Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 04:40 WIB | Senin, 09 Mei 2016

Menghargai Minoritas, Butuh Keberanian

Mereka menghargai orang lain tanpa ada ketakutan bahwa kelebihan orang lain akan dimanfaatkan untuk melemahkan mereka.
Benjamin Franklin (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Judul di atas mungkin terkesan aneh. Bukankah minoritas selalu kalah? Menghargai minoritas tidak butuh keberanian. Minoritas itu tidak punya kekuatan,  maka  power sedikit saja cukup untuk menguasai minoritas. Lihat saja contoh-contoh berikut.

Anak kecil adalah minoritas. Sebab mereka masih kecil dan belum berakal bulus, maka mudah diperdaya orang dewasa. Mereka amat  takut pada orangtuanya, gurunya atau kakak kelasnya yang otoriter. Mereka bahkan bisa dirundung atau disiksa selama bertahun-tahun, bahkan ada yang dibunuh, oleh orangtuanya. Mereka, atau orang dewasa lainya tak bisa berbuat apa-apa.

Perempuan adalah minoritas di mata banyak kultur di muka bumi ini. Sebab secara fisik perempuan biasanya lebih lemah. Namun, sebaliknyalah yang sering terjadi, perempuan dirundung bahkan sampai mengalami kekerasan fisik, tanpa mereka bisa berbuat apa-apa.

Anak buah di kantor adalah minoritas. Jika subordinat menggantungkan nasib asap dapurnya pada penghasilan kantor, tentu atasan harus diperlakukan hati-hati agar tak ada ancaman demosi atau sanksi  bagi bawahan akibat ketidakpatuhan pada atasan.

Mereka yang miskin sering menjadi minoritas di tempat tinggal mereka sendiri. Kuasa harta memang luar biasa besarnya sehingga bisa ”membeli” yang miskin demi keuntungan yang kaya. Ketika orang sudah dibeli, utang budi bahkan bisa dibayar nyawa. Mereka yang miskin dikuasai yang kaya karena tak memiliki power harta itu.

Suku bangsa asli sering menjadi minoritas di tanah airnya sendiri. Tengoklah suku Indian di Amerika atau suku Aborigin di Australia yang keberadaannya terdesak oleh pendatang yang lebih cerdik dan terdidik, Mereka akhirnya menjadi golongan yang terpinggirkan.

Agama juga kerap menimbulkan akibat yang satu merasa mayoritas terhadap yang lain. Contoh yang terjadi di dunia cukup banyak, termasuk di Indonesia, India, Myanmar, dan banyak tempat lain. 

Tidak perlu keberanian untuk menekan minoritas. Cukup dengan menunjukkan kuasa, maka minoritas akan tunduk dan patuh. Berani menghadapi yang lemah tidak butuh keberanian.  Dukungan pasti akan diperoleh dari sesama mayoritas yang menginginkan agar minoritas tak mengganggu kenyamanan mayoritas.

Namun, coba ditelaah nilai moral apa yang tampak dalam situasi-situasi itu.  Sesungguhnya, mereka yang menekan minoritas adalah para pengecut yang hanya berani melawan yang lemah.  Para pengecut itu, para orangtua yang menyiksa anaknya, para suami yang memperlakukan istrinya dengan kekerasan,  para atasan yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menekan bawahannya, para orang kaya yang memperlakukan orang kelas bawah dengan semena-mena, suku bangsa mayoritas yang semakin meminggirkan suku bangsa asli, pengikut agama mayoritas yang tidak membolehkan agama minoritas beribadah, sesungguhnya semata ingin bertahan di zona nyaman. Mereka takut kehilangan kenyamanan jika para minoritas mendapatkan posisi mayoritas dan ganti menekan mereka.

Sekalipun demikian, harapan masih ada jika punya kesediaan membuka diri, melihat dari sisi berbeda. Memang tidak mudah karena untuk menghargai minoritas dibutuhkan keberanian: keberanian untuk menghadapi kemungkinan ditekuk balik oleh mereka yang minoritas, keberanian untuk dicerca oleh sesama mayoritas karena tidak memperlakukan minoritas sesuai posisinya. Keberanian untuk menjadi berbeda dari orang lain sesama mayoritas. Keberanian untuk mempertanggunjawabkan sikap berlawanan dengan kebanyakan mayoritas. Keberanian untuk kehilangan respek di mata mayoritas.

Seberapa pentingnyakah semua itu? Benjamin Franklin, presiden AS di abad ke 18, juga salah satu pendiri negara Paman Sam, berpandangan  bahwa bahkan orang yang berhati paling buruk sekalipun,  masih memiliki rasa hormat terhadap kebenaran. Jika penghormatan dari Yang Empunya kehidupan dinilai lebih penting ketimbang penghormatan  dari manusia, maka hampir pasti sikap yang dipilih adalah keberanian untuk membela kebenaran, bukan mencari zona nyaman.

Pada akhir April lalu keberanian seperti itu juga ditunjukkan anggota Pemuda Ansor saat mengusung peti jenazah Mgr Hilarius, Uskup Bangka Belitung. Bagi pemuda Ansor, respek kepada sesama tidak perlu membedakan status sosial maupun agama. Mereka tak khawatir akan kehilangan kehormatan. Sama seperti Mahatma Gandhi, mereka meyakini bahwa sesungguhnya tidak pernah ada seorang pun yang kehilangan penghormatan atas dirinya kecuali ia sendiri memberikannya.  Mereka memiliki keyakinan diri tanpa menyombongkannya, mereka menghargai kelebihan orang lain tanpa ada ketakutan bahwa kelebihan orang lain akan dimanfaatkan untuk melemahkan mereka.

Menghormati minoritas membutuhkan keberanian untuk rendah hati tanpa menjadi rendah diri.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home