Loading...
BUDAYA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 14:46 WIB | Rabu, 03 Februari 2016

"Orang Berpengetahuan Tak Harus dari Sekolah"

Diskusi Publik Serial dengan tema “Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern”, di Unika Atma Jaya Jakarta, hari Selasa (2/2), menghadirkan pembicara Risa Permanadeli (kedua dari kanan). (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Representasi sosial perempuan Jawa di era modern salah satunya adalah melihat bahwa orang berpengetahuan tidak hanya karena mengenyam pendidikan di sekolah, tetapi bahwa orang berpengetahuan adalah yang bertumbuh nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Risa Permanadeli, alumnus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tahun 1987, berkaitan dengan peluncuran bukunya yang berjudul Dadi Wong Wadon, di Unika Atma Jaya Jakarta, pada hari Selasa (2/1), mengadakan Diskusi Publik Serial dengan tema “Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern”.

Diskusi yang dihadiri Rektor Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, mahasiswa, dosen, dan awak media itu, juga menghadirkan dua pembahas, yakni Maria Hartiningsih, wartawan senior di salah satu media di Indonesia, dan dosen senior Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nani Nurrachman.

“Kesulitan berasal tidak hanya dari menerjemahkan teks, tapi juga dari menerjemahkan gagasan. Saya melakukan penelitian tentang bagaimana masyarakat saya, terutama masyarakat Jawa, dalam bagaimana menerjemahkan gagasan, yaitu gagasan tentang modernitas,” kata Risa saat membuka diskusi bukunya.

Risa yang menempuh S3 Jurusan Psikologi Sosial di Ecole Des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, mengakui ketika dia memilih tema tersebut sebagai disertasi, sebetulnya sadar di depan akan menemui banyak tantangan besar yang bisa saja menghadang langkahnya.

“Saya dalam keadaan sangat sadar bahwa saya sedang menantang bukan hanya buaya, tapi raksasa, karena modernitas sepenuhnya adalah properti (produk) dari masyarakat Barat dan saya mempersoalkan masalah tersebut,” ujar Risa.

Produk dari masyarakat Barat yang disebutkan oleh Risa, 100 persen diimpor lengkap dengan model serta SOP-nya (oleh perempuan Jawa), kemudian hal itulah yang dianggap Risa sebagai tantangan besar. Sebab, dia mempertanyakan hal itu melalui praktik perawatan tubuh dan konsumsi produk kecantikan perempuan Jawa, padahal secara konteks apa pun tidak ada kaitannya dengan masyarakat Barat.

“Jadi, saya menantang raksasa dengan menghadirkan satu profil masyarakat dan data yang tidak ada kaitannya dengan dunia di mana raksasa itu tumbuh. Dalam perjalanan untuk bertemu dan menantang raksasa tersebut, setiap saat saya selalu dihadapkan dengan kenyataan. Ternyata apa yang saya pikirkan dan temui di lapangan itu selalu dimentahkan kembali karena raksasa ini raksasa pikiran yang memiliki kategori yang terbukti berhasil menjadikan mereka masyarakat modern," katanya.

"Kemudian, ketika saya datang membawa kategori ini selalu dimentahkan karena tidak kaitannya dengan modernitas. Jadi kategori yang saya bawa dari kenyataan yang paling nyata pada masyarakat saya (perempuan Jawa) itu bergeming. Tantangan saya berikutnya adalah bagaimana membuat seluruh kenyataan pada masyarakat saya bisa saya sampaikan pada masyarakat lain yang sudah hidup dengan modernitas selama hampir lima abad,” Risa menambahkan.

Dikatakan oleh Risa, dia menulis disertasinya pada akhir abad ke-20, pada saat masyarakat bukan hanya menjadi modern, mereka bahkan sudah menjadi bosan dengan modernitas. Mereka berada pada satu fase yang dalam dunia akademik disebut dengan postmodern.

“Sementara, masyarakat yang saya ambil datanya, di satu sisi dianggap berhasil pada dua dekade, tahun 1970 hingga tahun 1980. Mereka dianggap menjadi murid yang baik dari modernitas dan seluruh model pembangunan untuk menjadi modern, tetapi kemudian bangunan itu runtuh pada akhir abad ke-20,” ujar Risa.

Pada awal penulisan bukunya, Risa menyatakan sebenarnya hanya ingin mengamati konsumsi produk kecantikan buatan luar negeri, yang oleh sebab itu kini hanya ada pada di bagian terakhir bukunya. “Tetapi, di Paris saya bertemu dengan teori representasi sosial. Saya belajar teori ini. Saya membayangkan awalnya saya ingin tahu kenapa orang mengkonsumsi produk kecantikan harus buatan atau produk luar negeri," ujarnya.

Pada tahun 1990, ada satu sosiolog, bernama Richard Robinson, yang mengatakan ada proses Mcdonaldisasi di Asia karena orang Asia yang ekonominya sedang sulit tiba-tiba mengadopsi seluruh gaya hidup Barat dan buku Richard Robinson mengatakan bahwa masyarakat Asia merasa minder sehingga mengambil apa saja.”

Risa yang merasa tidak terima dengan asumsi tersebut, kemudian menggunakan teori representasi sosial untuk membantunya mengurai nalar yang melatarbelakangi sudut pandang Robinson.

“Walaupun babak belur, saya terus mencari tahu, karena menurut saya, pasti ada nalarnya sendiri,” ucap Risa.

Risa menemukan ruang sosial dan kultural yang bernama Jawa, dan ruang itulah yang dia pelajari sehingga dapat juga menghadirkan bukunya.

“Saya berharap dari ruang tersebut kita bisa menjawab sejumlah pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan teori yang muluk-muluk, yang dipelajari di universitas. Saya akan mencoba untuk mengajak menengok satu ruang pengetahuan yang dikembangkan oleh perempuan-perempuan Jawa. Dalam ruang inilah sebenarnya perempuan merumuskan modernitas,” tutur Risa.

Menurut pembacaan dan pemahaman Maria Hartiningsih terhadap buku Risa, sebenarnya Risa menggugat kategori analisis yang digunakan dalam wacana feminis Barat untuk mendefinisikan perempuan di negara berkembang dan memperlakukan perempuan sebagai konsep abstrak tanpa darah daging kultural. Wacana universal telah mengikat keragaman suara perempuan dan mereduksi yang partikular.

“Buku ini juga memperkaya wacana feminisme multikultural yang tidak banyak mendapatkan tempat, padahal sebenarnya Indonesia justru harus mengembangkan wacana feminisme ini. Lewat penelitian ini, Risa menolak bias-bias kategorial dalam wacana feminisme Barat. Buku ini menantang feminis untuk berpikir dan keluar dari teori-teori yang digunakan membedah situasi dan kondisi yang dinilai menindas perempuan," kata Maria.

"Di dalam buku itu tidak ada satu pun istilah gender, dominasi, patriarki, pembagian ruang kerja, oposisi biner, ideologis, dan istilah-istilah lain yang lazim digunakan dalam kajian feminis. Sebaliknya, berbagai istilah yang dianggap basi seperti harmoni, kodrat, dan lain-lain, muncul sebagai pokok bahasa,” dia menambahkan.

Maria menilai, judul buku Risa seperti mengamini posisi pasif perempuan, tapi dalam Bahasa Jawa istilah "dadi wong" itu berarti "dalam proses menjadi" (aktif dan dinamis). Pilihan kata wadon bukan wedok, berdasarkan studi semantik bersifat konotatif, yang dalam hal ini artinya positif. Dan juga terbaca dari gambar sampul buku yang menampilkan Dewi Saraswati, satu-satunya Dewi dari tiga Dewi utama dalam Agama Hindu yang berlengan empat.

Dewi Saraswati dalam tradisi Agama Hindu dikenal sebagai Dewi cantik yang berwibawa dan pelindung ilmu pengetahuan. Lengan-lengannya memegang benda-benda yang bersifat simbolik dan bermakna filosofis tentang alam semesta dengan delapan penjuru angin, dan tentang keindahan spiritualitas dan hakikat kesucian dari ilmu pengetahuan. Dengan simbol-simbol itu bisa dikatakan ilmu pengetahuan bersifat feminin sejalan dengan pemaparan dalam buku ini, yang mengungkap bagaimana kehidupan diolah oleh energi feminin perempuan. Buku ini mengurai satu kenyataan yang banyak diabaikan dalam kenyataan sehari-hari, tapi melalui pendekatan representasi sosial hal itu memainkan peran sebagai alat interpretasi atas semua elemen yang hadir dalam kenyataan.

“Bagi saya, Dadi Wong Wadon merupakan olah pikir yang tetap dengan disiplin barat yang rasional, tapi tidak lantas membenturkannnya dengan sesuatu yang bersifat sangat primordial dalam diri penulisnya sebagai orang Jawa. Melalui penelitian Risa, kita memasuki dunia spiritual Jawa yang tidak bersifat klenik, tetapi merupakan pengetahuan bawah sadar yang dimaknai secara rasional sehingga menjadi kekuatan untuk menanggapi serbuan pengaruh dan dampak dari modernitas yang diciptakan oleh proses pembangunan,” ujar Maria.

Ada dua hal penting yang menjadi pusat kehidupan masyarakat Jawa menurut buku ini, yakni praktik ritual selametan (selamatan) beserta penataannya dan srawung (pergaulan).

“Praktik ritual selametan dan srawung sangat khas Jawa. Dua hal ini menguakkan dunia batin manusia perempuan. Manusia memainkan peran yang mengaburkan batas-batas publik, privat, bahkan melakukan pendefinisian, misalnya tentang masyarakat. Dalam budaya Jawa, kekuatan jangkar kultural juga terjaga di dalam rumah tangga. Perempuan Jawa durung dadi wong wadon dan belum menyatu dalam dunia Jawa jika belum srawung. Srawung artinya tidak sekadar bergaul, tetapi merupakan mekanisme penghubung sosial yang bisa mengikat seluruh anggota masyarakat untuk menjaga prinsip-prinsip yang ada,” kata Maria.

Selain konsep selametan dan srawung, konsep sumeleh dan ngemong yang hampir tidak mendapat tempat dalam dunia modern, dalam penelitian Risa, mengungkapkan dua makna simbolis terkait relasi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Ruang sosial Jawa terpusat pada rumah tangga. Dunia batin manusia Jawa menempatkan perempuan sebagai pengemong laki-laki, maka perempuan dianggap lebih kuat, kekuatan yang bukan untuk menguasai tetapi untuk menerima kelemahan dan kerapuhan laki-laki. Kerapuhan laki-laki diartikan bahwa dia secara utuh menyerahkan diri kepada perempuan agar perempuan bisa menjaga keseimbangan dunia.

“Melalui penilitian ini, saya melihat bahwa selama ini kita seperti berlari mengejar kemajuan pembangunan, padahal seluruh ukuran kemajuan bukan oleh pembangunan dan segala indikator yang ditentukan oleh Barat. Roda pembangunan berlari kencang mengedepankan kompetisi dan melindas yang lambat. Kita ikut berlari agar bisa masuk ke dalam kereta bernama pembangunan dan menjadi anggota dari kelompok manusia modern. Dengan berlari kita tidak melihat sekeliling, bahkan kegiatan sehari hari pun akhirnya hanya dianggap sesuatu yang rutin dan tidak bermakna lagi. Kiblat kemajuan melalui pembanguanan adalah Barat, bukan masyarakat kita,” ucap Maria.

“Hidup sehari-hari memberi makna pada cara pandang kita berpikir, bermimpi, dan menjadi optimistis. Pengetahuan sehari-hari memang tidak pernah dianggap pengetahuan yang layak diberi label ilmiah. Namun, orang berpengetahuan bukan hanya karena orang itu bersekolah, tetapi karena dia hidup dengan lingkungannya. Teori ini bukan teori yang mudah diterima begitu saja karena rupanya ada yang salah dengan mentalitas pembangunan masyarakat Indonesia. Justru karena saya berpikir dengan cara Jawa, saya diterima masyarakat internasional. Tentu, bukan karena saya mengikuti cara pikir mereka. Saya memperlakukan teori representasi sosial juga dengan cara saya sendiri. Selama kita tidak menerima dan menghargai budaya kita sendiri, maka tidak akan ada kemajuan pembangunan,” kata Risa.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home