Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 01:03 WIB | Jumat, 27 Mei 2016

Penyintas Bom JW Marriott: Kunci Sembuh itu Mengampuni

Vivi Normasari, penyintas atau korban tragedi bom di Hotel JW Marriott Jakarta, menjadi narasumber dalam Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media. (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Berawal dari rasa amarah yang meluap-luap, tak terima, kecewa, dan pada akhirnya mengampuni. Dengan mengampuni, itulah kunci menjalani kehidupan, kunci kesembuhan.

Hal itu diungkapkan Vivi Normasari, salah satu penyintas atau korban selamat dalam tragedi bom JW Marriott Jakarta, dalam Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) di Jakarta, pada hari Kamis (26/5).

Vivi yang tergabung dalam YPI menyatakan telah memaafkan para pelaku bom yang telah membuatnya terluka secara fisik maupun psikis.

“Awalnya memang berat untuk bisa memaafkan orang-orang yang telah terlibat dalam aksi terorisme, apalagi untuk mengampuni dan bertemu langsung. Namun, melihat kesungguhan Pak Ali Fauzi Manzi untuk meminta maaf dan mengaku sangat menyesal, saya luluh. Terlebih saat melihatnya menangis di depan saya dan teman-teman YPI kala itu. Kami semua telah mengampuninya, hal itu yang cukup membantu kami menyembuhkan rasa amarah,” katanya.

Ali Fauzi Manzi merupakan warga negara Indonesia yang pernah menjadi pelatih teroris sekaligus ahli pembuat bom lulusan Akademi Militer kelompok pemberontak Islamis terbesar di Filipina Selatan, yakni Front Pembela Islam Moro (Moro Islamic Liberation Front/MILF).

Ali telah bertobat dan kini dikenal sebagai sosok yang sangat menentang segala bentuk terorisme dengan salah satunya tergabung dalam pergerakan membela nasib penyintas tragedi bom, termasuk mensosialisasikan anti terorisme kepada masyarakat.

Selain Vivi, AIDA juga menghadirkan beberapa penyintas lainnya dalam kesempatan itu untuk menyampaikan harapannya kepada pemerintah.

“Korban kekerasan terorisme tak hanya korban langsung, tapi juga ada korban yang tak langsung, yakni anggota keluarga yang ditinggalkan. Pemerintah sudah semestinya memberikan jaminan pendidikan untuk anak-anak korban bom. Selain itu, harus ada bantuan medis dalam bentuk terapi psikologis yang dijamin seumur hidup hingga korban benar-benar sembuh,” kata Eka.

Eka merupakan istri dari salah satu korban meninggal dalam Tragedi Bom Bali 1. Ia telah ditinggalkan suami, adik ipar, dan dua rekan suaminya.

Para penyintas tidak merasakan kesungguhan kehadiran negara di dalam penanganan pasca tragedi bom terjadi.

“Kehadiran negara dimana? Tidak ada,” ujar Nanda.

Nanda merupakan salah satu korban luka-luka dalam Tragedi Bom JW Marriott Jakarta.

Dikatakan pula oleh Nanda, keluarganyalah yang menanggung biaya pengobatan yang harus dikeluarkan kala itu.

“Justru pemerintah asing seperti Australia dan Belanda yang lebih peduli nasib kami,” ia menambahkan.

Mereka menyayangkan betapa lamban gerak pemerintah dalam mengakomodir kebutuhan korban yang mendesak seperti penanganan medis usai tragedi.

“Pemerintah sebaiknya mulai sekarang sudah mengatur standar dan prosedur penanganan korban dari aksi terorisme. Hal ini harus tegas agar para korban dapat terpenuhi hak-haknya tanpa harus lagi menahan sakit dan terlunta-lunta,” ujar Wahyu, salah satu korban luka-luka yang usai peristiwa Tragedi Bom JW Marriott justru mendapat bantuan medis dari Pemerintah Australia.

Wahyu juga menegaskan pentingnya pemberian jaminan medis secara psikologi melihat banyaknya korban yang mengalami traumatis berkepanjangan.

“Saya rasa luka psikis lebih parah dari luka fisik. Luka fisik dapat kering dan sembuh, tapi luka psikis siapa yang tahu? Oleh karena itu, saya harap pemerintah serius dalam hal ini,” ia menambahkan.

AIDA bersama YPI, dikatakan oleh Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, terus mengupayakan hak-hak korban terjamin dan diatur dalam UU Terorisme yang dalam waktu dekat akan direvisi oleh anggota dewan RI.

“AIDA ingin selalu mengampanyekan perdamaian dengan menggandeng penyintas serta mantan pelaku terorisme. Kami juga akan mengupayakan pemenuhan akan hak-hak korban dapat diperhatikan secara seksama oleh pemerintah. Selalu kami perjuangkan. Kami juga mohon dukungan rekan media untuk dapat menyajikan berita yang obyektif, dengan tak melupakan perspektif penyintas dalam isu terorisme,”  ujar Hasibullah.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home