Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 23:49 WIB | Kamis, 18 Februari 2016

Indriyanto: Revisi UU KPK di DPR Beda dengan Masukan Kami

Mantan Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji, membantah ada gentleman agreement (kesepakatan tidak tertulis) antara pihaknya dengan pemerintah terkait revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada tahun 2015 silam.

Menurutnya, empat poin gentleman agreement yang dimaksud oleh Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, merupakan jawaban jajaran pemimpin KPK yang saat itu diketuai oleh Taufiequrrahman Ruki kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebab, saat itu, seluruh pemimpin lembaga antirasuah diminta pendapat oleh pemerintah.

“Saat kami menjadi pelaksana tugas, kami memberikan jawaban kepada pemerintah,” kata Indriyanto kepada satuharapan.com, di Jakarta, hari Kamis (18/2) malam.

Inti dari jawaban yang diberikan kepada pemerintah, dia menjabarkan, KPK menolak revisi UU KPK dan menganggap UU KPK yang ada masih sangat kondusif untuk digunakan.

Dia menambahkan, UU yang justru perlu diharmonisasi terlebih dahulu adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kutab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyesuaian ketentuan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003, dan penyusunan Rancangan UU Perampasan Aset dan Illicit Enrichment.

Namun kini, kata dia, arah revisi UU KPK yang kini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, berlawanan arah dengan empat poin yang menjadi jawaban pihaknya kepada pemerintah. Menurut Indriyanto, DPR justru terlihat ingin melemahkan KPK.

“Empat poin masukan kami ini ternyata sangat berlainan dengan versi revisi UU KPK dari DPR. Berdasarkan yang saya amati justru revisi UU KPK sekarang memperkuat ‘pelemahan’ KPK,” katanya.

Misalnya, terkait penyadapan, kata Indriyanto, dulu pihaknya menginkan kewenangan tersebut tetap diberikan kepada KPK tanpa perlu meminta izin kepada pengadilan terlebih dahulu. Kemudian, pihaknya juga ingin penyidik dan penyelidik di internal KPK yang tidak berasal dari Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Selanjutnya, ucap dia, terkait kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diberikan, KPK ingin sifatnya terbatas dan pengecualian saja, misalnya tersangka meninggal dunia atau unfit to stand trial pada proses pra-ajudikasi.

Sementara, terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK, Indriyanto menilai yang tepat adalah hanya mengawasi etika pemimpin KPK tanpa ikut campur masalah teknis operasional dan yuridis KPK.

“Namun ternyata semua poin yang dimunculkan versi DPR sudah menyimpang dari masukan-masukan awal KPK. Jadi harus bahwa pemimpin KPK periode kemarin sudah secara resmi telah menolak revisi UU KPK,” kata Indriyanto .

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, mengungkapkan ada gentleman agreement terkait revisi UU KPK antara pemerintah dan Pelaksana tugas (Plt) Pemimpin KPK yang saat itu diketuai Taufiequrachman Ruki.

Menurut Laode, kesepakatan yang diambil sebelum pemimpin KPK periode 2015-2019 dilantik itu mencakup empat poin. Pertama, KPK diizinkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Kedua, penyadapan boleh dilakukan KPK tanpa izin ke pengadilan terlebih dahulu. Ketiga, pembentukan dewan pengawas etika. Kemudian yang terakhir, KPK diberikan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Sebelum kami terpilih, ada namanya gentleman agreement antara pemerintah dan Plt pemimpin KPK soal revisi UU KPK. Saat itu disepakati empat poin,” kata Laode dalam acara Seminar dan Diskusi Publik 'Pemberantasan Korupsi yang Memberikan Efek Jera' dalam rangka perayaan hari ulang tahun pertama Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jalan Rasuna Saif, Jakarta Selatan, hari Kamis (18/2).

Menurutnya, keberdaan kesepakatan tersebut baru diketahui jajaran pemimpin KPK periode 2015-2019 setelah dilantik. Namun, kata Laode, pihaknya diizinkan untuk menolak kesepakatan tersebut, bila menilai empat poin yang nantinya dituangkan dalam revisi UU KPK justru melemahkan lembaga antirasuah.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home