Loading...
INDONESIA
Penulis: Kris Hidayat 19:26 WIB | Jumat, 04 April 2014

Noah: Menafsir Sabda dengan Kreativitas

Salah satu adegan dalam film Noah. (Sumber: imdb.com)

JAKARTA,SATUHARAPAN.COM - Indonesia akhirnya resmi melarang peredaran film Noah. Keputusan ini resmi dikeluarkan Lembaga Sensor Film pada Jumat 21 Maret 2014. Sebelumnya, film tentang Nabi Nuh ini juga mengundang penolakan dari penganut Kristen, Yahudi dan Islam.  Film ini di berbagai negara menjadi perdebatan karena dinilai menyimpang dari cerita kitab suci. Dalih ini juga dipakai Lembaga Sensor Film. Cerita Noah yang tidak sesuai dengan kitab suci berpotensi menimbulkan gejolak antar umat beragama.

Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua Komisi  Lembaga Sensor Film Djamalul Abidin. Menurutnya, lembaga yang dia pimpin berpegang teguh kepada azas manfaat dan sesuai dengan undang-undang perfilman yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah no 18 tahun 2014. “Setelah kita kaji memang film Noah ini tidak sesuai dengan cerita dalam kitab suci. Makanya kita larang,” ujar Abidin.

Film yang dibintangi actor Russel Crowe ini bercerita tentang kisah Nabi Nuh dan bencana air bah yang dipercaya oleh tiga agama samawi yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Karena dianggap menyimpang, menurut Djamalul Abidin film tersebut tidak layak ditayangkan di Indonesia yang masyarakatnya heterogen. “Nanti bisa meresahkan masyarakat,” tegasnya. Menurut dia, tidak semua masyarakat Indonesia bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang sabda dalam kitab suci.

Djamalul Abidin tidak main-main dalam mengambil keputusan tersebut. Dia mengaku telah melibatkan seluruh perwakilan agama dalam mengambil keputusan penolakan tayang itu. “Dalam LSF kan ada perwakilan dari tiap agama juga,” jelas dia.

Pendapat lain datang dari Hestu Saputra, seorang sutradara yang pernah mencuat dengan karyanya “Cinta tapi Beda”. Menurut Hestu, dia tidak terlalu peduli dengan penolakan film Noah. “Selama itu bukan film saya atau film nasional, saya sebetulnya tidak terlalu concern,” ujarnya. Namun kata dia, seorang seniman baik itu sutradara, aktor maupun seniman lainnya harus tahu khalayak dari karya seninya. “Dia juga harus tahu bahwa karyanya mungkin akan bersinggungan dengan agama atau kultur yang ada,” jelasnya.

Meski demikian, dia berpendapat bahwa LSF seharusnya menyerahkan keputusan akhir pada khalayak. “Sperti kasus film saya ‘Cinta tapi Beda’ itu kan sebetulnya sudah lolos sensor tapi ditolak masyarakat. Jadi sebetulnya saya percaya dengan kompetensi dari LSF,” kata Hestu.

Lain lagi dengan pendapat dari Sejarawan Agama Iones Rakhmat. Menurut Iones, masyarakat seharusnya memandang film Noah sebagai hiburan imajinatif semata. “Lagipula film tersebut bukanlah suatu dokumenter dari sabda dalam kitab suci,” jelas Ionas. Menurut dia, dalam kitab perjanjian lama Yahudi, kisah nabi Nuh tidak terlalu detail diceritakan. “Hanya diceritakan dalam 4 pasal. Jadi mana mungkin 4 pasal dapat dikembangkan menjadi film berdurasi sekitar dua jam,” demikian penjelasan Ionas.

Iones menambahkan, fragmen kisah nabi Nuh dan hikayat tentang sir bah dalam tiga kitab suci umat Samawi (Alquran, Al ktiab, serta kitab perjanjian lama) bisa multitafsir. “Layaknya sejarah. Multitafsir. Tergantung dengan bukti pendukung yang didapat saat ini,”ujarnya. Di sisi lain, menurut Iones masyarakat hendaknya tidak menafsirkan sabda Tuhan secara literal saja.

Penolakan di berbagai negara pada akhirnya tidak akan menyurutkan niat orang untuk menonton film arahan Darren Aronofsky itu. Di beberapa negara yang menolak pemutaran film Noah adalah kalangan Kristen Konservatif. Masyarakat menurutnya tidak harus terlalu mempermasalahkan film Noah. “Toh dulu ada film Da Vinci Code yang isinya menyerang umat Kristen tapi toh tidak apa-apa di masyarakat,” kata Ionas Rahmat. (portalkbr.com)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home