Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 04:14 WIB | Minggu, 21 Juni 2015

Beragama: Antara Privat dan Publik

Yatim Piatu menunggu berbuka di hari pertama puasa, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/6). Presiden Joko Widodo mengundang 400 anak yatim piatu dari 12 panti asuhan se-Jabodetabek, untuk berbuka puasa sekaligus memberi santunan dan hadian berupa sepeda kepada sejumlah anak. (Foto: Antara/Yudhi Mahatma)

SATUHARAPAN.COM – Agama adalah sistem ajaran dan praktik hidup yang didasarkan pada kepercayaan atau keyakinan terhadap sosok ilahi yang diyakini memiliki kekuatan dan kekuasaan tertinggi yang jauh melebihi kemampuan manusia. Sosok ilahi ini dipercayai sebagai pencipta alam semesta dan sumber kehidupan. Agama adalah ekspresi iman/kepercayaan yang diyakini sebagai kebenaran. Ia adalah bagian hidup manusia yang sangat pribadi. Di dalam agama, ada keintiman yang dalam sekali antara manusia dan Tuhan, yang diketahui, dialami dan dirasakan hanya oleh kedua pihak itu.

Dalam hubungan yang intim dengan Tuhan, manusia mengalami beragam situasi, baik atau buruk. Jika relasi baik, maka keadaan baik atau berkat dialami, tapi jika relasi buruk, keadaan buruk, kutuk yang dialami. Dalam hal ini manusialah yang berperan. Karena itu, untuk mendapat keadaan yang baik berbagai hal yang dianggap dapat membuat Tuhan berbaik hati, misalnya upacara, doa, dan berperilaku baik dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini, nilai-nilai, aturan atau pedoman hidup yang dipercayai sebagai berasal dari Tuhan harus dilaksanakan. Dari sini, jelas bahwa agama menjadi sumber nilai kehidupan untuk segala bidang kehidupan manusia. 

Umumnya, sebagai ungkapan kepercayaan pribadi, kebenaran agama ditentukan oleh pemahaman dan penghayatan dari penganutnya, yang dibentuk oleh pengalaman hidup, kemampuan berpikir, pendidikan yang diterima dan lingkungan hidup atau pergaulan dalam lingkungan umat beragama yang dialami. Pihak lain tidak dapat menentukan kebenaran agama untuk seseorang, kecuali seseorang ini menerima ajaran pihak lain dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. Nilai-nilai ajaran dan praktik agama ini dipegangi manusia atau umatnya sebagai prinsip-prinsip, jalan atau filsafat hidup baik untuk hidup kini dan nanti di akhirat.

Beragama: Privat-Bebas, Publik-Terbatas 

Sebagai ekspresi iman pribadi dalam pikiran dan perkataan dalam praktik hidup sebagai ritus dan perilaku etis-moral dan spiritual, manusia betul-betul mengalami dan menikmati kebebasannya. Seseorang, di ruang pribadinya, dapat berdoa kepada Tuhan, melaksanakan ritual dengan menggunakan gaya dan kata-kata yang sesuai keinginannya. Tidak ada pihak lain yang melihat dan memengaruhi, sekalipun itu pihak terdekat seperti suami, istri atau anak. Seorang istri dapat memiliki paham yang berbeda dengan suami tentang konsep Tuhan, hidup, atau tentang yang baik dan yang benar.

Dalam ranah privat ini seseorang betul-betul bebas mengungkapkan keberagamaannya. Kebebasan juga dialami di dalam komunitas eksklusif yang menganut paham yang sama. Ajaran dan praktik yang diterima dan diberlakukan bersifat komunal. Di dalam kelompok ini, anggota atau umat bebas mengekspresikan kepercayaannya. Tidak akan ada penilaian benar-salah atau tuduhan sesat karena yang dilakukan adalah kesepakatan bersama. Ajaran dan praktik beragamanya telah diakui bersama. Kecuali ada yang menyimpang dan ada penilaian sebagai “sesat” .   

Kebebasan beragama dapat menemui masalah jika paham dan praktik agama seseorang atau suatu umat hendak diterapkan di dalam masyarakat yang plural agama. Dalam masyarakat ini, tentu ada kaidah-kaidah sosial kultural yang berlaku dan perlu dipertimbangkan dan menentukan bagi setiap kelompok yang akan menerapkan ajaran agamanya. Misalnya saling menghormati, menjaga kerukunan, persatuan dan perdamaian; tidak menghina, menyerang dan tidak menerapkan ajaran agamanya terhadap umat atau agama lain. Ajaran agama tertentu tidak dapat dengan bebas diberlakukan juga jika berhadapan dan bertentangan dengan hukum yang mengatur kehidupan bersama masyarakat dengan beragam agama. Hukum atau aturan yang diberlakukan itu tentulah yang berwenang dan dibenarkan karena ia menjaga dan melindungi masyarakat dan negara.

Namun tidak jarang ada kelompok, biasanya yang merasa punya kekuatan sosial-politik yang memaksakan penerapan ajaran agamanya di dalam masyarakat dengan konsekuensi dan imbas buruk pada umat agama lain. Ini terjadi di dalam masyarakat kita, Indonesia. “Pemaksaan” penerapan ajaran agama Islam formal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara terjadi di beberapa tempat dan aspek kehidupan. Misalnya, Aceh yang menerapkan Hukum Islam; beberapa tempat yang menerapkan peraturan daerah bercorak Islam serta UU Perkawinan, UU Pornografi dan Pornoaksi.

Di bulan Ramadan saat ini, kelompok-kelompok tertentu melakukan razia terhadap warung-warung makanan atau tempat hiburan. Atau di Aceh, wanita-wanita termasuk yang beragama bukan Islam pun “dipaksa” menggunakan jilbab. Ini mengakibatkan ketegangan dan konflik dan biasanya yang menjadi korban adalah kelompok agama yang lemah secara sosial-politik. Bagi agama itu sendiri, keterlibatan dan penguasaan ruang publik adalah potensi besar bagi konflik baik internal umat, dengan umat agama lain dan dengan negara. Juga, citra agama tercemar karena perilaku-perilaku “pemaksaan”.

Beragama Yang Adil dan Bertanggung Jawab 

Kebebasan beragama dalam ruang publik apalagi yang majemuk agama seharusnya ada batasnya. Menjalankan agama sendiri tidak harus memaksa umat lain mengikuti atau melaksanakannya. Saling menghormati adalah sikap yang pantas. Pihak yang tidak berpuasa menghormati yang berpuasa, dan sebaliknya yang berpuasa menghormati yang tidak berpuasa. Ini demi keadilan, kebersamaan sebagai warga masyarakat dan juga bagi agama itu sendiri. Seharusnya kebebasan beragama dilakukan sejauh itu tidak melanggar norma sosial-budaya dan aturan atau hukum yang berlaku umum dalam masyarakat. Inilah yang dapat disebut sebagai kebebasan beragama yang bertanggung jawab.       

Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh negara atau oleh UUD. Bahwa setiap warga negara, bebas menjalankan kepercayaan dan ibadahnya. Namun kebebasan itu tentu tidak berlaku mutlak. Ada rambu-rambu baik sosial-budaya dan hukum yang perlu diperhatikan. Negara harus menjamin pelaksanaan agama oleh umatnya secara bebas, damai, aman dan tenteram dengan menjunjung tinggi dan menerapkan hukum dan undang-undang secara konsisten, adil dan tegas. Di pihak lain, umat beragama memperhatikan kondisi riil masyarakat, negara dan keberadaan umat agama lain. Saling menghormati ajaran dan praktik agama lain sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat terutama hubungan dan interaksi antarumat beda agama. 

Stanley R. Rambitan/Teolog-Dosen Pascasarjana UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home