Loading...
DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan 17:55 WIB | Senin, 30 Januari 2017

Presiden Filipina Perintahkan Polisi Hentikan Perang Narkoba

Ilustrasi: Polisi sedang mengangkat jenazah korban perang anti narkoba yang telah menewaskan lebih dari 7.000 orang di Filipina. (Foto: Ist)

MANILA, SATUHARAPAN.COM - Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan polisi menghentikan perang mereka terhadap narkoba setelah aparat yang nakal diketahui menculik dan membunuh seorang pengusaha asal Korea Selatan, yang menambah kobaran kritik atas kampanye anti narkoba yang dijalankan pemerintah.

Polisi telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dalam upaya pembersihan narkoba selama pemerintahan Duterte sejak Juni. Selain itu 5.000 tersangka kasus narkoba juga terbunuh di tangan warga sipil yang ikut larut dalam kampanye pemerintah.

Berbicara kepada media dalam pengarahannya pada Minggu malam, Duterte mengatakan dia harus membenahi cara polisi beroperasi. Kepala Kepolisian Filipina, Jenderal Ronald dela Rosa mengatakan pada konferensi pers hari Senin bahwa otoritas untuk menangani kasus narkoba akan diserahkan kepada Badan Pemberantas Narkoba (Drug Enforcement Agency) Filipina, sampai pembersihan di jajaran kepolisian selesai.

"Polisi nakal, berhati-hatilah! Kita tidak lagi menjalankan perang terhadap narkoba; kita sekarang perang melawan perilaku buruk," kata Jenderal dela Rosa.

Beberapa kelompok hak asasi manusia masih meragukan pernyataan dela Rosa dan menganggapnya tidak lebih dari praktik hubungan masyarakat.

Phelim Kine, wakil direktur Human Rights Watch untuk Asia, mengatakan perang narkoba berbulan-bulan yang dijalankan Duterte "merupakan pengkhianatan memalukan atas kepercayaan publik."

Duterte, 71, mengatakan pada hari Minggu bahwa perang terhadap narkoba akan terus sampai akhir enam tahun jabatannya pada 2022.

Polisi Filipina mendapat sorotan tajam setelah terjadinya pembunuhan pengusaha warga negara Korea Selatan, Jee Ick-joo. Duterte juga turut dipermalukan oleh peristiwa ini.

Duterte, telah meminta maaf kepada pemerintah Korea Selatan. Hal ini juga memicu penyelidikan di Senat Filipina , dan memberikan amunisi bagi kritikus Duterte di legislatif dan selanjutnya menodai reputasi kepolisian.

Jaksa pemerintah mengatakan pengusaha asal Korea itu diculik oleh petugas antinarkoba pada 18 Oktober dan dicekik hingga tewas di dalam markas polisi Filipina di Camp Crame, di Manila.

Pada minggu-minggu setelah kematian Jee, penculiknya berpura-pura dia masih hidup dan meminta istrinya, Choi Kyung-jin, untuk memberi tebusan 5 juta peso, dan telah dibayar. Penculik kemudian memintanya untuk tambahan 4,5 juta peso.

Setelah berbicara di sidang Senat Filipina, Ny Choi mengatakan dia tidak akan meninggalkan Filipina sampai pembunuh suaminya dibawa ke pengadilan.

"Bahwa itu terjadi di dalam Camp Crame benar-benar buruk, dan kami mengakui itu," kata Duterte.

Sementara kampanye antinarkoba Duterte sangat populer untuk  mengurangi kejahatan jalanan seperti perampokan dan pencurian, jajak pendapat yang dilakukan bulan lalu oleh Social Weather Stations menemukan bahwa 78 persen responden khawatir mereka bisa menjadi korban pembersihan.

Namun, Jenderal dela Rosa telah memastikan bahwa polisi Filipina kelak akan kembali mengambil alih perang narkoba itu setelah pembersihan di dalam kepolisian selesai.

"Saya tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan," katanya. "Tapi bila masing-masing dan setiap orang dari kita bekerja sama, saling membantu, mungkin dalam sebulan kami bisa melakukannya." (aswj)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home