Loading...
ANALISIS
Penulis: dr. Maruarar Panjaitan, SpOG 15:21 WIB | Kamis, 07 Mei 2015

Hak Hidup versus Hukuman Mati dari Sudut Pandang Dokter

Ilustrasi hukuman mati. (Foto: Dok Satuharapan.com/gbcghana.com)

SATUHARAPAN.COM – Adanya rencana untuk melaksanakan hukuman mati bagi mereka yang telah diputuskan oleh pengadilan untuk menjalani pidana mati dalam waktu-waktu yang akan datang masih terdapat perbedaan pandangan yang “pro dan kontra” di antara masyarakat.

Paham “adil” bagi seseorang bisa juga dipersepsikan secara berbeda oleh berbagai orang tergantung penghayatan dan berdasarkan nilai-nilai standar yang dihayati oleh masing-masing orang. Dari segi perasaan/penghayatan bisa dianggap “adil” apabila orang yang “bersalah/melanggar aturan” harus dihukum atau diberi sanksi yang setimpal dari yang “teringan sampai yang terberat” sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan.

Paham “setimpal” itu sendiri tergantung dari nilai-nilai standar atau nilai hidup yang dianut oleh seseorang yang memberi penilaian. Mungkin seseorang menganggap setimpal apabila hukuman atau sanksi yang diberikan sepadan dengan akibat yang ditimbulkan oleh orang yang melakukan perbuatan kesalahan tersebut, misalnya tangan yang berbuat salah tangannya harus dipotong, seseorang menyakiti orang lain secara fisik maka harus diberi hukuman yang memberi perlakuan menyakiti juga secara fisik, atau apabila sampai menimbulkan kematian perlu dihukum secara setimpal dengan menghilangkan nyawa orang tersebut.

Sedangkan yang lainnya tidak menganggap hukuman itu harus sama seperti pembalasan, misalnya membunuh atau merampas nyawa orang lain harus dihukum dengan merampas nyawa atau membunuh pelaku (utang nyawa bayar dengan nyawa).

Dengan perkataan lain seseorang akan berbeda rasa adil yang dihayati, atau adalah sangat subjektif tergantung standar nilai hidup yang dihayati yang bersangkutan.

Naluri yang terkuat dari setiap makhluk bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan seseorang yang pada suatu waktu akan menemui ajalnya. Pemahaman hidup seseorang dalam hal ini ditinjau dari aspek biologis dan fisiologis tubuh manusia. Kita Bangsa Indonesia yang mempunyai dasar falsafah Pancasila yaitu percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna oleh Tuhan Yang Maha Esa, dengan demikian hidup seseorang sesungguhnya adalah anugerah yang berasal dari Tuhan yang menciptakan alam semesta, selanjutnya kehidupan seseorang itu akan berakhir berupa kematian pada waktu tertentu yang merupakan kodrat manusia. Bagi seseorang kapan waktu kematian itu datang secara alamiah tidak diketahui.

Karena kehidupan itu mempunyai nilai yang sangat tinggi, bahkan nilai hidup seseorang itu adalah milik/hak asasi seseorang yang tertinggi nilainya, sehingga berbagai upaya dilakukan manusia untuk memelihara dan memperpanjang hidup seseorang, yaitu antara lain melalui upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit, perbaikan dan peningkatan kesejahteraan, penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi, serta membuat berbagai peraturan perundangan oleh yang berwenang dengan tujuan untuk menghormati dan menghargai hidup seseorang.

Hakikat hidup orang sesungguhnya adalah merupakan hak hidup yang melekat pada diri seseorang sejak lahir dan yang didapat dari Sang Pencipta, dan kemudian hidup orang itu akan berakhir apabila diambil kembali oleh yang memberi, sehingga tidak boleh diambil oleh orang lain karena hak hidup orang itu bukanlah pemberian oleh manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna dari Tuhan Yang Maha Kuasa diberi anugerah memiliki akal budi, berpikir, perasaan cinta kasih, emosi dan nilai-nilai standar dan nilai-nilai spiritual dalam menjalani kehidupan.

Dari sudut pandang hidup insani, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan, dan pencegahan serta pengobatan penyakit, bangsa Indonesia menghormati nilai hidup yang sangat bernilai tinggi yang tercermin dari ketentuan untuk dokter sebagai petugas kesehatan, yakni bahwa setiap dokter yang bertugas di wilayah Republik Indonesia diwajibkan harus mengucapkan sumpah dokter yang dalam hal ini antara lain “akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan” (Lafal Sumpah Dokter sesuai dengan PP no 26 tahun 1960), dan setiap dokter “harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani” (pasal 7d, Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia, SK PB IDI no 22 /PB /A.4/04/2002).

Bangsa Indonesia juga menghormati dan menghargai hak hidup seseorang dan kehidupan nya sebagai Hak Asasi Manusia yang dilindungi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 ( yang telah diamandemen) yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A, UUD 1945)” dan “Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28 I, UUD 1945).

Nilai-nilai Pancasila sebagaimana tercermin dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, antara lain bahwa manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Hukuman Mati Sudah Tidak Layak di Wilayah Republik Indonesia

Sila kedua dari Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia, yaitu Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia menghargai hak hidup manusia secara adil dan beradab yang berarti berlaku bagi semua orang dan tidak membedakan derajat atau tingkat keberadaan orang tersebut.

Manusia yang beradab berarti adalah orang yang menghargai keberadaan manusia yang lain atau kehidupan seseorang yang lain atau menghormati hak hidup orang lain. Dengan demikian apabila ada pembenaran terhadap pembunuhan/perampasan nyawa manusia dengan alasan apa pun termasuk alasan keadilan adalah tidak sesuai dengan keberadaban manusia.

Dengan mengacu pada Undang-undang no. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 117 yang berbunyi: Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Dengan demikian hidup seseorang itu berakhir setelah seseorang dinyatakan mati.

Secara alamiah setiap orang akan mengalami kematian yang tidak dapat dicegah oleh manusia atau dokter yang betapa pun pintarnya. Kematian yang terjadi pada seseorang, secara manusiawi dihargai dan dihormati dengan berbagai upacara sesuai dengan penghayatan nilai spiritual/keagamaan, nilai falsafah dan adat istiadat masyarakat bangsa.

Apabila kematian itu terjadi akibat dari tindakan/perbuatan seseorang atau kelompok atau diri sendiri atau penguasa, kejadian ini tentu tidak alamiah/ tidak wajar, misalnya tindakan merampas nyawa orang atau pembunuhan, bunuh diri atau hukuman mati. Hukuman mati atau pidana mati adalah termasuk hukum positif yang masih berlaku di negara Republik Indonesia sesuai dengan pasal 11 KUHP yang berbunyi “Pidana mati dijalankan di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”

Dalam pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati tersebut secara logika atau akal sehat dapat diartikan atau dipahami sebagai “pembunuhan” terhadap orang/terpidana tersebut secara sengaja atau direncanakan yang dibenarkan oleh orang lain ataupun Negara. 

Sehingga dari segi moral dan logika sehat terdapat suatu “kontradiksi” yaitu ketidakserasian/selaras antara paham mengakhiri kehidupan/hidup seseorang secara paksa/merampas nyawa orang (dengan perbuatan kekerasan atau tindakan tertentu) yang masih dibenarkan, jika dihadapkan dengan paham penghormatan terhadap hak hidup seseorang sebagai Hak Asasi Manusia yang dilindungi dalam UUD 1945 dan sesuai dengan falsafah Pancasila dari bangsa Indonesia.

Apabila hukuman mati/pidana mati itu ditafsirkan sebagai hukuman yang terberat, yaitu sebagai hukuman “sampai mati” dengan arti bahwa terpidana mati tersebut dihukum sampai mati atau “sampai ajalnya tiba”, atau dia meninggal dengan sendirinya tanpa dilakukan tindakan untuk merampas nyawanya secara paksa atau dia tidak dibunuh oleh petugas/algojo yang ditugaskan.

Dalam hal ini dari sudut pandang hukuman “sampai mati”, paham ini adalah sebanding dengan hukuman seumur hidup atau selama dia masih hidup tetap dihukum/dipidana, sehingga jika ditinjau dari pandangan berat-ringannya hukuman yang ditimpakan terhadap terpidana, maka hukuman mati atau hukuman sampai mati atau hukuman seumur hidup atau hukuman selama terpidana hidup adalah sebanding atau sama beratnya.

Perbedaannya adalah dalam hal perlakuan terhadap terpidana sebagai manusia, yaitu pidana mati dengan cara merampas nyawa secara paksa atau melakukan pembunuhan terhadap terpidana yang tidak sesuai dengan paham penghormatan atas hak hidup orang/Hak Asasi Manusia, sedangkan hukuman seumur hidup/selama hidup atau hukuman sampai mati (yang bukan karena dirampas nyawanya secara paksa/dibunuh) yang berarti tidak melanggar terhadap paham penghormatan hak hidup orang/Hak Asasi Manusia.

Dengan pandangan dan paham nilai hidup yang diutarakan di atas, pemberlakuan pidana mati yang tidak sesuai dengan falsafah Pancasila, dalam hal ini sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana yang tersirat dan tersurat di dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah tidak cocok untuk bangsa Indonesia, dan berdasarkan penghormatan terhadap nilai hidup orang dan hak hidup orang/Hak Asasi Manusia yang sangat dihormati dan dilindungi di bumi persada Indonesia, sudah selayaknya “hukuman mati” tidak diberlakukan lagi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tercinta.

Maruarar Panjaitan, Dosen Bagian Ilmu Kebidanan & Penyakit Kandungan FK.UKI, Jakarta; dokter di RS PGI Cikini


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home