Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 16:43 WIB | Kamis, 07 Mei 2015

Investor Mulai Ragu Bantu Indonesia

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memasuki mobil seusai memenuhi panggilan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (6/5). Pertemuan tersebut terkait melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai angka 4,7persen pada kuartal I/2015. (Foto: Antara/Andika Wahyu)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Anthonius Tony Prasetiantono mengatakan bahwa salah satu faktor mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kuartal pertama 2015 mencapai 4,7 persen adalah karena para investor mulai ragu dengan laju pemerintahan Indonesia yang saat ini masih goyah karena isu politik.

“Mereka (investor) akan mengeksekusi investasinya jika pemerintahan Indonesia kuat karena saat ini pemerintah masih berkutat dengan KPK dan Polri sehingga mereka menahan uang di bank,” kata Tony dalam Seminar Economic and Business Outlook 2015: Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Tak Terhindarkan di Raffles Hotel Kuningan Jakarta Selatan, Rabu (6/5).

“Akhirnya uang mereka menumpuk di bank sehingga bank sudah mulai kelebihan likuiditas. Funding itu mudah didapat tetapi mau landing sulit. Dunia usaha tidak confidence, bank-nya juga ngerem. Akibatnya pertumbuhan kredit sekarang ini paling tidak 10 persen di bawah perkiraan kredit BI dan OJK sekitar 14 persen.”

Selain itu, lanjut dia, dari sisi pemerintah memang sudah kebiasaan spending pemerintah atau belanja pemerintah itu lambat dan penyerapannya rendah. Karena saat ini pemerintah masih memusatkan perhatiannya kepada pemberantasan korupsi sehingga fleksibilitas itu terganggu.

Faktor lain dari sisi pemerintah adalah Presiden Joko Widodo mengubah struktur pemerintah yang menimbulkan konsekuensi pada perubahan nomenklatur. Tapi, kata dia, ternyata menimbulkan konsekuensi lambatnya penyerapan anggaran sehingga kuartal pertama ini sangat buruk.

Sedangkan jika dilihat dari faktor internal adalah struktur ekonomi kita yang masih tergantung pada primary products seperti kelapa sawit dan batu bara. Sebesar 50 persen ekspor Indonesia bergantung dari sektor tersebut. “Mestinya kita harus berubah haluan lebih kepada manufaktur. Ekonomi Asia Timur bisa kuat karena manufaktur. Contohnya seperti, Korea, Taiwan, Jepang. Oleh karena itu, kita butuh anggota kabinet yang punya visi dan strategi yang baik melalui perindustrian. Ini untuk perencanaan jangka panjang,” kata dia.

Kemudian, tambah dia, untuk jangka pendek antusias Jokowi terhadap pembangunan infrastruktur akan memerangi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyayangkan bagaimana pemerintah DKI Jakarta menganggarkan program belanja UPS senilai Rp 6 miliar untuk sebuah sekolah dengan total pengeluaran untuk kebutuhan lainnya mencapai Rp 12,1 triliun. Dia beranggapan bahwa dengan dana yang besar itu sebenarnya pemerintah dapat membangun infrastruktur seperti bandara atau pelabuhan.

“Sekarang bandara Kualanamu hanya menghabiskan Rp 5,6 triliun. Dengan anggaran Rp 12,1 triliun itu sebenarnya Indonesia bisa bikin 2 bandara Kualanamu. Jadi saya bingung. Di satu pihak kita tidak punya uang untuk membangun sarana, di lain pihak bisa bikin UPS itu.”

Sedangkan dari sisi swasta, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor makanan itu masih stabil karena permintaannya tidak berkurang baik saat krisis maupun tidak. Namun, di sektor non-pangan, permintaan turun. Contohnya adalah mobil. Tony mengungkapkan bahwa alasannya adalah konsumen merasa membeli mobil itu bukanlah prioritas dan melemahnya rupiah cenderung membuat permintaan membeli mobil itu berkurang.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home