi, hak asasi manusia, multikulturalisme dan pluralisme. Sama seperti Inggris, kita di Indonesia berkomitmen untuk mendorong hak maju manusia, pluralisme dan multikulturalisme. Kedua negara harus bekerja bahu membahu dalam menyikapi tantangan-tantangan atas dasar kesetaraan, saling menghormati dan memahami, tutup surat itu.

Entah kebetulan atau tidak, Juru Bicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Sade Bimantara, menulis artikel dengan argumen yang mirip di sejumlah media, di antaranya The Jakarta Post.

“Siapa saja yang mengunjungi Jayapura dan kota-kota lain di Papua, dapat melihat bahwa pembangunan di sana sebanding, bahkan dalam beberapa kasus, lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lain di Pasifik Selatan,” tulis Sade Bimantara. (kav)

Editor : Eben E. Siadari

Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home