Loading...
OPINI
Penulis: M. Saddam SSD Cahyo 00:00 WIB | Senin, 23 November 2015

Persimpangan Jokowi, Negara, dan Anak Dalam

SATUHARAPAN.COM - Terasa indah sekali melihat foto-foto yang merekam aktivitas Presiden Joko Widodo yang, dengan bersahaja, bercengkrama bersama beberapa warga Suku Anak Dalam. Begitulah adanya, Pak Jokowi pada Jumat 30 Oktober 2015 lalu menorehkan rekor sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama kali mengunjungi langsung warga SAD di tempat tinggalnya di pedalaman Jambi, tepatnya wilayah Air Hitam Kabupaten Surolangun. Bahkan untuk tujuan itu, ia harus menaiki helikopter Super Puma dilanjut perjalanan darat dengan mobil Landcruiser.

Inilah alasan yang memadai untuk menaruh hormat pada sosok Jokowi. Sejak awal karir politiknya, kepribadiannya nyaris tak berubah kecuali berkembang. Darinya kita bisa menatap sikap sahaja yang alami, berbeda dengan gaya mainstream elit-elit politik lainnya yang penuh kesan rekayasa dan dramatikal. Caranya yang lebih suka melakukan kerja lapangan untuk menatap realitas sedekat mungkin memang patut diapresiasi, sebab kita semua juga percaya itu salah satu trik jitu untuk memahami kenyataan.

Namun, bukan berarti Jokowi telah sukses menjelma pemimpin yang tanpa cacat dan bercela. Toh dalam satu tahun memimpin, muncul banyak kebijakan yang bukan hanya tidak populis dan disenangi rakyat, melainkan tidak dikehendaki dan malah memberatkan kehidupan rakyatnya. Fakta ini semestinya menyadarkan kita semua, betapa menjadi pribadi yang baik saja tidaklah cukup untuk mewujudkan kepemimpinan ideal bagi bangsa Indonesia yang sebesar ini.

Orang – Orang Kalah

Kembali ke pokok, informasi yang disiarkan oleh media massa menyebut bahasan utama dalam pertemuan singkat presiden dengan warga SAD, ialah tawaran rumah gratis dari negara agar mereka bisa hidup menetap. Ini memang bukan ide baru, sejak pemerintahan sebelumnya program pembangunan rumah tinggal bagi komunitas adat terpencil sudah bergulir. Tetapi justru di sinilah letak persoalannya, sepertinya dibutuhkan sebuah upaya peninjauan kembali yang lebih reflektif atas kebijakan ini.

Mirisnya, kedatangan Presiden kemarin ternyata bukan di pedalaman hutan alami, melainkan lahan perkebunan sawit milik korporasi. Diketahui bahwa sebelumnya Jokowi mendengar selentingan kabar adanya beberapa kelompok SAD yang melakukan tradisi Melangun, berpindah dalam waktu lama, namun karena areanya sudah berubah homogen, mereka menghadapi kesulitan bahan pangan dan air bersih hingga berakibat 11 orang diantaranya tewas. Sebab itulah negara menunjukkan itikadnya untuk hadir dan menjawab serta menuntaskan persoalan.

Tapi dalam perspektif James C. Scott (1985), apa yang sebenarnya dilakukan oleh warga SAD bukanlah sekedar berangkat dari naluri kehidupan nomadennya. Lebih dari itu harus dipahami sebagai bentuk perlawanan teramat nyata, yang disebut sebagai senjatanya orang-orang kalah. Cukup eksplisit rasanya bahwa memilih tinggal menetap di areal perkebunan sawit adalah ekspresi protes yang paling mungkin dilakukan, sekalipun bertanggung resiko kematian.

Harus disadari, sesungguhnya warga SAD adalah orang-orang yang telah dikalahkan. Kalah bukan hanya karena budayanya dikategorikan primitif yang penuh konotasi keterbelakangan bagi zaman modern yang berprinsip serba percepatan ini. Mereka kalah karena dipandang sebagai “the other” yang secara sengaja telah diabaikan eksistensi dan hak hidupnya. Sejak ratusan tahun lalu, ruang hidup sejatinya adalah belantara hutan rimba, yang kekayaan hayatinya selalu memadai kebutuhan berburu dan meramu.  

Sedangkan saat ini, ruang hidup itu sudah nyaris habis dikoyak oleh beringasnya ekspansi korporasi perkebunan. Bahkan jika masih ada yang sudi mengingat, dalam beberapa tahun belakangan tercatat sudah dua kali perwakilan dari beberapa kelompok SAD nekat melakukan aksi jalan kaki sampai Ibukota Negara, hanya untuk menuntut keadilan atas hak atas tanah ulayat mereka yang dikuasai oleh PT. Asiatic Persada. Seorang warganya yang bernama Puji bahkan harus tewas dalam keadaan terborgol sesaat setelah “diculik” pamswakarsa perusahaan yang dibekingi aparat (Tempo.co 6/5/2014).

Apakah semua perjuangan itu berhasil? Sayangnya tidak, dengan pergantian kepemimpinan nasional dan tumpang tindihnya koordinasi pemerintah di daerah, yang terang benderang hanyalah fakta ironis sebagaimana terungkap dalam laporan Mongabay-Indonesia tahun lalu. Bahwa dari kisaran luas perkebunan kelapa sawit di Jambi yang mencapai 574.514 hektare, 40% nya adalah area jelajah ulayat warga SAD yang telah dialihkan secara legal meski hanya sepihak.

Pembangunan Emansipatoris

Sudah jadi rahasia umum bahwa kelapa sawit adalah jenis tanaman perkebunan yang layak disebut sebagai “predator air” dan tentu saja jika proses peralihan hutan alami menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) semakin homogen pada komoditas ini, hanya akan berujung pada kerusakan parah ekosistem. Sayangnya pemerintah kita, baik di pusat, daerah, kementerian dan departemen, legislatif, bahkan yudikatif pun terlampau mudah khilaf dan hanyut dalam logika investasi tanpa mempertimbangkan konsekuensi terburuknya.

Inilah potret buram yang sialnya pun hanya secuil dari kenyataan kelu, bahwa situasi tak jauh berbeda dialami juga oleh ratusan komunitas adat terpencil di belahan lain bumi Nusantara. Seolah merekalah yang bersalah karena tak mau tunduk pada hukum besi modernitas yang menyilaukan. Jika memang sense of humanity yang dimiliki rezim hari ini tak seilusif sebelumnya, ia harus berani merubah paradigma dalam membangun bangsa ini.

Semangat pembangunan semestinya berwatak emansipatoris alias memerdekakan, dengan begitu ia selalu bervisi pembebasan dari segala belenggu penindasan agar dapat menggapai kebahagiaan material dan spiritual. Dalam konteks inilah, Negara kembali mendapatkan momentum ujian dari rakyat, bisakah ia berpikir dan bertindak adil dengan pendekatan kebudayaan yang tepat, atau malah bersikukuh memakai logika korporasi yang hanya menginginkan solusi instant mengusir hama penghambat akumulasi profit?

Penulis adalah alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung, atif di Liga Mahasiswa National untuk Demokrasi (LMND)

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home