Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Kartika Virgianti 05:03 WIB | Senin, 21 April 2014

Palyja Hendak Dijual ke Asing

Acara Diskusi Publik: Menuju pengelolaan air yang Handal dan Terjangkau Bagi Penduduk Jakarta di Gedung Joeang 45, Jakarta Pusat, Kamis (17/4). (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Operator penyedia air bersih untuk Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, yaitu PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sebagian besar (51 persen) sahamnya dimiliki oleh perusahaan Prancis, Suez Environment. Dianggap merugi dan renegosiasi atau rebalancing kontrak pun gagal, sejak Oktober 2012, saham Palyja hendak dijual ke Manila Water.

Akan tetapi karena pihak PAM Jaya dan Gubernur DKI keberatan, maka ditugaskanlah PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta untuk membeli Palyja.

Ketika berbicara air di Jakarta, selalu ada dua masalah yang besar dampaknya bagi masyarakat. Pertama adalah tarif air yang dibayar masyarakat ke PAM Jaya selaku penyedia air. Kedua, imbalan (water charge) atau harga yang harus dibayarkan PAM Jaya ke konsorsium swasta, Palyja dan PT Aetra Air Jakarta.

“Tarif air di Jakarta ada tujuh kategori, misalnya, untuk kategori paling murah Rp 1.050 per meter kubik, sedangkan PAM Jaya harus membayar ke swasta sebesar Rp 7.300 per meter kubik, itu yang menjadi persoalan mendasar atas swastanisasi air ini,” kata Andreas Harsono selaku moderator acara Diskusi Publik: Menuju pengelolaan air yang Handal dan Terjangkau Bagi Penduduk Jakarta, di Gedung Joeang 45, Jakarta Pusat, Kamis (17/4).

Tiga Kali Renegosiasi Kontrak

Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, Sriwidayanto Kaderi, atau biasa disapa Pak Sri itu mengatakan asumsi awal pada waktu perjanjian atau kontrak dibuat, semuanya tidak seimbang.

“Pada tahun 1998 itu sudah ada denda kalau penjualan tidak mencapai target, di mana PAM Jaya harus menjamin keuntungan Palyja sebesar 22-25 persen per tahun,” ungkap Sri.

Sehingga pada tahun 2001 dilakukan renegosiasi pertama kali terhadap kontrak untuk perubahan, namun ternyata sulit. Perjanjian itu seharusnya ada win win solution, namun renegosiasi kembali bergulir menghasilkan perubahan untuk kedua kalinya terhadap perjanjian untuk tahun 2003-2007, tetapi masih tetap tidak ada titik temu. Akhirnya meskipun dalam kondisi yang tidak ideal tersebut, kerja sama tetap berjalan.

Tahun 2008 dilakukan rebalancing ketiga kalinya yang melibatkan PAM Jaya, Pemda DKI, DPRD DKI, sampai pemerintah pusat. Di situ terdapat perubahan yang signifikan termasuk terhadap target, tarif, dan water charge. Ternyata perubahan itu dirasakan tetap tidak memenuhi harapan, water charge naik terus sedangkan targetnya tidak tercapai.

Tahun 2009-2010 muncul gagasan harus renegosiasi kembali, untuk mengubah perjanjian bahwa yang selama ini semua risiko itu ada di PAM Jaya atau Pemda DKI, kemudian diubah dengan adanya pembagian risiko. Dalam prosesnya setelah renegosiasi itu, di satu sisi, PAM Jaya dengan Aetra bisa berjalan lancar, namun tidak dengan Palyja.

Hasil renegosiasi pertama, internal rate of return (IRR) atau pengembalian investasi yang tadinya 22-25 persen per tahun, dengan Aetra disepakati menjadi 15,82 persen.

Kedua, water charge yang tadinya tiap bulan selalu naik, kemudian disepakati kenaikan hanya tiap tahun dengan besaran 1,5 persen.

Ketiga, bahwa tidak ada kenaikan tarif baru yang ditetapkan oleh pemerintah.

Keempat, target teknis yang dulunya misalnya non revenue water/tingkat kebocoran air (NRW) yang tadinya di atas 30 persen, disepakati menjadi 25 persen.

Kelima, mengenai pendapatan telah disepakati dengan Aetra, di mana jika target tidak tercapai akan menjadi beban pihak kedua (Aetra), begitu juga defisit yang terjadi.

Semua kesepakatan itu bisa tercapai antara PAM Jaya dengan Aetra. Akan tetapi dengan Palyja, perubahan yang diinginkan PAM Jaya tidak bisa diakomodir oleh Palyja, proses rebalancing tidak ada titik temu.

Dari situ munculah gagasan pemilik saham, Suez Environment ingin menjual Palyja kepada pihak lain. Dari beberapa pihak yang ingin membeli, mereka memenangkan Manila Water.

Pemprov DKI dan PAM Jaya Tidak Setuju

Sesuai dengan isi perjanjian kerja sama (PKS), pembelian saham harus mendapat persetujuan dari PAM Jaya dan Pemprov DKI Jakarta, sehingga dilakukanlah due diligence (kajian) terhadap Manila Water maupun Suez Environment. Namun, ada syarat yang tidak bisa mereka penuhi, sehingga penjualan saham itu ditolak.

Dengan ditolaknya penjualan tersebut, kemudian Pemprov DKI melalui Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), menugaskan dua BUMD DKI yaitu PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan PT Pembangunan Jaya untuk membeli saham Suez. Lalu mengapa bukan PAM Jaya yang membeli saham Palyja?

“Langkah PAM Jaya telah tertahan dengan perjanjian kerja sama, di mana jika PAM Jaya yang mengambil alih, nilainya sangat besar. Perkiraan perhitungannya sebesar Rp 3,6-3,7 triliun. Tetapi kalau melalui BUMD yang masih berada di bawah kendali Gubernur DKI Jakarta, harganya jauh lebih rendah yaitu di bawah Rp 1 triliun. Inilah opsi B to B (business to business) yang akan diambil ke depannya,” kata Sri menguraikan.

Pemerintah Tidak Bisa Bantu

Selama ini perjanjian kerja sama bersifat tertutup, sehingga PAM Jaya, Pemprov DKI bahkan pemerintah pusat tidak bisa membantu percepatan pelayanan, karena terikat perjanjian. Sedangkan pelayanan air minum seharusnya juga bisa menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk pelayanan yang lebih luas.

“Jika nantinya setelah akuisisi saham Palyja, gubernur maupun pemerintah pusat akan kembali memiliki kewenangan dalam pengelolaannya, sehingga pelayanan menjadi jauh lebih cepat dan berkualitas, serta perbaikan infrastruktur berupa pipa-pipa sambungan untuk mengalirkan air bisa segera diperbaiki, dan instalasi pipa utama diperbaiki oleh pemerintah pusat, maka kerja sama ini yang akan dilaksanakan,” harap Sri.

Dikatakan juga oleh Sri, jika swasta yang mengelola air, profit adalah hal yang utama. Tetapi kalau pengendalian di bawah gubernur, profit itu akan diinvestasikan untuk program jangka panjang, yaitu dengan membangun banyak Instalasi Pengolahan Air (IPA) di lokasi lainnya dalam lima tahun mendatang. Misalnya bukan hanya dibangun di kawasan industri, tetapi juga di kawasan masyarakat berpenghasilan rendah, bahkan di luar Jakarta juga.

“Selama ini masyarakat miskin tidak bisa terlayani kebutuhan airnya melalui pipa, sehingga harus membeli air sangat mahal dari penjual air menggunakan gerobak dorong, sebesar Rp 30 ribu per meter kubik atau sebanyak 20 jeriken. Sedangkan air paling mahal seharusnya Rp 12.500 per meter kubik, dan harga air di pelabuhan Rp 14.000 per meter kubik. Tarif untuk masyarakat tidak mampu sebesar Rp 1.500, tarif itu juga termasuk untuk sosial seperti rumah ibadah,” jelas Sri.

Masyarakat Miskin Konsumsi Air Lebih Banyak

Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Budi Karya Sumadi menjelaskan mengenai adanya penelitian dari Universitas Atma Jaya, rata-rata masyarakat berpenghasilan rendah lebih besar pemakaian airnya dibanding masyarakat menengah ke atas, yaitu beda pemakaiannya mencapai 50 persen lebih besar.

“Masyarakat menengah ke bawah sekitar 10,5-11 meter kubik per hari di masing-masing rumah, sedangkan masyarakat menengah ke atas sekitar 7-8 meter kubik,” ucap Budi.

Sebagai informasi, dari 9,9 juta jumlah penduduk Jakarta, baru 4,4 juta yang terlayani kebutuhan airnya melalui pipa. Sedangkan sisanya dari air tanah maupun menggunakan sumur dangkal, dan orang ekonomi atas bisa pakai pompa yang harganya cukup mahal untuk menyedot air tanah.

Kendati demikian, penggunaan air tanah di Jakarta sudah menjadi hal yang tidak diperbolehkan lagi. Pasalnya, tanah Jakarta saat ini tengah mengalami penurunan permukaan, akibat air tanah yang terus digunakan tanpa adanya upaya mengembalikan air tanah tersebut.

“Dengan suplai air terbatas dan penaganan yang jelek, ini bisa membuat gap antara si kaya dan miskin. Tugas Jakpro dan Pembangunan Jaya walaupun tidak menyelesaikan, tetapi bisa mengurangi persoalan. Ke depannya PAM Jaya juga akan mendorong orang untuk bijak menggunakan air,” tutur Budi.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home