Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 03:10 WIB | Sabtu, 10 Juni 2017

Pameran Seni Rupa "Mata Ekologi", Eksperimentasi Musisi Kontemporer

Pameran Seni Rupa "Mata Ekologi", Eksperimentasi Musisi Kontemporer
Pameran tunggal "Mata Ekologi" 9 Juni - 9 Juli 2017 di TeMBi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis Km 8.4 Bantul. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran Seni Rupa "Mata Ekologi", Eksperimentasi Musisi Kontemporer
Kolaborasi Joseph Praba bersama Mujar Sangkerta dalam perform ilustrasi bunyi dengan eksplorasi gerak oleh Dwi Ningsih dan Nur dalam pembukaan pameran tunggal "Mata Ekologi" di TeMBi Rumah Budaya, Jumat (9/6) malam.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah dua hari sebelumnya di Studio Kalahan milik perupa Heri Dono membawakan performance "Kuda Binal", komposer musik kontemporer Joseph Praba  menggelar pameran tunggal bertajuk "Mata Ekologi" di TeMBi Rumah Budaya, Jumat (9/6) malam. Karya seni rupa Joseph Praba merupakan ekspresi kesadaran tentang interaksi antar makhluk hidup serta makhluk hidup dengan lingkungannya.

Pembukaan pameran diawali dengan penampilan Joseph Praba bersama Mujar Sangkerta dalam perform ilustrasi bunyi berkolaborasi dengan eksplorasi gerak oleh Dwi Ningsih dan Nur.

"Ketertarikan saya pada seni rupa berawal dari karya-karya abstrak-ekspresionis almarhum Zaini. Saya pernah mengontrak studionya (di Jakarta) selama dua tahun. Waktu itu saya mau belajar komposisi musik pada musisi kontemporer Slamet Abdul Sjukur. Saat tinggal di studio milik Zaini, saya malah lupa belajar musik. Saya melihat rak-rak di studio Zaini yang isinya drawing karya dia. Setiap malam saya ambil satu, saya perhatikan dan itu berlangsung sampai dua tahunan sekaligus ikut bantu-bantu perawatan karya-karyanya." kata Joseph Praba kepada satuharapan.com di sela-sela pembukaan pameran "Mata Ekologi" Jumat (9/6) malam.

Pada awalnya, ketertarikan Joseph Praba pada musik jazz sangat kuat. Ini dibuktikan Joseph dengan belajar musik jazz kepada Jack Body hingga tahun 1978 sebelum melanjutkan belajar piano dan komposisi selama tiga tahun di Selandia Baru.

"Saya dulu pernah bergabung di Elfa's. Saya pernah mengajar di sana, pegang Elfa's studio Jakarta. Itu yang membuat saya tergila-gila pada jazz." kata Joseph. Dalam perjalanannya, musik kontemporer menjadi pilihan Joseph dalam bermusik.

"Saya ingin belajar komposisi yang orang bilang avantgarde, ada yang bilang kontemporer. Pokoknya musik gaduh." jelas Joseph Praba.

Joseph berpikir, semua garapan apapun kalau memiliki struktur, ada alurnya, semua akan enak. Seni rupa, musik, karawitan, teater, (selama) strukturnya benar-benar diperhatikan (akan menghasilkan karya) yang enak (dan estetis). Joseph mencontohkan tanpa belajar dramatologi dasar tiba-tiba langsung memegang, bisa dipastikan pasti karya filmnya akan kacau. Di depan grand piano, Joseph Praba adalah salah satu komposer Indonesia yang handal.

"Biasanya kalo ada teman minta tolong mengisi acara, saya lihat (grand) pianonya dulu. Kalau tidak punya, biasanya saya minta disewakan, karena saya tidak punya (grand piano). mahal itu. Grand-piano gak perlu bagus. Senar-senarnya saya gantungi sekrup, pentil, potongan-potongan sandal supaya suaranya berbeda." kata Joseph menjelaskan eksperimen yang sering dilakukan dalam bermusik.

Dalam waktu dekat Joseph Praba berencana membuat konser dimana penontonnya adalah guru-guru matematika. Ini didasari pada eksperimen dari komposisi yang disusunnya bersumber dari rumus matematika yang diubah dalam bentuk bunyi.

"Sikap eksperimental ada dalam diri Josep Praba. Dengan latar belakang musisi dia mencoba berkarya seni rupa." kata Heri Dono dalam sambutan pembukaan di TeMBi Rumah Budaya, Jumat (9/6) malam.

Lebih lanjut Heri Dono menjelaskan bagaimana proses Joseph Praba berkarya seni rupa yang sesungguhnya memiliki latar belakang seni musik.  Ketertarikan atas permasalahan alam-lingkungan dalam hubungannya dengan manusia menjadi pijakan berkarya bagi Joseph Praba, dimana alam betul-betul dimuliakan dan Josep Praba mencoba memaparkan dari segi musiknya yang punya nuansa eksperimental dan eksplorasi, dan dari seni lukisnya.

Dalam sambutannya, Heri Dono juga memberikan kritik atas konsep-konsep seni modern yang berkembang dewasa ini. Heri Dono menganggap bahwa dunia seni rupa (di Indonesia dan Asia) sering didikte oleh negara-negara Barat untuk mengikuti konsep-konsep seni modern yang ada di sana tanpa melihat hubungan antara eksperimen, kerja eksperimen, maupun eksplorasi seni yang memiliki sifat-sifat kelokalan yang tidak harus melulu berasal dari barat.

Kritik itu didasarkan bahwa di Barat seni rupa dimulai dari seni lukis terutama aliran realis, sementara seni di Asia dimulai dari abstrak. Dengan mengambil contoh seperti yang ada di Sumba, atau tempat-tempat lain di Flores, semua berawal dari seni abstrak. Heri Dono mengilustrasikan bentuk-bentuk tikar yang ada sebenarnya lebih pada bentuk abstrak geometris. Di asia orang belajar melukis abstrak dulu baru belajar melukis realis.

Ini menjadi statement penting untuk meng-counter pendapat dari Barat terhadap (seni dari) Asia, karena fakta yang ada di Asia dianggap tidak memenuhi struktur. Di sini seolah chaos (tanpa struktur), namun justru tidak terjadi orang (mengalami) kebingungan. Semua mengerti dengan apa yang dilakukan dengan rasa. Logika rasa itu menjadi hal yang penting. Semua mengerti dengan apa yang dilakukan dengan rasa, papar Heri Dono.

Tentang pameran "Mata Ekologi", Heri Dono melihat dengan memuliakan alam dengan sumberdaya alamnya semisal biji-biji lokal sebenarnya merupakan ikhtiar melawan perang global dalam banyak perspektif, terutama yang berkaitan dengan ketahanan dan kedaulatan pangan sebuah bangsa.

Pameran tunggal "Mata Ekologi" akan berlangsung hingga 9 Juli 2017 di TeMBi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis Km 8.4 Bantul.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home